Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAK mau tersandung batu yang sama. Sebuah tekad yang perlu untuk duduk di kursi sepanas Direktur Utama Perusahaan Umum Bulog. Sang pejabat baru, Mustafa Abubakar, yang menggantikan Widjanarko Puspoyo, tentu belajar banyak dari sejarah. Betapa banyak orang pertama di perusahaan itu yang akhirnya meringkuk di bui. Ia berpesan agar seluruh karyawannya tahan uji, tahan godaan.
Ujian dan godaan memang mewarnai perjalanan lembaga itu yang dibangun dengan cita-cita luhur untuk menjaga stabilitas harga beras. Tugas mulia itu sering terbengkalai dan Bulog malah kerap menjadi lumbung duit partai politik dan pejabat yang sedang berkuasa. Orang nomor satu Bulog selalu saja ditekan untuk memilih: ikut bermain atau minggir. Sayang, lebih banyak yang memutuskan ikut bermain-dan kemudian tersungkur.
Widjanarko Puspoyo merupakan petinggi Bulog kelima yang harus berurusan dengan sel tahanan. Sebelumnya Rahardi Ramelan juga pernah menjadi penghuni penjara Cipinang. Dalam kasus Rahardi terseret juga mantan Menteri Sekretaris Negara Akbar Tandjung. Bekas Ketua Umum Partai Golkar itu berhasil lolos.
Sebelum Rahardi, Menteri Koperasi merangkap Kepala Bulog Bustanil Arifin sempat mencicipi pengalaman menjadi tahanan Kepolisian Daerah Metro Jaya. Orang pertama Bulog lain yang sampai sekarang dipenjarakan adalah Beddu Amang. Dalam kasus lain, Wakil Kepala Bulog Sapuan termasuk yang pernah dihukum. Kasus Sapuan menyeret mantan Presiden Abdurrahman Wahid, yang kemudian dilengserkan MPR.
Itu artinya, misi lembaga yang didirikan pada 10 Mei 1967 ini banyak digerogoti akal busuk untuk mencari duit tak halal-bagi kepentingan pribadi atau kelompok. Bulog pun kemudian terkenal bukan sebagai gudang beras, tapi gudang korupsi.
Mudah diduga, korupsi muncul akibat peran mutlak Bulog sebagai pemain tunggal pengadaan beras. Bulog juga memonopoli impor gula dan gandum, penyedia tunggal daging untuk Jakarta. Lembaga ini mengawasi impor kedelai, menerapkan kebijakan harga dasar untuk jagung, kacang tanah, dan kacang hijau.
Sebagai pemain tunggal, Bulog kerap menjalankan tender secara tertutup, dengan satu dan lain alasan. Yang diketahui publik hanya ujung proses, misalnya ikutnya Grup Salim dan Keluarga Cendana dalam proses impor bahan pangan. Untuk setiap ton beras yang didatangkan, importir menikmati untung sekian puluh dolar. Bayangkan jika beras yang didatangkan lebih dari dua juta ton setiap tahun.
Perubahan politik pada 1998 ternyata tidak banyak mengubah Bulog. Tender di sana memang menjadi terbuka, tapi orang tahu "rekanan lama yang berpengalaman" masih unggul. Di depan mata Bulog, beras ilegal sering bisa masuk dengan leluasa. Orang tentu belum lupa hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan pada 1997/1998. Badan itu menemukan raibnya beras sekitar 12.500 ton senilai US$ 3,75 juta (sekitar Rp 34,2 miliar). Usut punya usut, yang raib itu diduga beras asal Vietnam yang tak pernah dikirim masuk ke pelabuhan Indonesia.
Itu baru sebagian. Sebelum reformasi, Bulog perlu menyediakan ratusan miliar rupiah untuk penguasa-yang tentu tak tercatat di buku. Misalnya dana untuk keperluan presiden dan keluarganya, untuk sebuah asuransi, untuk Yayasan Purna Bhakti Pertiwi, museum, dan masih banyak lagi.
Pengubahan status Bulog pada 2003, dari lembaga pemerintah nondepartemen menjadi perusahaan umum, tak banyak membantu memperkuat posisi perusahaan itu terhadap spekulan. Bulog ternyata hanya menyerap sekitar tiga persen dari hasil panen petani di sentra produksi utama. Padahal, sebelum reformasi, Bulog mampu menyerap dua sampai empat kali lipat lebih banyak.
Dengan kemampuan Bulog selemah itu, tak mengherankan jika gejolak harga beras di pasar kerap terjadi. Operasi pasar juga sering tak berhasil menekan harga beras. Dan inilah momentum untuk mereformasi Bulog. Posisi Bulog perlu ditinjau ulang. Barangkali desentralisasi peran penjaga stabilitas pasokan dan harga beras dari Bulog kepada pemerintah provinsi dan kabupaten merupakan sebuah pilihan yang menjanjikan.
Di tangan pemerintah daerah, stok beras lebih mudah dipantau. Sehingga, kalau kekosongan beras terjadi, tindakan bisa dilakukan lebih cepat. Dengan skala lebih sempit, pengawasan bisa lebih maksimal, apalagi kalau wakil-wakil masyarakat diikutsertakan dalam proses pengawasan. Kolusi antara pedagang beras dan Dolog, perpanjangan tangan Bulog di daerah, bisa ditekan serendah-rendahnya.
Mungkin dengan cara ini "Bulog baru" yang bebas kolusi dan korupsi akan lahir. Hanya sebuah lembaga yang bebas "kewajiban setor" kepada penguasa yang sanggup menjalankan program mewujudkan ketahanan pangan, mengurangi angka kemiskinan, dan meningkatkan kesejahteraan petani-seperti dicita-citakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Tanpa pembenahan revolusioner di Bulog, cita-cita Presiden Yudhoyono dipastikan hanya akan menjadi angan-angan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo