Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pandemi Covid-19 mendorong perusahaan rintisan digital berkembang kian pesat.
Regulasi masih konvensional, belum mendukung ekosistem digital.
Sektor kesehatan, pendidikan, dan keuangan akan moncer tahun depan.
SEJAK pandemi Covid-19 menerjang pada awal Maret 2020, Ajeng Sekar Arum rutin mengonsultasikan kesehatannya secara daring lewat aplikasid digital. Beragam fitur di aplikasi Halodoc ia jajal, dari konsultasi dokter umum, dokter spesialis, dan psikolog hingga tes Covid-19 serta pembelian obat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tiap bulan ada saja yang ia konsultasikan. Perempuan 30 tahun yang bekerja sebagai penulis konten digital di Jakarta ini cemas imun tubuhnya drop sehingga mudah tertular virus corona. “Tapi enggak mau asal diagnosis,” katanya, pekan lalu. Bisa memilih dokter dan waktu konsultasi adalah hal yang membuat ia berkonsultasi via aplikasi karena acap merasa sakit saat malam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rumah sakit dan pusat kesehatan masyarakat makin ketat membatasi kunjungan selama masa pandemi Covid-19. Masyarakat pun makin enggan datang ke fasilitas pelayanan kesehatan itu karena takut tertular virus. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan tahun lalu, angka kunjungan masyarakat ke puskesmas turun hingga 83,6 persen dibanding pada sebelum masa pandemi.
Menurut pendiri dan Chief Operating Officer Halodoc Doddy Lukito, kebiasaan Ajeng adalah perilaku paling umum pengguna Halodoc. Dari data aplikasinya, banyak pengunjung yang mengakses kembali Halodoc dan mencoba pelbagai layanan lain. “Kesadaran cek kesehatan naik,” tutur Doddy pada Kamis, 2 Desember lalu.
Bukan hanya urusan kesehatan manusia. Layanan dokter hewan di Halodoc yang diluncurkan pada Oktober 2020 masuk daftar 10 kunjungan konsumen terbanyak di aplikasi ini. Juga konsultasi dengan psikolog.
Suasana kantor Ruangguru.com di Tebet, Jakarta, Agustus 2016. TEMPO/Nurdiansah
Halodoc mulai menyediakan layanan konsultasi kesehatan mental pada Juni 2020. Sebulan setelah layanan itu meluncur, angka kunjungan naik 400 kali lipat. Padahal layanan psikiater dan psikolog ada sejak Halodoc beroperasi pada 2016. Namun, pada Juni itu, pembukaan layanan kesehatan mental memperbanyak tenaga ahli yang bekerja sama dengan Ikatan Psikolog Klinis Indonesia.
Naiknya angka kunjungan konsumen juga terjadi pada Good Doctor, platform telemedis dan layanan konsultasi kesehatan yang baru beroperasi pada Desember 2019. Good Doctor menjadi penyedia layanan telemedis kedua paling banyak digunakan di Indonesia setelah Halodoc menurut survei Nielsen.
Selain memiliki aplikasi sendiri, Good Doctor bermitra dengan Grab lewat platform GrabHealth. Kemitraan ini, menurut Managing Director Good Doctor Technology Indonesia Danu Wicaksana, meluaskan penggunaan aplikasi layanan kesehatan digital. Pemakai layanan Good Doctor kebanyakan berusia 30-40 tahun.
Selama masa pandemi, ada tiga layanan Good Doctor yang berkembang pesat. Layanan telemedis meningkat tujuh-delapan kali lipat akibat adanya gelombang kedua pandemi Covid-19 pada Juni-Agustus 2021. Menurut Danu, aplikasinya sampai kekurangan dokter saking banyaknya permintaan konsultasi.
DEKADE EMAS EKONOMI DIGITAL
EKONOMI digital Asia Tenggara diproyeksikan terus menggelembung dalam sedekade ke depan. Riset Google dan Temasek memperkirakan omzetnya mencapai US$ 980 miliar—dengan kurs saat ini senilai Rp 14 kuadriliun—pada 2030. Sepertiga dari proyeksi kue ekonomi digital itu berasal dari Indonesia, yang ditopang oleh besarnya nilai transaksi e-commerce.
Pandemi Covid-19 dipercaya telah mendorong laju penetrasi ekonomi digital. Sepanjang Maret 2020-Juni 2021, jumlah pengguna layanan ekonomi berbasis Internet di Tanah Air bertambah sekitar 21 juta. Sekitar 72 persen pengguna baru itu berasal dari daerah di pinggiran kota besar.
Selain klinik Covid-19, layanan yang banyak diakses pengguna aplikasi adalah spesialis internis, seperti endokrinologi. “Penderita diabetes sudah tidak berani ke rumah sakit, jadi cari obat dan konsultasi secara online,” Danu menambahkan.
Jumlah pembelian obat juga meningkat enam-tujuh kali lipat. Pembelian banyak terjadi di sejumlah kawasan satelit kota besar, misalnya di Mojokerto dan Tuban, Jawa Timur, yang memanfaatkan aplikasi Grab. Hingga saat ini, jumlah pengguna aplikasi Good Doctor di Indonesia lebih dari 13 juta dengan cakupan layanan di lebih dari 100 kota.
Naiknya angka konsultasi kesehatan melalui aplikasi turut membuat apotek sibuk. Jumlah pembelian obat naik, seperti kunjungan konsumen aplikasi Lifepack. Aplikasi rintisan PT Indopasifik Teknologi Medika ini berfokus menyediakan obat-obatan bagi pasien penyakit kronis yang perlu mengonsumsi obat secara rutin.
Lifepack punya dua gudang besar obat di Jakarta dan Surabaya. Dengan gudang besar itu, kata Chief Executive Officer Lifepack Natali Ardianto, aplikasinya memiliki persediaan dan variasi obat yang cukup. Aplikasinya, dia menambahkan, tak pernah menolak resep apa pun karena stok selalu ada.
Natali juga menjamin harga obat di aplikasinya murah dan sama di semua wilayah di Indonesia. Sepanjang tahun lalu, transaksi pembelian obat tiap bulan di Lifepack tumbuh 50 persen. Menurut Natali, aplikasi apotek online membuat penyediaan obat di apotek konvensional yang sebelumnya terkonsentrasi di Jawa menjadi lebih merata.
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, terdapat 24.874 unit apotek pada 2018, sebanyak 4.298 di antaranya di Jawa Barat. Belum meratanya keberadaan apotek fisik membuat persebaran obat belum merata pula di Indonesia, juga memicu peredaran obat palsu. Menurut Kementerian Kesehatan, obat palsu mengisi 25 persen distribusi obat nasional.
BERLARI KENCANG DI KALA PANDEMI
PANDEMI Covid-19 tak hanya mendorong penetrasi ekonomi digital, tapi juga membuka peluang bagi pertumbuhan layanan teknologi di sektor kesehatan. Pertumbuhan pengguna layanan digital diperkirakan makin cepat seiring dengan pengembangan teknologi yang dipercaya sebagai solusi untuk mengatasi keterbatasan kapasitas kesehatan. Setahun terakhir, nilai pendanaan ke startup penyelenggara healthtech pun meningkat tajam di Asia Tenggara.
Di luar kisah sukses aplikasi kesehatan, ekosistem sektor ini masih memiliki pelbagai aturan konvensional yang membatasi. Menurut Ketua Asosiasi Healthtech Indonesia Gregorius Bimantoro, layanan digital terbentur proses administrasi rekam medis yang belum terhubung antar-fasilitas kesehatan. “Kabar bagusnya, jika masih banyak masalah, berarti peluangnya masih besar,” ucapnya.
Regulasi layanan kesehatan yang sudah bersuai dengan ekosistem digital adalah keran investasi yang membolehkan modal asing masuk 100 persen ke sektor ini melalui amendemen Undang-Undang Penanaman Modal Asing dengan Undang-Undang Cipta Kerja. Menurut Natali Ardianto, dengan masuknya investasi asing, sektor layanan kesehatan akan makin bergairah.
Sebab, valuasi sektor ekonomi digital Indonesia pada 2021 diperkirakan mencapai US$ 70 miliar. Hingga 2025, ekonomi digital Indonesia akan tumbuh sampai US$ 146 miliar. Teknologi kesehatan salah satu yang paling bergairah dalam pertumbuhan ini.
Dalam Forum Ekonomi Digital III yang berlangsung pada Selasa, 30 November lalu, Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny Gerard Plate menyebutkan sektor industri layanan kesehatan digital berpeluang besar dalam pertumbuhan ekonomi digital Indonesia. Menurut Johnny, dengan Indonesia menjadi tuan rumah G20 tahun depan, peluang kolaborasi industri kesehatan digital bisa terbuka.
Meski porsinya belum menandingi raja ekosistem digital, yakni perdagangan digital (e-commerce), layanan teknologi kesehatan dan pendidikan dipercaya pemerintah berpeluang tumbuh lebih besar. “Teknologi keuangan dan sektor kesehatan akan berkembang melampaui e-commerce,” ujar Direktur Ekonomi Digital Kementerian Komunikasi dan Informatika I Nyoman Adhiarna.
Untuk menunjang perkembangan itu, Nyoman menjelaskan, pemerintah sedang menyiapkan regulasi perusahaan rintisan sehingga inovasi digitalnya terpantau dan terakomodasi dalam pasar yang berkembang. Salah satunya sistem pengujian aplikasi (regulatory sandbox) untuk membuat layanannya makin mudah, terjangkau, dan teruji.
Selain kesehatan dan keuangan, sektor pendidikan masuk daftar pengembangan digital. Menurut Bank Dunia, pengguna aktif aplikasi pendidikan di Indonesia tumbuh signifikan hingga 200 persen selama masa pandemi. Pembatasan aktivitas di luar ruangan mendorong peningkatan adopsi pembelajaran online.
Pada pertengahan 2021, misalnya, jumlah pemakai aplikasi Ruangguru mencapai 25 juta. Ada kenaikan rata-rata 5 juta pengguna tiap tahun sejak 2018. Ruangguru mengembangkan banyak inovasi selama masa pandemi, terutama dalam menghadapi kendala koneksi Internet dan ketersediaan data. Salah satunya kompresi data yang memungkinkan materi pelajaran tetap bisa diunduh pemilik kuota sedikit.
Perilaku konsumen yang makin akrab dengan ekosistem digital di masa pandemi, menurut Ketua Umum Asosiasi Modal Ventura dan Startup Indonesia Jefri R. Sirait, turut mendorong ekosistem digital Indonesia berkembang pesat. “Pembatasan sosial membuat perilaku konsumen berubah, terutama di sektor kesehatan dan pendidikan,” kata Jefri.
Jefri mengingatkan para pengusaha aplikasi agar memperhatikan perilaku generasi milenial karena mereka yang akan menjadi konsumen terbesar ekonomi pada tahun-tahun mendatang. Generasi yang akrab dengan dunia digital ini akan kian menuntut ekosistem yang ramah dan cergas dalam menyediakan layanan dan inovasi.
Perkembangan permintaan layanan digital di hulu, menurut Jefri, secara otomatis juga akan mendorong layanan konvensional di tengah dalam jalur distribusi. Perubahan bisnis digital keuangan, kesehatan, dan pendidikan yang meluas ke pelosok turut mengerek bisnis logistik.
Inovasi adalah strategi yang tak bisa ditawar oleh pelaku industri digital. Sektor teknologi keuangan kini tak lagi hanya menawarkan jasa perantara pembayaran digital atau pinjaman, tapi berkembang menjadi 20 model bisnis, seperti aplikasi pengumpul (aggregator), aplikasi skor kredit, perencana keuangan, layanan urun dana, dan manajemen harta. Sampai akhir kuartal II tahun ini, jumlah perusahaan teknologi keuangan rintisan yang terdaftar di Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech) sebanyak 335.
Sati Rasuanto, Wakil Sekretaris Jenderal IV dan Ketua Task Force Perlindungan Data Pribadi Aftech, melihat industri teknologi keuangan punya potensi dan daya tahan di tengah situasi pandemi. Nilai investasi perusahaan rintisan ini berkisar Rp 500 juta-35 miliar. “Sebagian besar berasal dari pendanaan sendiri (bootstrap), pemodal individu, dan modal ventura,” ujar Sati, Jumat, 3 Desember lalu.
Sejauh ini, jika dilihat dari segi pendanaan, perusahaan digital rintisan aplikasi keuangan yang masih menjadi juara. Total pendanaan hingga semester pertama tahun ini, ketika pandemi Covid-19 masih melanda, sebanyak US$ 648,28 juta, yang dikelola 30 perusahaan rintisan. “Tren yang sama akan berlanjut tahun depan,” kata Sati.
LARISSA HUDA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo