Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kasus kekerasan seksual bisa terjadi di dalam ikatan pernikahan.
Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual memungkinkan korban mendapat keadilan dan pemulihan.
DPR tak kunjung membahas Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Lambat-lambat Ayu, 37 tahun, menceritakan peristiwa yang ia alami sekitar satu dekade lalu. Kepada Tempo yang menghubunginya pada Sabtu, 4 Desember lalu, perempuan yang tinggal di Pantai Labu, Deli Serdang, Sumatera Utara, ini menuturkan kekerasan seksual yang dilakukan suaminya sendiri—sebut saja Bonar. "Saat saya sakit, dia menggauli saya. Saya seperti disiksa.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selama tujuh tahun Bonar selalu memaksa Ayu untuk berhubungan badan ketika dia sedang tak berdaya. Penolakan Ayu tak membuat Bonar peduli. Tangan istrinya kerap dicengkeram hingga persetubuhan rampung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Suatu kali sakit raja singa yang diderita Ayu—diduga ditularkan Bonar—membuat dia terbaring selama dua bulan. Selama itu pula Bonar tetap memaksanya berhubungan seks. Ayu tertekan. Psikisnya anjlok meski Bonar tak pernah memukuli tubuhnya.
Puluhan warga Dusun Habilogut melaporkan perkosaan yang dilakukan oleh seorang pria terhadap dua anak kandungnya, di Sikka, Pulau Flores, Nusa Tenggara Tkmur. Oktober 2021. floresku.com/Marda
Pada 2016, Ayu memergoki Bonar membuka celana dalam putri bungsu mereka yang saat itu berumur lima tahun. Dia menduga Bonar berniat melakukan kekerasan seksual. “Saya tidak sanggup lagi meneruskan perkawinan bersama dia,” ujarnya. Agustus tahun lalu, Ayu resmi bercerai dengan Bonar.
Namun kekerasan seksual itu tak terungkap di pengadilan. Ayu menutup rapat peristiwa tersebut. Kepada hakim, ia beralasan menggugat cerai lantaran Bonar pecandu narkotik dan menelantarkan keluarga. Ia khawatir hukum akan berbalik menyalahkannya. “Katanya kalau istri tidak melayani suami itu dosa. Tapi kalau istri dipaksa dengan kekerasan itu bagaimana hukumnya?”
Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Theresia Iswarini, mengatakan peristiwa yang dialami Ayu tergolong pemerkosaan dalam perkawinan atau marital rape. Perbuatan itu bisa terkena hukuman yang diatur dalam dalam Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Namun Rini—sapaan Theresia—menilai kasus kekerasan dalam rumah tangga kerap tak bisa dituntaskan oleh penegak hukum. Alasannya, cerita korban sering tak dipercaya. “Banyak yang tak percaya bisa terjadi pemerkosaan dalam perkawinan,” tutur Rini, Sabtu, 4 Desember lalu.
Maryam—bukan nama sebenarnya—juga mengalami kekerasan seksual pada 2005. Pelakunya adalah pacarnya sendiri. Di kamar kos Maryam di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, pacarnya tiba-tiba membekap mulutnya.
Beberapa detik berikutnya, ia sudah terbaring di lantai. Maryam merasakan sakit yang teramat sangat pada vaginanya. Ia menangis sejadi-jadinya. Malam itu Maryam sesungguhnya ingin memutuskan hubungan dengan pacarnya.
Yang terjadi justru sebaliknya. Maryam memutuskan menikah dengan pelaku pemerkosaan itu. “Pikiranku saat itu, siapa yang mau dengan perempuan yang tidak perawan lagi,” ujar Maryam, yang kini berusia 41 tahun. Perkawinan itu berakhir kurang dari tiga tahun. Bertahun-tahun kemudian, Maryam menyadari tak seharusnya dia menikah dengan laki-laki yang memerkosanya.
Menurut Theresia Iswarini, korban kekerasan seksual dalam masa pacaran juga sulit mengungkap pengalamannya. “Kekerasan dalam pacaran juga kerap tidak dipercaya karena dianggap sebagai hubungan ‘mau sama mau’,” ucapnya.
Sidang perkara perkara jarimah Pemerkosaan terhadap anak yang dilakukan secara online di Mahkamah Syariah Jantho, Kota Jantho, Aceh Besar, 2 Agustus 2021. Dok. Mahkamah Syariah Jantho/ms-jantho.go.id
Dalam beberapa kasus, kata Rini, polisi membiarkan penyelesaian secara kekeluargaan. Apalagi jika pelaku bersedia mengawini korban.
Ayu dan Maryam masih hidup dalam trauma. Jika bisa kembali mengulang waktu, Maryam mengaku memilih pemerkosanya dihukum. Sedangkan Ayu berjibaku bangkit dari trauma demi melanjutkan hidup bersama tiga anaknya. “Saya sempat sesak napas empat hari empat malam menahan beban ini sampai dibawa ke psikiater,” ujar Ayu.
Baca: Predator Seks di Kampus Kita
•••
KASUS kekerasan seksual cenderung meningkat dari tahun ke tahun dalam satu dekade terakhir. Pada 2020, Komnas Perempuan mencatat 2.945 kasus kekerasan seksual, terdiri atas 1.983 kasus personal dan sisanya pada ranah komunitas. Jumlah laporan itu memang menurun dibandingkan dengan tahun sebelumnya, yaitu 4.898 kasus.
Namun hasil survei cepat Komnas Perempuan menunjukkan hanya sekitar 10 persen responden yang melaporkan kekerasan seksual yang mereka alami pada 2020. Salah satu sebabnya, pelaku yang kebanyakan adalah suami berada di rumah karena pandemi Covid-19. “Ada juga yang tidak punya pulsa untuk melapor karena uangnya untuk kebutuhan keluarga,” ujar Theresia Iswarini.
Menurut Rini, korban kasus kekerasan seksual kerap tidak mendapatkan keadilan. Karena itu, dibutuhkan undang-undang khusus agar hak korban bisa terpenuhi. Tapi Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual—sebelumnya bernama RUU Penghapusan Kekerasan Seksual—masih teronggok di Dewan Perwakilan Rakyat meski telah diajukan lima tahun lalu. (Baca: Mengapa Muhammadiyah dan PKS Tolak Aturan Pencegah Kekerasan Seksual)
Jika undang-undang itu disahkan, besar kemungkinan para korban tak hanya mendapat keadilan, juga proses pemulihan trauma yang lebih baik. Dahlia—bukan nama sebenarnya—termasuk yang membutuhkan bantuan untuk sembuh dari trauma kekerasan seksual yang menimpanya.
Perempuan 16 tahun itu berulang kali diperkosa ayah kandungnya sendiri. Perbuatan itu dilakukan bapaknya di kebun mereka. “Setiap kali saya mau teriak, dia cekik saya. Tangannya juga memegang parang,” kata perempuan asal Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur, itu kepada Tempo, Jumat, 3 Desember lalu.
Pemerkosaan itu terjadi setelah Dahlia tamat sekolah dasar. Baru pada September lalu, ia berani melaporkan peristiwa itu kepada ibunya. Keberaniannya timbul setelah ia mengetahui bapaknya juga mencabuli adiknya yang setahun lebih muda. Akhir Oktober lalu, polisi menangkap ayah Dahlia.
Dahlia dan adiknya kini didampingi oleh Tim Relawan untuk Kemanusiaan Flores (Truk F). Ia sempat ingin bunuh diri jika terkenang kembali pemerkosaan oleh ayah kandungnya. Perlahan-lahan, ia mulai percaya diri. Dahlia mengungkapkan keinginannya untuk kembali bersekolah.
Koordinator Truk F, Suster Fransiska Imakulata, mengatakan lembaga itu tengah mencari donasi untuk membantu Dahlia bersekolah lagi. “Mamanya kesulitan secara ekonomi,” ujar biarawati dari Kongregasi Suster Misi Abdi Roh Kudus ini.
Baca: Mengapa Kita Perlu Aturan Mencegah Kekerasan Seksual di Kampus
Kekerasan seksual terhadap anak memang bisa ditangani memakai Undang-Undang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak. Namun komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi, mengatakan Undang-Undang Perlindungan Anak baru mengatur soal pemerkosaan, pencabulan, dan eksploitasi seksual.
Adapun jenis kekerasan seksual lain, seperti pelecehan seksual nonfisik, pemaksaan perkawinan, dan kekerasan seksual di ruang siber, belum diatur oleh beleid itu. Sekretaris Nasional Forum Pengada Layanan, Veni Siregar, mengatakan undang-undang yang ada juga belum menjamin sistem layanan dan akses pemulihan yang komprehensif bagi korban.
Ia mencontohkan, belum semua daerah menyediakan layanan visum gratis untuk korban kekerasan seksual. Menurut Veni, korban juga kerap tak bisa mengakses layanan psikolog, psikiatri, hingga rumah aman. “Pemulihan tetap diupayakan sendiri oleh keluarga atau pendamping korban,” kata Veni.
Pasal 53 Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual memungkinkan korban mendapatkan layanan terapi medis, psikiatrik, dan konseling penguatan psikologis. Keluarga korban pun nanti akan menerima hak pemberdayaan ekonomi untuk mendukung penanganan dan pemulihan.
Pada kasus lain, korban dan keluarganya juga kerap menerima intimidasi. Koordinator Jaringan Relawan Pendamping Kasus dari Yayasan Sapa, Sugihartini, mencontohkan, keluarga seorang anak 14 tahun korban pencabulan di Kabupaten Bandung terpaksa mencabut laporan. Padahal polisi sudah menangkap pelaku yang merupakan paman dari pacarnya.
Kepada Sugihartini, keluarga korban mengaku lelah menghadapi proses hukum tersebut. “Sepertinya ada intimidasi kepada keluarga korban,” ujar Sugihartini kepada Tempo, Selasa, 30 November lalu.
Sugihartini menyayangkan pencabutan laporan itu. Ia mengingat korban yang dicabuli hingga terjadi infeksi pada vaginanya. “Hampir satu bulan dia tidak bisa bangun dari tempat tidur,” ucapnya.
Dengan adanya Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, korban berhak mendapatkan rasa aman dari pelaku kekerasan seksual atau keluarganya. Pun korban tak bisa dituntut secara pidana atau perdata terkait dengan laporan kekerasan seksual.
Aksi menolak kekerasan seksual di depan Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, 25 November 2021. TEMPO/Ridho Fadilla
Berpihak kepada korban, RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual diperkirakan membuat penanganan kasus lebih mudah dan pelaku bakal sulit lepas. Dalam aturan tersebut, keterangan korban dan satu alat bukti cukup untuk membuat terdakwa divonis bersalah.
Kerap terjadi, pelaku mudah melenggang meski kasusnya sudah masuk pengadilan. Di Aceh, misalnya, tiga terdakwa pemerkosa anak sempat divonis bebas sepanjang 2021. Satu kasus bebas di Mahkamah Syariah Jantho, Kabupaten Aceh Besar, dua lainnya pada tingkat banding di Mahkamah Syariah Provinsi Aceh. Dua dari tiga putusan itu dibatalkan Mahkamah Agung.
Perwakilan Lembaga Bantuan Hukum Apik Provinsi Aceh, Roslina Rasyid, mengatakan tantangan penanganan kasus kekerasan seksual di wilayah itu lebih besar. Sebab, Aceh menerapkan hukum syariat Islam. Undang-Undang Perlindungan Anak pun tak dipakai. “Ini tantangan, apalagi tiga tahun terakhir banyak anak menjadi korban,” tutur Roslina, Jumat, 3 Desember lalu.
Begitu pula perempuan penyandang disabilitas. Mereka menghadapi tantangan lebih berat ketika menjadi korban kekerasan seksual. Tahun lalu Margaretha Winda Febiana Katotina mendampingi seorang perempuan penyandang disabilitas mental dari pedalaman Tewah, Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah, yang diperkosa lima pemuda.
Ketua Badan Eksekutif Komunitas Solidaritas Perempuan Mamut Menteng ini bercerita, kasus itu baru terungkap setelah keluarga curiga korban tak mengalami menstruasi selama beberapa bulan. Kepada keluarga, korban menunjuk siapa saja pelaku yang memerkosanya.
Didampingi Winda, keluarga sempat melaporkan kasus itu ke polisi. Menurut Winda, terlihat betul belum ada sistem layanan untuk menangani kasus kekerasan seksual pada korban penyandang disabilitas. Korban yang berusia 17 tahun itu harus memberikan keterangan kepada penyidik polisi yang semuanya laki-laki. Korban pun sempat takut dan bungkam.
Akhirnya keluarga memutuskan mencabut perkara itu dan menyelesaikannya secara adat. Aturannya, korban mendapat jipen atau pembayaran denda dan dinikahkan dengan salah satu pelaku. “Ini membuat pelaku tak punya efek jera dan memaksa korban hidup dengan pemerkosanya,” kata Winda.
Korban akhirnya melahirkan anak perempuan yang kini berusia 9 bulan. Penyelesaian lewat adat tak ditepati. Semua pelaku mangkir dari kewajiban menikahinya. Winda bercerita, korban yang didampinginya kini hidup dengan trauma. Dia berteriak histeris saban kali melihat laki-laki. “Bahkan bapak sendiri pernah mau ditusuk dengan pisau.”
KASUS kekerasan seksual juga kerap terjadi di ranah digital. Pada 2020, Komnas Perempuan mencatat jumlah kasus kekerasan gender berbasis siber sebanyak 940, 48 persen di antaranya kekerasan seksual.
Koordinator Tim Relawan untuk Kemanusiaan Flores (Truk F), Fransiska Imakulata, mengatakan, 2 dari 19 anak yang didampingi lembaganya adalah korban kekerasan gender berbasis siber. Seorang korban diancam akan dipromosikan sebagai pekerja seks di Facebook. Pelaku meminta korban memotret tubuhnya, dari payudara hingga bagian dalam vagina.
Kasus ini sudah dilaporkan ke kepolisian. Namun polisi menyarankan penyelesaian perkara dengan mediasi karena ketiadaan alat dan ahli forensik untuk proses pembuktian. “Kasus itu menggantung sampai saat ini,” kata Suster Fransiska.
Direktur Yayasan Embun Pelangi, Irwan Setiawan, mengatakan lembaganya menerima sejumlah aduan korban kekerasan seksual dengan ancaman revenge porn atau ancaman penyebarluasan konten pornografi dengan motif balas dendam atau mempermalukan korban. “Trennya seperti itu yang mengadu,” ucap Irwan.
Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual juga akan mengatur pelecehan seksual berbasis elektronik. Jika benar demikian, pelaku di dunia maya akan lebih mudah dijerat.
Semula, RUU tersebut memuat sembilan jenis kekerasan seksual. Namun rumusan anyar rancangan itu hanya mengatur pelecehan seksual nonfisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan hubungan seksual, eksploitasi seksual, dan pelecehan seksual berbasis elektronik.
Ketua Panitia Kerja RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual, Willy Aditya, mengatakan rumusan ini merupakan titik temu di antara sembilan fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat. Meski demikian, draf yang terkatung-katung sekitar lima tahun di parlemen itu tetap dibutuhkan oleh para korban kekerasan seksual. “RUU TPKS ini sangat dibutuhkan perempuan korban kekerasan seksual,” kata Margaretha Winda.
HUSSEIN ABRI DONGORAN, STEFANUS PRAMONO (JAKARTA), PITO AGUSTIN (YOGYAKARTA), ADINDA ZAHRA NOVIYANTI (MEDAN), MADE ARGAWA (BALI)
Konsultasi kekerasan seksual: Yayasan Pulih, Jalan Teluk Peleng 63A Komppleks TNI AL Rawa Bambu, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Telepon: (021) 7884-2580 atau 0811-8436-633
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo