Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Pulih Lalu Balas Dendam

Pemulihan ekonomi akan terus memompa kebutuhan energi pada 2022. Peluang bagi industri tambang, minyak dan gas bumi, serta ketenagalistrikan.   

4 Desember 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Petugas membersihkan panel surya yang berada di Pembangkit Listrik Tenaga Surya Irigasi Tanjung Raja, Muara Enim, Sumatera Selatan, 18 November 2021. ANTARA/Nova Wahyudi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Industri batu bara menangguk untung di tengah lonjakan harga komoditas.

  • Kinerja migas dan ketenagalistrikan diprediksi juga bakal moncer.

  • Tantangan besar bagi pengembangan energi bersih.

JIKA ada perang yang bisa membahagiakan sebagian orang, itu adalah perang dagang. Salah satu yang berbahagia adalah Mohammad Arsjad Rasjid P. Mangkuningrat, Presiden Direktur PT Indika Energy Tbk sekaligus Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Indika, juga perusahaan batu bara lain, sedang bungah. Perang dagang yang merayap ke Cina dan Australia—sekutu Amerika Serikat—membuat penambang batu bara Indonesia ketiban durian runtuh.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sejak Oktober 2020, Cina meminta badan usaha milik negara mereka menghentikan impor batu bara dari Negeri Kanguru. Hubungan Cina dan Australia memburuk, antara lain dipicu keputusan Negara Bagian Victoria membatalkan secara sepihak kerja sama Belt and Road Initiative dengan Beijing akibat paksaan pemerintah federal dan Amerika Serikat. 

Kapal tongkang pengangkut batu bara melintas di Sungai Musi, Palembang, Sumatera Selatan, pada 24 November 2021. ANTARA/Nova Wahyudi

Tidak terlibat langsung dalam perang dagang, penambang batu bara di Indonesia menangguk untung. Hasil tambang mereka makin banyak masuk ke Cina, mengisi ceruk melompong yang ditinggalkan emas hitam Australia. “Karena itulah harga batu bara Indonesia sekarang naik,” kata Arsjad ketika ditemui di rumah yang ia sulap menjadi kantor pribadi di Jalan Cisanggiri, Jakarta Selatan, Ahad, 28 November lalu. “Kita ini kadang slow menangkap. Kalau ada peluang, thek, (bunyi jari dijentikkan), ambil!” 

Seperti semua komoditas yang tersapu pandemi Covid-19, harga batu bara sempat terjungkal. Harga terendahnya pernah menyentuh US$ 49,75 per ton di bursa komoditas Newcastle pada Agustus 2020. Adapun harga batu bara acuan Indonesia pada bulan yang sama US$ 49,42 per ton. 

Harga batu bara di bursa Newcastle baru pulih mulai November 2020, ketika mencapai US$ 79,85 per ton. Sedangkan harga batu bara acuan Indonesia baru mendekati level itu pada Januari 2021. Sejak itu harga batu bara tak terbendung lagi. Pada Oktober lalu, harga di bursa Newcastle menembus US$ 223,45 per ton. Sebulan kemudian, November lalu, harga batu bara acuan Indonesia ikut naik hingga US$ 215,01 per ton. 

Mulanya Arsjad pesimistis harga yang sedang bagus ini bakal bertahan lama. Tapi perkembangan perang dagang berkata lain. Ketegangan meningkat setelah Amerika Serikat dan Inggris malah membentuk koalisi baru dengan Australia (AUKUS) guna mengimbangi Cina di kawasan Asia-Pasifik. “Tambah bagus juga buat kita,” tutur Arsjad, terkekeh. “Mungkin akan agak lama bertahannya ini (harga batu bara).”

Prediksi Arsjad tentang harga itu berbeda dengan hitung-hitungan Fitch Ratings. Lembaga pemeringkat kredit internasional asal New York, Amerika Serikat, ini meramal harga jual batu bara dunia turun pada 2022 setelah menyentuh puncak pada akhir 2021. Analisis Mirae Asset Management juga memproyeksikan harga batu bara tahun depan turun di kisaran US$ 100 per ton. Pasalnya, konsumen terbesar seperti Cina dan India akan menggenjot produksi domestik mereka.

•••

DI tengah ketidakpastian prospek harga, industri pertambangan dan pengolahan batu bara mewakili gemerlap prospek sektor energi. Pulihnya ekonomi, yang didorong makin terkendalinya penyebaran wabah Covid-19, bakal memompa kebutuhan energi.  

Industri hulu minyak dan gas bumi, subsektor energi lain, tak kalah optimistis menyambut 2022. Seperti batu bara, harga minyak mentah bagus terus sejak akhir 2020, ketika pergerakan orang dan barang berangsur pulih setelah lama dibekap pandemi. Pada November lalu, harga minyak mentah dunia jenis Brent sudah mencapai US$ 47,59 per barel, setelah sempat semaput di angka US$ 22,34 per barel pada Maret 2020. Per 3 Desember 2021, harga minyak mentah dunia masih bertahan di level US$ 69,91 per barel. “Harga minyak dan gas yang lebih baik di hulu ini akan masih akan berlangsung di 2022,” kata Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Dwi Soetjipto di Nusa Dua, Bali, Senin, 29 November lalu. 

Selama tiga hari, 29 November-1 Desember 2021, Dwi Soetjipto menggelar The 2nd International Convention on Indonesian Upstream Oil and Gas di Bali Nusa Dua Convention Center. Mantan Direktur Utama PT Pertamina (Persero) itu mengaku agak nekat menggelar konvensi internasional di tengah situasi pandemi yang belum sepenuhnya hilang. “Dubai berani bikin konvensi. Masak, kita enggak?” ujar Dwi. 

Bagi Dwi, konvensi itu bukan soal unjuk keberanian. SKK Migas ingin memberikan sinyal kepada industri hulu migas bahwa 2022 merupakan ajang balas dendam bagi banyak rencana investasi yang tertunda selama masa pandemi, hampir dua tahun terakhir. “Harga minyak yang akan masih baik ini nanti akan mempengaruhi investasi pada 2022,” tuturnya. 

Dwi optimistis 2022 akan menjadi momentum bagus buat industri hulu migas. Permintaan bahan bakar minyak diprediksi betul-betul sudah pulih. Dwi pun percaya pandemi Covid-19 akan segera bergeser menjadi endemi sehingga memicu makin banyak orang bepergian. 

Beberapa angka sudah membuat keyakinan Dwi berlipat-lipat. Tahun ini, SKK Migas memproyeksikan investasi sektor hulu migas mencapai US$ 11 miliar, atau senilai Rp 159,693 triliun dengan kurs Rp 14.500 per dolar Amerika Serikat. Hingga Oktober lalu, realisasinya sudah US$ 8,1 miliar atau Rp 117,592 triliun. “Sedangkan proyeksi tahun depan, dalam rencana jangka panjang kami itu, sudah dipatok US$ 13 miliar (Rp 188,728 triliun),” kata pria 66 tahun tersebut. Tentu saja, menurut Dwi, proyeksi investasi sebesar itu bisa naik atau turun, tergantung dokumen rencana kerja dan anggaran kontraktor migas yang belum semua disetor ke SKK Migas. 

Salah satu investasi hulu migas yang tertunda dan akan dikejar pada 2022 adalah pengembangan Train III Kilang Liquid Natural Gas Tangguh di Teluk Bintuni, Papua. Kontraktor wilayah kerja ini, British Petroleum, menghentikan proyek gara-gara serangan Covid-19 meletup di Papua pada awal September lalu. Progres proyek ini sudah mencapai 89,58 persen di darat (onshore) dan 99,19 persen di lepas pantai (offshore).

Walhasil, proyek ekspansi yang bakal menghasilkan 700 juta standar kaki kubik gas dan 3.000 barel minyak per hari itu baru akan beroperasi secara komersial pada 2022. Padahal pembangunannya telah berjalan sejak 25 Agustus 2016, lima tahun lalu.

Petugas mengecek jaringan pipa minyak di kilang unit pengolahan (Refinery Unit) V, Balikpapan, Kalimantan Timur, Oktober 2019. ANTARA/Yulius Satria Wijaya

PT Pertamina (Persero) juga menebar keyakinan pada 2022. Mereka memancang target tinggi menyedot minyak di lebih dari 800 sumur pengembangan (development well) yang sudah ada di sejumlah wilayah kerja mereka. Rencana pengembangan itu naik dua kali lipat dibanding aktivitas hulu Pertamina tahun ini yang hanya dilakoni pada 370-an sumur.

Pengeboran sumur pengembangan tahun depan paling banyak bakal berlangsung di Blok Rokan, blok migas di Riau yang pengelolaannya baru beralih ke Pertamina dari Chevron pada 9 Agustus lalu.

Budiman Parhusip, Direktur Utama PT Pertamina Hulu Energi—subholding Pertamina untuk sektor hulu migas—mengatakan sejak awal perseroan tak hanya diberi mandat mempertahankan produksi Rokan. “Kami sudah diwanti-wanti, Rokan harus bisa menaikkan kinerjanya setelah Pertamina masuk,” ucap Budiman, Selasa, 30 November lalu.

Ditambah proyek besar lain, belanja modal yang akan digelontorkan Pertamina pada 2022 akan mencapai US$ 3,4 miliar atau sekitar Rp 43,35 triliun. Proyek besar yang disiapkan antara lain penyelesaian pengembangan lapangan gas Jambaran Tiung Biru di Blok Cepu, Jawa Timur, yang ditargetkan siap berproduksi (on stream) pada akhir tahun ini atau awal 2022. Ada pula proyek optimasi pengembangan Blok Sanga-Sanga dan Blok Mahakam di Kalimantan Timur.  

Industri ketenagalistrikan tak mau kalah menyambut sinar pemulihan ekonomi 2022. PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) sekarang sudah mulai bisa mesem melihat konsumsi listrik nasional yang membaik, setelah jeblok pada tahun pertama masa pandemi. 

Pada 2020, dari produksi listrik nasional sebanyak 265.119 gigawatt-jam (gWh), yang terserap oleh semua pelanggan PLN hanya 239.842,28 gWh atau 90,47 persen saja. Produksi itu pun sudah dikurangi dari kapasitas maksimal terpasang semua pembangkit listrik yang ada. Artinya, dibanding konsumsi listrik 2019, kinerja penjualan listrik PLN merosot, minus 1,28 persen, pada 2020.

Melihat tanda-tanda pemulihan konsumsi listrik, PLN memasang target tinggi. Mereka menargetkan pemakaian listrik pada 2021 tumbuh 4,5-4,75 persen dibanding tahun lalu. Tampaknya target itu sudah di jalur yang benar. Per Agustus 2021, pertumbuhan konsumsi listrik telah mencapai 10,52 persen secara year-on-year. Hingga Oktober 2021, semua pelanggan PLN sudah memakan setrum 210 ribu gWh. “PLN berfokus menciptakan permintaan listrik melalui intensifikasi dan ekstensifikasi,” kata Agung Murdifi, Executive Vice President Komunikasi Korporat PLN, pada Jumat, 3 Desember lalu. 

Program intensifikasi itu, Agung menjelaskan, diterapkan lewat penawaran berbagai paket layanan, misalnya dengan mendorong gaya hidup elektrik melalui penggunaan kompor induksi hingga kendaraan listrik. Adapun dalam strategi perluasan pasar, PLN menyasar perusahaan-perusahaan yang masih menggunakan pembangkit sendiri untuk dijadikan pelanggan. “Cara lain adalah melihat ceruk pasar potensial, seperti elektrifikasi agrikultur dan kelautan,” tutur Agung.

•••

PELUANG lain bagi sektor energi sebenarnya juga muncul di tengah meningkatnya desakan dunia internasional terhadap semua negara untuk ikut serta mengurangi pemanasan global. Itu sebabnya 2022 dipercaya akan menjadi batu lompatan untuk memperbesar pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT).

Berupaya mengejar target net zero carbon pada 2060, pemerintah pun memprioritaskan pengembangan EBT dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik 2021-2030. Sekitar 51 persen dari total kapasitas pembangkit baru yang akan dibangun sedekade ke depan berupa pembangkit EBT. “Paling banyak dari panel surya,” kata Ketua Komite Tetap Kadin Bidang Energi Baru dan Terbarukan Muhammad Yusrizki, Kamis, 2 Desember lalu.

Menurut dia, panel surya menjadi prioritas lantaran Indonesia sudah tertinggal jauh dari target bauran EBT. Per triwulan III 2021, porsi EBT dalam bauran energi nasional malah turun menjadi 10,9 persen dari posisi 11,2 persen pada periode yang sama tahun lalu. Sementara itu, pemerintah menargetkan bauran EBT setidaknya sebesar 23 persen pada 2025. Energi surya dianggap bisa menjawab keterbatasan waktu untuk mencapai target tersebut. “Hanya butuh waktu dua tahun buat beroperasi, dari awal mula pasangnya,” ujar Yusrizki, yang juga pengusaha panel surya. “Kalau panas bumi atau air itu butuh lima-delapan tahun untuk bisa beroperasi.”

Tahun depan, PLN juga mulai melelang 200 megawatt pembangkit panel surya. Sisanya, swasta terus merangsek ke pasar dengan menyediakan panel-panel bagi perusahaan multinasional yang beroperasi di Indonesia. Banyak korporasi global saat ini makin melek terhadap penggunaan energi bersih, entah didorong oleh meningkatnya kesadaran konsumen mereka entah tuntutan penyandang dana.

Menurut Fabby Tumiwa, Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia, kecenderungan perusahaan menggelar sendiri pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) di atap-atap fasilitas usaha menggeliat sejak 2019. Tahun depan, kata Fabby, justru akan makin banyak perusahaan yang memakai tenaga surya. “Perusahaan-perusahaan tambang juga mulai mengganti pembangkit diesel mereka dengan PLTS,” ujar Fabby pada Senin, 29 November lalu. “Mereka sudah lelang banyak tahun ini dan akan dieksekusi tahun depan.”

Masalahnya, Fabby menilai hambatan utama dalam pengembangan EBT hingga kini tak kunjung terurai. Harga jual listrik PLN sekarang masih di bawah nilai keekonomian. Sedangkan harga beli listrik energi terbarukan lebih mahal dibanding setrum dari pembangkit listrik tenaga uap. Walhasil, energi hijau ini cenderung dinomorduakan karena selisih bebannya tak mungkin ditanggung perusahaan listrik milik negara yang sudah megap-megap tersetrum utang itu.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Khairul Anam

Khairul Anam

Redaktur ekonomi Majalah Tempo. Meliput isu ekonomi dan bisnis sejak 2013. Mengikuti program “Money Trail Training” yang diselenggarakan Finance Uncovered, Free Press Unlimited, Journalismfund.eu di Jakarta pada 2019. Alumni Universitas Negeri Yogyakarta.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus