Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAUHID Siddiq terpelanting dari sepeda motornya di Jalan Wahid Hasyim, Palu, pada Jumat dua pekan lalu begitu guncangan hebat membuat jalur yang dilaluinya terbuncang-buncang. Terhuyung-huyung pria 58 tahun itu bangkit dari aspal. Dengan kesadaran yang belum pulih benar, ia mencoba menyalakan kendaraannya. Tapi bebeknya tak mau hidup.
Tauhid kemudian menuntunnya sejauh 200 meter. Lelah mendorong, ia mencoba mengengkolnya lagi. Siapa tahu bisa hidup. Kali ini, sepeda motornya meraung. Ia pun menghela gas menuju kediamannya di Perumahan Nasional Balaroa, Jalan Kamboja Nomor 9, Palu Barat.
Sepanjang perjalanan, Tauhid melihat jalanan retak. Di sejumlah titik bahkan terbelah. Bangunan di kiri-kanan jalan ambruk. Listrik mati setelah gempa dengan magnitudo 7,4 mengguncang Palu dan sekitarnya pada pukul 18.02 Waktu Indonesia Tengah itu. Sumber penerangan tinggal dari lampu sepeda motornya.
Dua puluh menit kemudian, Tauhid tiba di kediamannya yang sudah dia tem-pati selama 20 tahun itu. Rumah itu ambles sekitar 10 meter ke dalam tanah sebagaimana bangunan di sekitarnya. “Saya langsung berteriak memanggil nama istri, menantu, dan putri saya,” ujarnya, menceritakan lagi peristiwa itu, Senin pekan lalu.
Pekikan Tauhid memanggil-manggil istrinya, Suryani Daulah, hanya berbalas sipongang di hari yang mulai gelap. Begitu juga ketika ia menyebut nama menantunya, Hikmayanti, dan putrinya, Nur Wulan Tauhid. Tak ada yang menyahut.
Di tengah kesunyian, tiba-tiba terdengar suara lemah dari balik puing. Nyaris tak terdengar. “Bapak, ini Wulan, Bapak. Tolong saya, Bapak,” ujar Tauhid menirukan suara Wulan. Tauhid langsung mencari sumber suara.
Di antara puing bangunan dan timbunan tanah, Tauhid hanya mendapati Wulan dari leher ke atas. Badan hingga kaki putrinya yang berusia 18 tahun itu seperti tertanam di bumi. Tauhid bergegas turun ke reruntuhan dan, tanpa pikir panjang, mengeruk tanah dengan tangannya. Sambil terus menggali, Tauhid menanyakan keberadaan Suryani. “Wulan bilang mamanya sudah pingsan,” kata Tauhid.
Di tengah penggalian, kerabat Tauhid, Hamdin, datang. Tauhid menyuruh Hamdin mengambil sejumlah peralatan untuk mengangkat puing. Hamdin kembali bersama empat orang untuk mengevakuasi Wulan. Tauhid membuka bajunya, lalu menutupkannya pada kepala Wulan agar mata, hidung, dan mulut anak bungsunya itu tidak terkena repihan tanah. Di sela-sela evakuasi, Wulan meminta minum.
Tauhid pun menegukkan air ke mulut Wulan. Sesekali pula ia membasuh muka putrinya. Dua setengah jam setelah Tauhid mendengar suara lemah dari reruntuhan rumahnya, Wulan mengembuskan napas terakhir. Evakuasi tak berhasil. Timbunan puing dan tanah terlampau sulit diurai. “Saat itu mungkin Wulan masih hidup hanya untuk pamit kepada saya,” ujar Tauhid. “Ini di luar logika. Badan hingga kaki tertimpa beton dan tanah, tapi masih bisa hidup.”
Menurut Suharni, kakak Tauhid, sebelum gempa, ia sempat melihat Wulan dan Hikmayanti sedang bersiap-siap melakukan salat magrib. Rumah Suharni dan Tauhid bersebelahan. Kedua bangunan berada dalam satu pagar.
Suharni dan suaminya langsung menghambur melalui pintu depan begitu tanah bergoyang. Adapun Hikmayanti keluar melalui pintu belakang sambil menggendong bayinya. Tapi Suharni tak melihat Wulan dan ibunya, Suryani, keluar dari rumah. “Kejadiannya sangat cepat. Semua yang berdiri langsung roboh,” ujar perempuan 60 tahun itu. Setelah rumah mereka rata, Suharni mengajak Hikmayanti ke pengungsian.
Gibson Yakob, warga Balaroa yang tinggal tak begitu jauh dari rumah Tauhid, menceritakan detik-detik semua bangunan di Perumahan Nasional Balaroa melesak ke dalam tanah. Setelah gempa besar pertama dengan magnitudo 5,9 pada pukul 15.00 Wita yang diikuti 27 kali gempa susulan yang lebih kecil, Gibson mencari sapinya yang diangon di lapangan -Balaroa. Tapi sapi itu tak terlihat merumput di sana.
Seorang penghuni perumahan kemudian memberi tahu Gibson bahwa sapinya sudah berada di sekitar rumahnya. Petang itu, menjelang pukul 18.00, pria 45 tahun tersebut kembali ke rumah dan mendapati hewan peliharaannya berkeliaran di pekarangan. Ia kemudian mengikatnya di kebun sebelah rumah.
Pada saat itulah Gibson mendengar tanah yang dipijaknya bergemuruh. Batu-batu seperti bergesekan. Dari jarak satu meter, ia melihat jalan aspal di depan rumahnya melesak sekitar satu meter, lalu terangkat setinggi—perkiraan Gibson—tujuh meter. “Tanah bergelombang seperti tsunami di pegunungan,” ujarnya. “Tanah seperti encer.”
Di seberang jalan itu, semua bangunan di Perumahan Balaroa rata dengan tanah. Rumah Gibson, yang terletak di seberang perumahan itu, tak ikut ambles. Tapi dinding bangunannya retak. Ada juga yang rompal. Jalan di depan rumah Gibson menjadi garis tepi likuefaksi yang menelan Perumahan Balaroa. Badan Nasional Penanggulangan menyebut sebanyak 1.747 rumah di Balaroa terendam tanah dan diperkirakan lebih dari 2.000 orang hilang.
Malam itu Gibson, Tauhid, dan warga Balaroa lainnya yang selamat mengungsi ke lapangan di depan kantor Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Kelas I Palu, Jalan Sumur Yuga Nomor 4, juga di Balaroa. Beratap langit, tanpa alas dan terpal penghadang hujan, mereka bermalam di sana. Sebelum benar-benar memejamkan mata, Tauhid sempat mencari tahu keberadaan anggota keluarganya.
Tauhid mendengar kabar dari sejumlah orang bahwa tsunami menggulung Pantai Talise, Palu, beberapa menit setelah gempa. Ia lalu teringat pada putranya, Aqil Setyansah Siddiq, suami Hikmayanti, yang paginya pamit untuk menjaga stan penjualan mobil di Festival Pesona Palu Nomoni yang diselenggarakan di pantai. Acara ini diadakan untuk merayakan ulang tahun Kota Palu yang ke-40. “Saya tunggu sampai hampir subuh, Aqil tidak muncul juga,” ujar Tauhid.
Tauhid Siddiq -TEMPO/Husein Abri
Setelah hari terang, Tauhid mengutus keponakannya, Farlin, mencari Aqil. Tak lama, Farlin kembali ke pengungsian dengan membawa kabar duka: jenazah Aqil ditemukan di Lapangan Penggaraman di kawasan Pantai Talise. Tauhid tak percaya. Ia belum bisa menerima kehilangan dua anak dan istrinya sekaligus. Ia meminta Farlin membawanya ke lokasi jenazah Aqil ditemukan.
Jasad itu memang putranya. Hari itu juga Tauhid menguburkannya di Permakaman Umum Donggala Kodi.
Seusai pemakaman, Tauhid kembali ke rumahnya di Perumahan Balaroa untuk mengangkut jenazah Suryani Daulah dan Nur Wulan. Menggunakan peralatan seadanya, seperti sekop dan linggis, penggalian selesai tiga hari kemudian.
Menurut Tauhid, setelah puing dibongkar dan timbunan tanah diangkat, baru diketahui Wulan dalam posisi memeluk ibunya dari belakang. Kedua tangan Wulan berada di pinggang Suryani. Telapak kanan tangan Wulan menggenggam kunci sepeda motor. “Dia mungkin ingin menyelamatkan diri dengan membawa sepeda motor,” ujarnya. Suryani dan Wulan dikubur bersebelahan dengan Aqil.
Tauhid kini mengungsi di Perumahan Nasional Palu Permai, yang jaraknya sekitar dua kilometer dari Balaroa. Beberapa kali ia masih bermalam di halaman rumahnya yang telah rata. Ia berduka sangat dalam, tapi mencoba untuk tidak tenggelam. Ia harus menjaga cucunya, Ulfa, anak dari Aqil dan Hikmayanti, menantunya yang selamat. Ulfa berumur dua bulan. “Tinggal ini saja peninggalan mereka,” ujarnya.
HUSSEIN ABRI DONGORAN
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo