Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Tergagap pada Tanggap Darurat

Setumpuk masalah merundung penanganan bencana yang melanda Sulawesi Tengah. Dari koordinasi antarlembaga yang buruk hingga penjarahan. Pemerintah daerah terbata-bata.

5 Oktober 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LUMPUR itu seperti ombak yang datang bergulung-gulung. Kin Saluah sempat melihatnya sebelum rumahnya rata tersapu pada Jumat petang dua pekan lalu. Sambil terus berlari bersama keluarganya ke tempat yang tak terjangkau terjangan lumpur, sesekali Kin menengok ke belakang. “Seperti punya pusaran, lumpur itu menyedot apa saja yang ada di dekatnya,” kata pria 42 tahun itu pada Selasa pekan lalu.

Beberapa saat sebelumnya, rumah Kin, yang terletak di pinggir wilayah Kelurahan Petobo, Kecamatan Palu Selatan, Kota Palu, masih tegak setelah diguncang gempa dengan magnitudo 7,4 pada pukul 18.02 Waktu Indonesia Tengah. Tapi, agak ke tengah Petobo, gempa menyebabkan wilayah itu ambles. Bangunan yang berdiri di atasnya melesak ke dalam tanah.

“Saat gempa, tanah seperti diputar,” ujar Kin, “seperti air di dalam blender.” Setelah itu, luapan lumpur muncul dari dalam tanah dengan laju seperti tanah longsor.

Kondisi Jembatan Empat yang rusak akibat gempa dan tsunami di Palu, 29 September 2018. -TEMPO/Muhammad Hidayat

Badan Nasional Penanggulangan Bencana menyebutkan seluas 180 hektare wilayah Petobo terbenam ke dalam tanah. Gempa dan likuefaksi merebahkan 2.050 rumah. Camat Palu Selatan Ashar Yotomaruangi memperkirakan 6.000 dari 11.000 penduduk Petobo tewas dalam bencana itu. “Sekitar 75 persen rumah penduduk digulung lumpur,” katanya. Bersama Balaroa di Kecamatan Palu Barat, Petobo adalah daerah paling luluh-lantak di Palu.

Penduduk yang selamat seperti Kin Saluah kini bermukim di pengungsian yang masih terletak di Palu Selatan. Ashar Yotomaruangi tak tinggal diam melihat warganya kesusahan. Ia menggerakkan para lurah di wilayahnya mencari barang-barang yang dibutuhkan pengungsi. Ia juga berkoordinasi dengan pemerintah daerah untuk mendapatkan logistik. Tapi bantuan datang tak sesuai dengan kebutuhan.

Pada Rabu pekan lalu, Palu Selatan mendapat jatah sepuluh karung beras, yang masing-masing berisi 50 kilogram, dari Dinas Sosial Provinsi Sulawesi Tengah. Ashar kemudian menaruhnya di lapangan pendidikan anak usia dini terpadu Al-Fiqihiyah di Jalan Anoa, Kelurahan Tatura Utara—salah satu kelurahan di Palu Selatan yang tak terlampau parah diterpa bencana.

Ia putar otak untuk menyalurkannya. “Warga kecamatan saya ada 66 ribu jiwa,” ujar Ashar. “Mau tidak mau, bantuan harus diberikan secara bergilir.”

Ia gusar karena Pemerintah Kota Palu lamban bergerak. Selain dari Dinas Sosial Provinsi, bantuan didapat dari pihak lain kecuali dari pemerintah kota. Wali Kota Palu Hidayat dan wakilnya, Sigit Purnomo, tak tampak setelah gempa. Pada empat hari pertama, mereka tak melakukan koordinasi dengan bawahannya. Ketika Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla datang ke Palu dan memimpin rapat koordinasi penanggulangan bencana, keduanya juga tak hadir.

Kondisi bangunan rumah yang hancur akibat gempa di Perumnas Balaroa, Palu Barat. -TEMPO/Muhammad Hidayat

Koordinasi baru mulai berjalan pada Rabu pekan lalu. Itu pun bukan untuk memenuhi kebutuhan logistik yang minim seperti harapan Ashar. Wali Kota Hidayat memerintahkan Ashar membuat empat titik pengungsian baru. Ashar tidak menyanggupinya lantaran kesulitan mencari orang untuk mengurus tempat -mengungsi itu. “Siapa yang nanti mengatur dapur umumnya?” tutur Ashar. “Ya, sudah, kami tetap membagikan bantuan begini saja.”

Wali Kota Hidayat mengatakan ia sebenarnya sudah memerintahkan bawahannya, termasuk camat, mengurus pengungsi sejak Senin pekan lalu. Dalam hal logistik, camat ditugasi mengambil bantuan dari pemerintah kota, lalu menyalurkannya ke bawah. Tapi, karena logistik terbatas, kata Hidayat, bantuan belum merata.

Hidayat menyanggah berpangku tangan hanya karena tak terlihat oleh warganya. Menurut Hidayat, ia tidak ikut rapat dengan Jokowi dan Kalla karena harus mengurus logistik. “Saya juga sedang mengatur keterbatasan tenaga akibat banyak pegawai yang tidak masuk karena mengungsi atau menjadi korban gempa dan tsunami,” ujarnya.

Lantaran logistik minim, puluhan toko swalayan dan toko kelontong dijarah warga. Mereka mengincar bahan-bahan pokok. Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto menyebutkan para penjarah hanya mengambil makanan dan minuman. Tapi ada juga yang menggondol barang-barang lain. Tempo menyaksikan puluhan orang menjarah pusat belanja Ramayana di Jalan Emmy Saelan pada Selasa siang pekan lalu. Mereka membobol gerai sepatu dan sandal.

Barang-barang dagangan di toko itu digaruk penjarah. Beberapa orang memasukkan sandal dan sepatu ke kantong plastik berukuran besar. Sebagian kemudian bergeser ke tempat lain. Beberapa orang berusaha membuka terali Bank BRI. Ada juga yang merangsek ke dalam mal yang konstruksinya sudah ringsek akibat gempa. Pertokoan itu juga dijarah pada Sabtu dua pekan lalu, sehari setelah gempa.

Menurut Sekretaris Perusahaan PT Ramayana Lestari Sentosa, Setyardi Surya, perusahaannya rugi sekitar Rp 50 miliar akibat bencana dan penjarahan. “Saat ini kami lebih mengutamakan keselamatan para karyawan,” katanya.

Warga korban gempa mengambil berbagai keperluan logistik di Mamboro, Palu Utara, 1 Oktober 2018. -ANTARA/Muhammad Adimaja

Minimnya bahan makanan membuat warga pendatang yang sudah menetap di Palu meninggalkan kota itu. Faisal Anwar, 36 tahun, membawa istri dan putrinya pulang ke kampungnya di Makassar melalui Terminal Bus Tipo. “Kondisi tidak aman. Makanan sulit dan banyak penjarahan,” ujarnya.

HINGGA Jumat malam pekan lalu, Badan Nasional Penanggulangan Bencana mencatat bencana di Sulawesi Tengah menyebabkan 62.359 orang mengungsi. Korban tewas mencapai 1.648 orang, sementara 2.549 orang terluka. Sebanyak 113 orang dilaporkan hilang dan 152 orang tertimbun. Di seluruh Sulawesi Tengah, terdata 65.733 rumah rusak akibat gempa, tsunami, dan likuefaksi.

Kombinasi masifnya kerusakan, korban, dan pengungsi, ditambah buruknya koordinasi, membuat rapat penanganan bencana se-Sulawesi Tengah di lapangan Komando Resor Militer 132/Tadulako, Palu, pada Selasa pekan lalu berlangsung panas. Suara Mayor Jenderal Tiopan Aritonang, yang memimpin rapat, meninggi begitu mendengar pernyataan Kepala Dinas Kesehatan Sulawesi Tengah Reny Ardiawati Lamadjido.

Reny bercerita bahwa ia ditegur atasannya di Kementerian Kesehatan karena dinilai kurang cergas menangani korban di Palu, Donggala, dan Sigi, tiga wilayah di Sulawesi Tengah yang paling kena dampak bencana. Tiopan justru setuju dengan Kementerian Kesehatan. “Biarkan semuanya ditegur,” ujar Panglima Komando Daerah Militer XIII/Merdeka ini.

Tiopan, yang menjadi Komandan Komando Tugas Gabungan Paduan Penanganan Bencana di Sulawesi Tengah, juga mempersoalkan koordinasi yang lemah dengan pemerintah daerah. Menurut dia, perwakilan Dinas Perhubungan dan Dinas Sosial Sulawesi Tengah tak pernah hadir dalam rapat evaluasi dan rencana program penanganan bencana. Kepala Dinas Kesehatan Reny juga baru pertama kali hadir dalam pertemuan yang digelar tiap hari mulai pukul 19.00 sejak bencana terjadi itu.

Menurut Tiopan, koordinasi dengan Dinas Perhubungan sangat penting karena menyangkut ketersediaan kendaraan untuk mengangkut logistik dan penduduk. Sedangkan Dinas Sosial berperan dalam mendata sekaligus mendistribusikan kebutuhan pengungsi. Semestinya, kata Tiopan, satuan kerja perangkat daerah ini bahu-membahu dalam penanggulangan bencana. “Ini perbaikan untuk mereka semua,” ujar lulusan Akademi Militer 1986 ini.

Komandan Korem 132/Tadulako Kolonel Agus Subiyanto menunjukkan contoh berantakannya koordinasi di lapangan. Menurut Agus, ia berulang kali meminta bantuan tenaga, termasuk Satuan Polisi Pamong Praja, kepada pemerintah daerah untuk membersihkan tempat-tempat vital supaya segera berfungsi lagi. Tapi, kata dia, pemerintah kota dan provinsi tidak pernah memberikannya. “Sampai petugas TNI yang menyapu bandara,” ujar Ketua Satuan Tugas Bencana Sulawesi Tengah ini. Padahal Bandar Udara Mutiara SIS Al-Jufri adalah poros penerbangan di Sulawesi Tengah.

Reny Ardiawati membantah tudingan bahwa ia baru pertama kali hadir dalam rapat. “Pak Pangdam saja yang pertama kali memimpin rapat. Saya sudah pernah hadir sebelumnya,” ujar Reny seusai pertemuan. Ia enggan menjelaskan kembali perihal teguran dari Kementerian Kesehatan.

Suasana pengungsian warga korban bencana gempa dan tsunami di lapangan kantor Wali Kota Palu, 30 September 2018. -ANTARA/Muhammad Adimaja

Kepala Pusat Krisis Kesehatan Kementerian Kesehatan Ahmad Yurianto menuturkan, lembaganya memang menghubungi Reny pada Ahad pekan lalu. Ahmad meminta kantor Dinas Kesehatan Sulawesi Tengah yang sedang tutup digunakan untuk melayani korban bencana dan penduduk.

Gubernur Sulawesi Tengah Longki Djanggola mengatakan instansi di bawahnya sebenarnya sudah berkoordinasi. “Sudah ada timnya. Tapi, kalau mau lihat orang per orang, tak akan kelihatan,” ujarnya. Longki pun mengklaim sudah mengumpulkan bupati dan wali kota se-Sulawesi Tengah. Bantuan dari daerah-daerah yang tidak dilanda bencana telah mengalir ke pos-pos pengungsian.

PULUHAN orang merangsek ke Lapangan Tiswan di Kampung Wani, Kecamatan Tanatopea, Kabupaten Donggala, begitu tiga helikopter perlahan mendarat pada Kamis sore pekan lalu. Agus Salim, warga Jalan Bara Kaili, Kampung Wani, yang rumahnya diempas tsunami, berharap helikopter itu membawa bantuan. Harapan Agus pupus. Helikopter hanya singgah sesaat. “Tak ada bantuan dari pemerintah,” katanya.


 

Wakil Presiden Jusuf Kalla menampik kabar bahwa helikopter terlambat dioperasikan. Menurut komandan penanganan bencana Sulawesi Tengah itu, ada empat helikopter yang sudah terbang di Sigi dan Donggala. “Siapa bilang telat? Dua hari sudah ada di sini,” ujarnya.

 


 

Di Palu, helikopter mulai terlihat lalu-lalang sejak Rabu pekan lalu. Padahal, menurut Bambang Darmono, mantan Komandan Pelaksana Pemulihan Kondisi Darurat Gempa dan Tsunami Aceh—setelah bencana melanda Serambi Mekah pada 2004—helikopter adalah moda paling efektif untuk menjangkau daerah yang terisolasi. Belajar dari pengalaman di Aceh, penanganan pada masa tanggap darurat baru mangkus bila heli beroperasi.

Wakil Presiden Jusuf Kalla menampik kabar bahwa helikopter terlambat dioperasikan. Menurut komandan penanganan bencana Sulawesi Tengah itu, ada empat helikopter yang sudah terbang di Sigi dan Donggala. “Siapa bilang telat? Dua hari sudah ada di sini,” ujarnya.

Menurut Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Willem Rampangilei, penanganan tanggap darurat di Sulawesi Tengah berbeda dengan di daerah lain. Musababnya, bencana menerjang Palu yang menjadi pusat ekonomi dan distribusi logistik provinsi itu. Lantaran keterbatasan sumber daya dan transportasi, pemerintah pun memfokuskan penanganan di Palu, baru kemudian di Donggala dan Sigi. “Di Palu, kami butuh tujuh hari agar barang masuk dan listrik menyala.”

HUSSEIN ABRI DONGORAN, SYAIFUL HADI (PALU), RAYMUNDUS RIKANG (JAKARTA)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus