KERETA kuda alias dokar masih jadi masalah, di kota Mataram.
Pokok pangkalnya sama saja, sebagaimana dialami kendaraan serupa
itu di kota-kota laun semenjak serbuan jenis kendaraan umum
bermotor belakangan ini. Makin tersingkir karena jengkal demi
jengkal wilayah mereka terus dibatasi. Lebih-lebih lagi karena
anggapan umum, bahwa polusi kotoran kuda lebih jahat dari bahaya
yang ditimbulkan bekas bahan bakar kendaraan-kendaraan bermotor.
Di seluruh Kabupaten Lombok Barat, terdapat hampir 5.000 buah
dokar. Sekitar 1/5 dari jumlah itu mondarmandir di kota Mataram.
Oleh karena itu pejabat-pejabat kota ini rupanya sudah lama
tergoda untuk menghalau mereka dengan alasan suka mengusutkan
lalu-lintas di samping juga tak sedap dipandang mata. Usaha
memperkecil gerak mereka sudah dimulai sejak beberapa waktu
lalu. Tapi dengan alasan tak dapat membaca tanda-tanda
lalu-lintas (karena umumnya kusir-kusir itu sudah tua dan buta
huruf), pelanggaran dalam bentuk memasuki daerah terlarang,
kerap mereka lakukan. Tak heran jika para kusir itu sering jadi
sasaran pecut anggota-anggota Polantas.
Untuk mengusir dokar-dokar itu sekaligus ke luar kota tentu
punya risiko. Paling tidak akan menambah deretan penganggur
sekaligus mematahkan mata-pencaharian mereka. Memindahkan
profesi mereka ke sektor perburuhan atau pertanian misalnya, tak
semudah itu. Sebab kebanyakan dari mereka sudah puluhan tahun
dan tua di belakang ekor kuda. "Saya jadi kusir karena tak bisa
kerja di pabrik dan di sawah," ucap Amaq Sinarep seorang kusir.
Seperdua dari umur Amaq yang 55 tahun itu terayun-ayun di atas
dokarnya. Menurut orang ini, setelah jalur jalan dalam kota
banyak tertutup buat dokar, penghasilannya sehari tak pernah
lebih dari Rp 500. 'Itu penghasilan kotor, belum untuk beli
makan kuda dan makan saya sendiri," katanya.
Pernah ada saran agar dokar-dokar itu beroperasi di luar kota,
sebagai angkutan umum antar desa. Tapi mendengar hal itu para
kusir buru-buru menampik. Sebab, di desa-desa itu ternyata
bemo-bemo sudah lama manggaet penumpang, meskipun kendaraan ini
ditetapkan hanya heroperasi di dalam kota. "Kalau bemo boleh
beroperasi di desadesa, nengapa kami tak boleh di dalam kota?"
balas seorang kusir. Di kota nemang sudah terlalu banyak bemo,
sehingga tak sedikit yang mengalihkan sasarannya ke desa-desa.
Dan dalam keadaan begitulah para kusir di kota Mataram mencoba
bertahan, mencoba menyambung nafas tua mereka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini