Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Tua di belakang kuda

Dokar menjadi hambatan angkutan kota di mataram sejak ada kendaraan bermotor, dokar makin tersingkir. mengusir dokar menimbulkan resiko pengangguran. mereka masih bertahan. (kt)

10 September 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KERETA kuda alias dokar masih jadi masalah, di kota Mataram. Pokok pangkalnya sama saja, sebagaimana dialami kendaraan serupa itu di kota-kota laun semenjak serbuan jenis kendaraan umum bermotor belakangan ini. Makin tersingkir karena jengkal demi jengkal wilayah mereka terus dibatasi. Lebih-lebih lagi karena anggapan umum, bahwa polusi kotoran kuda lebih jahat dari bahaya yang ditimbulkan bekas bahan bakar kendaraan-kendaraan bermotor. Di seluruh Kabupaten Lombok Barat, terdapat hampir 5.000 buah dokar. Sekitar 1/5 dari jumlah itu mondarmandir di kota Mataram. Oleh karena itu pejabat-pejabat kota ini rupanya sudah lama tergoda untuk menghalau mereka dengan alasan suka mengusutkan lalu-lintas di samping juga tak sedap dipandang mata. Usaha memperkecil gerak mereka sudah dimulai sejak beberapa waktu lalu. Tapi dengan alasan tak dapat membaca tanda-tanda lalu-lintas (karena umumnya kusir-kusir itu sudah tua dan buta huruf), pelanggaran dalam bentuk memasuki daerah terlarang, kerap mereka lakukan. Tak heran jika para kusir itu sering jadi sasaran pecut anggota-anggota Polantas. Untuk mengusir dokar-dokar itu sekaligus ke luar kota tentu punya risiko. Paling tidak akan menambah deretan penganggur sekaligus mematahkan mata-pencaharian mereka. Memindahkan profesi mereka ke sektor perburuhan atau pertanian misalnya, tak semudah itu. Sebab kebanyakan dari mereka sudah puluhan tahun dan tua di belakang ekor kuda. "Saya jadi kusir karena tak bisa kerja di pabrik dan di sawah," ucap Amaq Sinarep seorang kusir. Seperdua dari umur Amaq yang 55 tahun itu terayun-ayun di atas dokarnya. Menurut orang ini, setelah jalur jalan dalam kota banyak tertutup buat dokar, penghasilannya sehari tak pernah lebih dari Rp 500. 'Itu penghasilan kotor, belum untuk beli makan kuda dan makan saya sendiri," katanya. Pernah ada saran agar dokar-dokar itu beroperasi di luar kota, sebagai angkutan umum antar desa. Tapi mendengar hal itu para kusir buru-buru menampik. Sebab, di desa-desa itu ternyata bemo-bemo sudah lama manggaet penumpang, meskipun kendaraan ini ditetapkan hanya heroperasi di dalam kota. "Kalau bemo boleh beroperasi di desadesa, nengapa kami tak boleh di dalam kota?" balas seorang kusir. Di kota nemang sudah terlalu banyak bemo, sehingga tak sedikit yang mengalihkan sasarannya ke desa-desa. Dan dalam keadaan begitulah para kusir di kota Mataram mencoba bertahan, mencoba menyambung nafas tua mereka.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus