TAHUN lalu, konon ratusan surat kaleng dilayangkan ke meja Letkol Soerjadi Setiawan, bupati Jember, Jawa Timur. Dan tahun ini, sejak Januari, sudah puluhan surat serupa harus diurusinya. "Banyak yang tak logis," ujar Sekwilda, Drs. H. Irwan Masrur Hadiputranto. Ada, misalnya, surat yang datang dari Desa Mlokorejo, Puger. Isinya laporan tentang pembantu kepala dusun yang dikatakan mempunyai gendak dan suka main perempuan. "Harus diganti, buntut surat itu, seperti perintah. Setelah dicek ke mana-mana, ternyata tuduhan itu tak benar. Seperti itu juga, surat dari Desa Rambipuji, tahun lalu, melaporkan ulah Kepala Desa H. Kamaluddin, yang dikatakan berbini empat. Pada perayaan 17 Agustus, dikatakan Kamaluddin bersanding di tengah penonton pawai dengan istri mudanya, "sementara istri tuanya dibiarkan mangkrak di rumah". Ternyata, istri Kamaluddin cuma dua. Dan di saat perayaan 17 Agustus itu, istri tuanya sedang menunaikan ibadat haji. "Mereka itu ingin menggeser kedudukan saya," kata sang kades. Tapi, kata Sekwilda, ada juga surat kaleng yang ketika dicek ke lapangan ternyata benar. Seperti yang menyebut sengketa tanah waris di Desa Balung, yang salah satu pihaknya didukung perangkat desa. "Kasusnya sekarang sudah di tangan Pengadilan Negeri Jember," katanya. Walau begitu, Bupati berupaya membendung kebiasaan surat budek itu. Caranya, seperti dilontarkannya dalam pertemuan dengan masyarakat nelayan Puger, Maret lalu, "Setiap surat kaleng yang ingin ditanggapi harus ditempeli prangko seharga Rp 5.000," katanya - sambil, hitung-hitung, membantu pemerintah dalam masa resesi. "Surat kaleng itu budaya yang tidak sehat," kata Bupati tanpa sempat menjelaskan apa saja yang mendorong tumbuhnya iklim surat buta itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini