Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Ke namibia, kita perlu berpaling

Kemacetan penyelesaian namibia terletak pada urusan ekonomi dengan usa, inggris, paris, 3 negara anggota tetap dewan keamanan. diplomasi macet & timbul gerakan kemerdekaan namibia yang mirip partai komunis.

31 Mei 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SIAPA yang peduli tentang Namibia? Di tengah hiruk pikuk aneka ragam masalah internasional masa kini, tak banyak perhatian ditujukan pada negeri di kawasan di Afrika Barat Daya itu, yang dirampas pemerintah Republik Afrika Selatan. Tahun 2001 tinggal 15 tahun lagi, tetapi di Namibia masih ada kolonialisme politik. Kalau pada tahun 1945-1955 adalah masa kebangkitan negara-negara Asia, dan tahun 1955-1965 masa tampilnya negara-negara Afrika hitam, maka bagi orang hitam di Namibia rasanya dunia telah melupakan mereka. Ratusan resolusi dan pernyataan di Perserikatan Bangsa-Bangsa (baik lewat Sidang Umum Dewan Keamanan, Dewan Perwalian, maupun sejumlah konperensi lain) tak berhasil mengusir Republik Afrika Selatan dari wilayah yang selang lima belas tahun belakangan ini praktis dijadikan salah satu provinsinya. Di Gerakan Nonblok, masalah Namibia - seperti juga masalah alot lainnya, Palestina - lama menjadi langganan agenda konperensi. Namibia, yang dulu dikenal sebagai Afrika Barat Daya, diduduki Jerman antara 1884 dan 1890. Setelah Jerman kalah dalam Perang Dunia I, Afrika Barat Daya dijadikan wilayah mandat Liga Bangsa-Bangsa. Tapi kemudian pemerintah Republik Afrika Selatan merampas bagian terbesar tanah milik orang hitam di Namibia, dan merelokasi penduduknya ke daerah perkotaan untuk dijadikan buruh murah di berbagai kegiatan industri. Setelah Perserikatan Bangsa-Bangsa didirikan pada 1945, Republik Afrika Selatan menolak tanggung jawab mempersiapkan kemerdekaan bagi mayoritas penduduk wilayah itu. Alasannya, sistem perwalian di bawah Liga Bangsa-Bangsa lain dengan sistem perwalian Perserikatan Bangsa-Bangsa. Padahal, yang ingin dipertahankan mereka sistem apartheid, yang bertentangan dengan kaidah-kaidah piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa. Selama 20 tahun (1946-1966) Perserikatan Bangsa-Bangsa membujuk Republik Afrika Selatan untuk memasukkan Afrika Barat Daya ke dalam sistem perwalian PBB. Tapi pemerintah Afrika Selatan, yang berkedudukan di Pretoria, menolak. Alasannya, wilayah Afrika Barat Daya akan diatur sesuai dengan "semangat" mandat Liga Bangsa-Bangsa. Karena Liga Bangsa-Bangsa sudah tamat riwayatnya pada 1939, menurut Pretoria, tak ada alasan memasukkan Afrika Barat Daya ke dalam sistem perwalian PBB. Sementara itu, kuku pemerintahan Afrika Selatan ditancapkan juga di Afrika Barat Daya. Ada pembedaan kedudukan dan hak 105.000 warga kulit putih dengan 550.000 orang "bukan putih" yakni Afrika hitam, orang Berwarna (seolah-olah "putih" bukan warna), dan orang Bastar (campuran). Lebih dari 80 persen orang "bukan putih" adalah warga Afrika hitam yang tidak berhak atas tanah leluhurnya, tak boleh bepergian tanpa memegang surat jalan, dan ditempatkan di permukiman khusus. Ada juga Undang-Undang Tuan dan Hamba (Master and Servants Law) yang menjatuhkan hukuman berat bagi orang hitam yang "bikin macam-macam" dengan orang kulit putih. Perekonomian Afrika Barat Daya, yang berangsur-angsur dikenal dunia luar sebagai Namibia, dipegang ketat oleh orang-orang putih turunan Belanda dan Jerman. Mereka giat dalam usaha industri modern, seperti pertambangan berlian, perikanan, peternakan, perbankan. Sementara itu, orang hitam dibatasi pada bidang pertanian secukupnya. Sebab, kemacetan penyelesaian Namibia memang terletak pada masalah kepentingan ekonomi. Bagian terbesar industri Namibia berpusat pada pertambangan berlian dan pengolahan kulit domba karakul, yang digemari wanita-wanita kaya di London, Paris, dan New York. Keuntungan kedua jenis industri itu mencapai sekitar US$ 95 juta setahun, yang dibagi tiga oleh Amerika, Inggris, dan Afrika Selatan. Walhasil, karena Amerika Serikat, Inggris, dan Prancis adalah tiga dari lima negara anggota tetap Dewan Keamanan, maka sulit bagi orang hitam Namibia dan pemimpin-pemimpin Afrika lainnya untuk berharap bahwa "jalan perundingan" akan mencapai kemerdekaan sejati bagi mayoritas rakyat Afrika Hitam. Pada 1966, Mahkamah Internasional, yang berkedudukan di Den Haag, menolak gugatan Etiopia dan Liberia tentang kewajiban PBB mengambil alih masalah Namibia dari Afrika Selatan. Tapi, atas desakan 24 negara Afrika hitam, yang geram atas keputusan Mahkamah Internasional itu, Sidang Umum PBB pada Oktober 1966 memutuskan penghentian mandat Republik Afrika Selatan terhadap Afrika Barat Daya, dan menyatakan wilayah itu menjadi tanggung jawab langsung PBB. Tahun 1971, Mahkamah Internasional memberi keputusan yang tegas menyatakan bahwa pendudukan atas Namibia oleh Afrika Selatan adalah tindakan yang tidak sah. Pemerintah Afrika Selatan kembali menolak keputusan Mahkamah, sehingga Perserikatan Bangsa-Bangsa resmi menyatakan sikap Afrika Selatan itu menciptakan kondisi yang mengganggu usaha memelihara perdamaian dan keamanan di kawasan tersebut. Dampak rangkaian tindakan dan sikap negara-negara seperti Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Jerman Barat, dan beberapa negara industri lainnya, yang berkepentingan dengan perekonomian di Afrika Selatan dan Namibia, kemacetan diplomasi makin terasa. Akibatnya adalah bangkitnya pergerakan kemerdekaan Namibia, yang dalam ideologi dan organisasi banyak mirip dengan gerakan partai komunis. Itu tak dapat dihindarkan karena Namibia sudah lama menjadi ujian bagi sikap pemerintah-pemerintah Barat agar memilih antara rezim rasialis Afrika Selatan dan kemerdekaan bagi mayoritas bangsa Afrika hitam. Organisasi pembebasan seperti SWAPO (South West Africa People's Organization), meski belum setenar PLO-nya Yasser Arafat, sekarang sudah menjadi pelaku tetap dalam sidang-sidang Gerakan Nonblok. Tokoh Namibia seperti Herman Toivo (sejak 1968 dihukum penjara 20 tahun) dan Sam Nujoma (presiden SWAPO) mungkin belum setenar Desmond Tutu atau Nelson Mandela. Tetapi keadaan akan berubah. Bagi kita, Namibia mungkin suatu masalah yang terlalu jauh untuk diurus. Tapi, ada dua alasan mengapa Namibia harus masuk benak kita selama pekan setia kawan dengan Namibia - 25 Mei-2 Juni 1986. Pertama, tentu pesan prinsip yang ada dalam Mukadimah UUD 1945 bahwa kita "turut serta melaksanakan ketertiban dunia atas dasar kemerdekaan, keadilan, dan perdamaian abadi". Kedua, alasan praktis: Namibia perlu kita dukung karena kita harus mendapatkan suara negara-negara Afrika hitam yang mungkin masih ragu-ragu tentang perkembangan di Timor Timur. Di situlah titik temu Namibia, yang terletak jauh di Afrika, dengan negeri kita.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus