Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kirk Page dan Jade Dewi Tyas Tunggal berhadapan. Situasi panggung yang agak temaram memikat penonton untuk memperhatikan gerakan Page dan Dewi. Wajah mereka saling menatap. Dua penari kontemporer asal Australia itu mulai meliuk-liuk. Beberapa saat setelah Page dan Dewi menari, para perwakilan suku di Nusantara mulai memasuki panggung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Para perwakilan suku itu kemudian menari. Gerakan mereka lambat, memunculkan kesan ketenangan, hingga suara uhuk-uhuk seperti batuk terdengar dari panggung. Tiba-tiba tarian mereka seperti kehilangan arah. Mereka kemudian mulai berjatuhan. Tak lama berselang, mereka bangkit begitu muncul bunyi berdenting.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tari kolaborasi berjudul Smoke itu menutup rangkaian acara "Indigenous Celebration", yang berlangsung di Museum Seni Agung Rai (ARMA), Ubud, Bali, pada 11-13 Mei lalu. Konsep tarian itu berusaha membagi dua cerita tentang asap, yaitu sebagai kebutuhan ritual dan penyebab polusi. "Saat ini asap juga berdampak negatif pada lingkungan," kata Kirk Page, penari keturunan Aborigin-Australia.
Menurut Jade Dewi Tyas, asap dalam tarian itu merupakan metafora. Meski asap bisa dilihat kasatmata, ia tak bisa disentuh. "Asap terkesan rapuh, tapi ketika menjadi polusi bisa membahayakan," ujar perempuan keturunan Jawa-Australia itu. Ia mencontohkan kasus kebakaran hutan di Kalimantan pada 2015.
Dewi menambahkan, ide tarian itu menggabungkan respons setiap orang untuk mengatur gerakan dan olah napas. Dengan demikian, tarian itu pun ditujukan untuk merespons masalah polusi di Indonesia, baik yang disebabkan oleh asap limbah maupun asap kebakaran. Tarian ini juga menjadi respons atas manfaat api dan asap sebagai kebutuhan ritual dalam masyarakat adat.
Menurut Dewi, proses kreatif tari Smoke memerlukan pengetahuan lintas budaya. Karena itu, penciptaannya dikerjakan perlahan lantaran melibatkan banyak orang dengan latar belakang berlainan. Orang-orang dari banyak suku itu harus saling mengenal dan memahami untuk membentuk dasar setiap gerakan. "Tari ini bisa menjadi pengetahuan bersama untuk memahami permasalahan polusi asap," katanya.
Selain tari kolaborasi Smoke, dalam lokakarya di acara "Indigenous Celebration" ditampilkan beberapa tari lintas kebudayaan dari Dayak Benuaq, Gayo, dan Aborigin. Manar Dimansyah Gamas dari suku Dayak Benuaq bercerita tentang tari temanekng. Tarian ini biasa dibawakan pemain behempas sebelum melakukan olahraga tradisional khas Dayak Benuaq tersebut. Manar menuturkan, pada masa lampau, temanekng ditarikan untuk meninjau kemampuan musuh sebelum bertanding. "Tujuannya untuk mencari lawan tanding, sepadan atau tidak," ujarnya.
Namun, Manar melanjutkan, pertarungan itu telah berubah menjadi olahraga seni bela diri. Behempas menyajikan bentuk pertarungan yang melibatkan dua orang laki-laki dewasa. Mereka saling memukul dengan rotan. Ada dua alat yang digunakan, yaitu rotan untuk memukul dan seloko (tameng). Seloko adalah perisai berbahan rotan yang dianyam. Menurut Manar, behempas juga bermakna menumbuhkan kekuatan dan ketangkasan.
Jaymen Drahm, penari keturunan Aborigin, menceritakan latar belakang perpaduan seni tari yang berkembang dalam kebudayaan Mamu. Ia adalah orang Yidinji, yang berasal dari Queensland, Australia. Drahm memadukan tari kontemporer dengan unsur tradisi. Ia mulai mempelajari seni tari ketika tengah tertarik pada hip-hop. Setelah 10 tahun menggeluti hip-hop, ia mempelajari tari tradisional. "Saya ingin menjembatani tari modern dengan adat," kata Drahm.
Drahm kemudian mengajak orang-orang Gayo dan Dayak Benuaq serta pengunjung lain mengikuti gerakannya. Dia menerangkan, gerakan tari tradisional di Australia berhubungan dengan totemisme. "Jiwa manusia punya hubungan dengan hewan, gunung, sungai, dan laut," ujarnya. Gerakan tari yang mengandung unsur tradisional itu mengingatkan manusia agar menjaga alam.
Drahm mengajak peserta lokakarya membentangkan tangan sambil menggerakkan jemari. Ia menunjukkan unsur tari yang berasal dari gerakan burung. Lalu ia merapatkan jari telunjuk dan tengahnya. Kedua tangannya lantas ia tempelkan pada dua sisi kepalanya. Kali ini ia menunjukkan gerakan kanguru. Drahm agak membungkuk sambil melompat. Tangannya berputar mengayun di depan perut. "Ini gerakan kanguru yang sedang mengumpulkan tanah," katanya. Setelah memperagakan semua gerakan yang mengandung unsur totemisme binatang, Drahm memutar musik hip-hop untuk memadukan gerakan tari modern dengan tari tradisional khas Aborigin.
Selanjutnya, suku Gayo dari Aceh memperkenalkan tari guel. Tarian ini juga mengambil inspirasi dari gerakan binatang. Tari guel memiliki unsur lembut dan bersahaja. Binatang yang mempengaruhi gerakan tari guel adalah gajah putih. Belaian gajah dilambangkan melalui ayunan tangan sang penari yang gemulai tapi tegas.
Drahm tampak antusias melihat gerakan tari guel. Ia melihat ada hubungan pengetahuan di antara masyarakat adat tentang alam. "Ada bahasa dalam tubuh yang memahami jiwa untuk menari seperti gerakan binatang," ucap Drahm.
Bram Setiawan
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo