Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Suara entakan kaki, tepuk tangan, dan sorak-sorai suporter Rusia menggemuruh di Stadion Luzhniki, Moskow, ketika Denis Cheryshev mencetak gol pada menit pertama injury time laga pembuka Piala Dunia 2018, Kamis pekan lalu. Gol dari tembakan deras Cheryshev itu menambah keunggulan Rusia atas Arab Saudi menjadi 4-0. Gol itu adalah gol kedua Cheryshev dalam laga tersebut, setelah gawang Arab Saudi ia jebol pada menit ke-43.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebelum gol tersebut, para suporter Rusia sebenarnya sudah berdiri dan bersiap keluar dari tribun Luzhniki. Keunggulan 3-0 lewat gol Yury Gazinskiy, Cheryshev, dan Artem Dzyuba sudah cukup membuat pendukung Sbornaya-julukan tim Rusia yang berarti Tim Nasional-puas. Mereka sudah tertawa lebar dan berpelukan menjelang laga berakhir.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bukan cuma Cheryshev yang membuat para suporter itu tak jadi keluar dari stadion. Aleksandr Golovin juga membuat mereka "menggila" setelah melengkapi kemenangan Rusia menjadi 5-0 lewat tendangan bebas dari luar kotak penalti sesaat sebelum wasit meniup peluit akhir. "Pertandingan ini benar-benar luar biasa," kata Andrei Zaitsyev, salah seorang suporter Sbornaya, lalu terbahak sambil merentangkan bendera Rusia di atas kepalanya.
Seperti Zaitsyev, suporter Rusia lainnya keluar dari Luzhniki dengan bungah. Kemenangan besar ini jelas di luar prediksi mereka. Bahkan, sebelum Gazinskiy menjebol gawang Abdullah al-Mayouf, pendukung Rusia terlihat menonton laga dengan resah. Mereka beramai-ramai menyemangati tim, tapi kerap mengumpat kesal ketika ada peluang mencetak gol yang disia-siakan.
Rusia membawa beban besar meraih prestasi dalam Piala Dunia 2018 selain sebagai penyelenggara. Gazinskiy dan kawan-kawan tidak termasuk tim yang diunggulkan. Catatan pertandingan Rusia pun mengkhawatirkan: tidak pernah menang dalam tujuh laga terakhir.
Di atas kertas persaingan dalam Piala Dunia, Rusia dan Arab Saudi berada di kasta terbawah. Dalam daftar peringkat Federasi Asosiasi Sepak Bola Internasional (FIFA), Rusia menempati posisi ke-70 atau terpaut tiga tingkat di bawah Arab Saudi, yang berada di posisi ke-67. Peringkat ini menjadi yang terburuk bagi Rusia dalam 25 tahun terakhir atau setelah berakhirnya era sepak bola Uni Soviet.
Namun Rusia mulai membalikkan situasi. Mereka mencatat kemenangan terbesar kedua yang pernah dicetak penyelenggara Piala Dunia setelah Italia menggilas Amerika Serikat 7-1 pada 1934. Hasil yang dicapai Rusia juga memperpanjang catatan tak terkalahkan tim tuan rumah dalam laga pembuka selama 21 edisi Piala Dunia.
Pamor Denis Cheryshev langsung meroket setelah laga itu. Padahal pelatih Stanislav Cherchesov nyaris tak memilih pemain 27 tahun itu karena tak pernah bermain di tim nasional selama empat tahun dan tak ikut Piala Konfederasi tahun lalu.
Pemain klub Villareal (Spanyol) itu bahkan bergulat dengan cedera dan meja operasi dalam 18 bulan terakhir, yang membuatnya sering absen di La Liga. "Aku bangga bisa membantu tim dan keluarga. Mereka sudah banyak menderita selama ini," ucap Cheryshev seperti dikutip Reuters.
Kemenangan itu membuka jalan Rusia untuk membangun kembali citra sepak bolanya. Cheryshev mengatakan Rusia membutuhkan momen tersebut untuk bangkit. "Bahkan dalam angan terliarku, tak pernah aku membayangkan bisa ada kemenangan seperti hari ini," katanya.
RUSIA menghabiskan delapan tahun dan Rp 155 triliun untuk menyiapkan Piala Dunia. Sepuluh stadion dibangun dari nol. Dua stadion lainnya, Luzhniki dan Ekaterinburg Arena-sebelumnya bernama Central Stadium-mendapat jatah renovasi besar-besaran.
Sepak bola adalah olahraga terfavorit di Rusia. Lebih dari 1,5 juta atlet berkecimpung dalam cabang olahraga ini. Klub-klub raksasa, seperti CSKA, Spartak Moscow, Zenit St Petersburg, dan Lokomotiv Moscow, bersaing merebut prestasi di kancah Eropa. Namun, dibanding atlet olahraga populer lain di Negeri Beruang Merah, prestasi tim nasional sepak bola bisa dibilang paling melempem.
Di cabang senam artistik, misalnya, Rusia sudah menjadi salah satu negara yang disegani. Demikian pula dalam cabang ski, atletik, tenis, dan hoki. Tim hoki Rusia bahkan berhasil menjuarai Olimpiade Musim Dingin pada Februari lalu di PyeongChang, Korea Selatan, di tengah kontroversi doping yang membekap tim tersebut.
Redupnya prestasi sepak bola Rusia berbanding terbalik dengan masifnya ekspansi olahraga ini. Orang dengan mudah menemukan lapangan sepak bola baik yang menyatu dengan arena olahraga lain maupun terpisah, seperti yang terdapat di banyak taman komunal di permukiman setempat.
Tertinggalnya pembinaan pemain muda menjadi salah satu penyebab. Semua berawal pada 2000-an, ketika klub-klub profesional liga Rusia mulai dibangun. Kucuran uang dari para jutawan pemilik klub membuat mereka dengan mudah memboyong pemain asing yang sudah matang.
Pada 2004, pengusaha Alexei Fedorychev membeli Dynamo Moscow. Alih-alih menata tim dari dasar, Fedorychev justru memanggil agen pemain asal Portugal, Jorge Mendes, dan memintanya membangun tim dengan kucuran dana puluhan juta dolar Amerika Serikat.
Pemain asing pun berdatangan. Sebagian besar berasal dari FC Porto, yang kala itu baru saja menjuarai Liga Champions Eropa bersama Manajer Jose Mourinho. Maniche, gelandang asal Portugal, menjadi pemain Dynamo termahal setelah dibeli dari Porto senilai 16 juta euro.
Pada pertengahan Agustus 2005, dalam laga melawan FC Moscow-klub milik Pemerintah Kota Moscow-Dynamo menurunkan tim yang semuanya berisi pemain impor. Inilah momen yang membuat pemerintah Vladimir Putin mengubah aturan penggunaan pemain asing dalam kompetisi lokal. Tak boleh lagi ada tim, sekaya apa pun dan berapa pun banyaknya bintang mereka, yang menurunkan semua pemain asing seenaknya.
Presiden Persatuan Sepak Bola Rusia kala itu, Vitaly Mutko, mereformasi aturan penggunaan pemain asing. Tim hanya bisa menurunkan maksimal tujuh pemain asing dalam satu pertandingan. Tiga tahun lalu, otoritas sepak bola merevisi aturan itu dan mengharuskan klub memainkan minimal lima pemain lokal di lapangan.
Anton Evmenov, pencari bakat untuk CSKA Moscow dan Zenit St Petersburg, menyebutkan pembatasan itu mengubah total permainan dan peluang para pemain Rusia. Aturan itu melindungi kesempatan para pemain lokal untuk mendapatkan tempat di klub. "Tak banyak pemain Rusia dengan talenta top di Rusia," ucap Evmenov seperti ditulis The Independent, pekan lalu. "Aturan ini bakal mengerek nilai para pemain lokal."
Rusia masih berkutat dengan pembinaan, tapi gaji para pemainnya terus meroket. Seperti dilaporkan Sports.ru, Artyom Dzyuba kini menjadi pemain termahal di Liga Primer Rusia dengan pendapatan mencapai 3,6 juta euro atau sekitar Rp 58 miliar per tahun. Striker Fyodor Smolov, yang digantikan Dzyuba saat melawan Arab Saudi, digaji klub Krasnodar sebesar 2,9 juta euro per tahun.
Aturan tersebut tampaknya bakal berubah. Mutko, yang juga Wakil Perdana Menteri Rusia, pernah mengajukan tawaran pembatasan baru "10 + 15". Artinya, setiap klub bisa mendaftarkan 10 pemain asing dalam daftar 25 pemain mereka. Menurut Mutko, aturan ini bisa menjadi langkah penting untuk memperkuat pembinaan pemain muda Rusia sekaligus menyediakan ruang bagi mereka untuk bersaing mendapatkan tempat di tim.
Proposal pembatasan terbaru bahkan lebih ketat. Rusia tengah mempertimbangkan aturan "8 + 17", yang berarti klub tak boleh mendaftarkan lebih dari delapan pemain asing dalam tim. Jika aturan itu disahkan, klub besar seperti Zenit, Rubin Kazan, Lokomotiv Moscow, dan Spartak Moscow bakal terkena imbas. Saat ini mereka memiliki lebih dari delapan pemain asing.
Anton Evmenov mengatakan, meski mengerek nilai pemain lokal, aturan pembatasan pemain asing itu bak pedang bermata dua yang bisa merugikan para pemain Rusia. Mereka memang tak lagi harus bersaing dengan banyak pemain asing untuk memperoleh tempat di tim. "Tanpa pembatasan, Rusia akan kekurangan pemain bagus untuk mengisi tim nasional," ujarnya. "Tapi kondisi ini membuat mereka bergantung pada sistem dan tak bagus untuk perkembangan pemain."
Hasil dalam berbagai kompetisi bisa menggambarkan kondisi sepak bola Rusia. Di Eropa, Rusia membuat kejutan dengan mencapai semifinal Euro 2008 di bawah binaan manajer asal Belanda, Guus Hiddink. Prestasi Rusia itu adalah yang tertinggi di tingkat Eropa setelah runtuhnya Uni Soviet.
Dalam dua perhelatan Euro selanjutnya, prestasi Rusia merosot. Mereka tak lolos dari babak penyisihan grup di putaran final. Media dan para suporter Rusia yang kecewa berat banyak melontarkan kritik pedas kepada tim nasional.
Prestasi Rusia dalam Piala Dunia pun kembang-kempis. Tiga kali lolos ke Piala Dunia sejak 1994, Rusia selalu gagal melewati babak penyisihan grup. Dalam Piala Dunia Brasil empat tahun silam, Rusia mencapai titik terburuknya setelah tak pernah menang dalam tiga laga di penyisihan grup.
Nilai yang tinggi, menurut Anton Evmenov, membuat para pemain Rusia kehilangan motivasi mencapai permainan terbaik, yang dulu dimiliki untuk mengalahkan pemain asing. Mereka juga kehilangan satu lagi alasan untuk pergi ke luar negeri memburu klub yang mau memberi gaji lebih tinggi.
Evmenov mengatakan, jika pemain Rusia hanya mau bermain di liga lokal karena puas dengan gaji yang diperoleh, mereka tak akan pernah mengetahui teknik baru ataupun cara menghadapi pemain dengan latar belakang sepak bola berbeda. "Mereka tak lagi berusaha keras, kinerja tak lagi 100 persen."
Dari semua pemain yang dipanggil Stanislav Cherchesov ke Piala Dunia kali ini, cuma tiga orang yang bermain di klub asing. Denis Cheryshev membela Villareal; Roman Neustadter bermain di Fenerbahce, Turki; dan kiper veteran Vladimir Gabulov terdaftar sebagai pemain klub Belgia, Club Brugge.
Penyerang andalan Rusia, Alan Dzagoev, bahkan tak pernah merasakan kompetisi profesional di luar negaranya. Pemain yang kini berusia 27 tahun itu memulai kariernya 12 tahun silam di klub Krylia Sovetov di Tolyatti, kota yang terletak sekitar 1.000 kilometer sebelah timur Moskow. Pada 2008, dia diboyong CSKA Moscow.
Raymond Verheijen, anggota staf pelatih Rusia dalam Euro 2008 dan 2012, menyatakan aturan pembatasan yang terlalu ketat bisa merugikan program pembinaan pemain lokal. Cara terbaik untuk meningkatkan kualitas para pemain, kata Verheijen, adalah membuat mereka bermain bersama pemain yang lebih bagus. "Jika pemain Rusia dikelilingi pemain jelek, hal itu malah mempercepat keruntuhan sendiri."
Gabriel Wahyu Titiyoga (Moskow)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo