Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Taryn Te Uira Beri memejamkan mata sambil menempelkan telapak tangan dan menyelipkan jemari di depan dadanya. Mulutnya komat-kamit mengucapkan mantra dalam bahasa suku Maori. Ini ungkapan ajaran leluhur Maori sebelum membuat tato, kata seniman tato Maori, Selandia Baru, itu. Orang Maori, tutur Taryn Beri, menyebut ungkapan kidung leluhur itu karakia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Taryn Beri menceritakan tradisi membuat tato dalam kebudayaan suku Maori dalam lokakarya "Indigenous Celebration" di Museum Seni Agung Rai (ARMA), Ubud, Bali. Acara yang berlangsung pada 11-13 Mei lalu itu melibatkan 32 masyarakat adat dari seluruh Nusantara dan mancanegara. Suku dari mancanegara yang ikut serta antara lain Maori (Selandia Baru), Aborigin (Australia), dan Ao (Nagaland, India). Perhelatan itu dimeriahkan dengan tarian, musik tradisional, dan kisah tentang tradisi setiap suku. Salah satunya tradisi tato.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Taryn Beri, suku Maori menyebut tato ta moko. Adapun seniman pembuat tato biasa disebut tohunga ta moko. Sebagian besar dari mereka adalah laki-laki. Mereka membuat tato menggunakan uhi. Alat tradisional itu berbentuk kayu lengkung berukuran sekitar 15 sentimeter yang dipasangi tulang bergerigi mirip permukaan gergaji. "Tulang bergerigi itu berfungsi untuk memasukkan tinta ke kulit. Caranya dengan diketuk-ketuk," ujarnya. Dulu, orang Maori menggunakan tinta dari bahan serbuk arang yang dicampur dengan minyak sari tumbuh-tumbuhan. "Tinta minyak alami itu untuk membuat pigmen."
Saat ini, pembuatan tato dengan peranti tradisional itu sudah sangat sulit ditemui di Selandia Baru. Hampir semua seniman tato Maori sudah mengikuti standar modern: menggunakan mesin. Taryn Beri pun tidak pernah menggunakan uhi. Sejak mempelajari tato pada 2008, ia selalu memakai mesin. Pewarna yang ia gunakan pun tinta tato modern. "Untuk kebutuhan higienis," kata perempuan berusia 34 tahun yang belajar membuat tato kepada seniman tato Maori terkenal, Mark Kopua, tersebut.
Taryn Beri termasuk suku Maori keturunan Ngâti Toarangatira. Ia mewarisi garis keturunan Maori dari leluhur ayahnya. Banyak anggota keluarga besarnya yang bertato. Taryn menuturkan, orang Maori mulai bertato ketika sudah dewasa atau memiliki anak. Saat ini, dia menambahkan, orang Maori yang bertato biasanya berusia di atas 30 tahun. "Sekarang orang Maori bertato sebagai kontribusi untuk sukunya."
Letak tato orang Maori laki-laki dan perempuan berbeda. Tato pada laki-laki terletak di wajah, melintasi hidung dan pipi atau merata sampai ke dahi. Sedangkan tato pada perempuan berada di dagu. "Menurut orang Maori, kepala adalah bagian tubuh yang sangat dihormati," kata Taryn. Maka ciri khas tato Maori adalah berada di bagian wajah. Adapun motifnya didominasi garis lengkung dan spiral. Taryn menambahkan, bagi suku Maori, tato juga berhubungan dengan status sosial dan kebanggaan.
Pemerintah Selandia Baru, tutur Taryn Beri, mendukung orang-orang yang menekuni tato seperti dia. "Tapi tidak semua orang bisa mendapatkan bantuan dana," katanya. Taryn mendapatkan dukungan untuk melakukan perjalanan membuat tato karena pernah memperoleh penghargaan sebagai seniman tato Maori terbaik dalam kategori muda pada 2010 dari Creative New Zealand. "Berkat dukungan pemerintah, saya bisa menghadiri lokakarya di Bali ini," ujarnya.
Berbeda dengan suku Maori, orang Mentawai di Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, masih menggunakan alat tradisional dalam membuat tato. Hanya jarum benda modern yang mereka gunakan. "Dulu kami menggunakan duri tanaman buah jeruk," kata Julianus, 67 tahun, pembuat tato atau sipatiti asal Desa Muntei, Siberut Selatan, Kepulauan Mentawai. Adapun untuk tinta tato, tutur Julianus, mereka tetap menggunakan bahan tradisional, yaitu serbuk arang yang dicampur dengan air tebu.
Dalam lokakarya tentang tato di acara "Indigenous Celebration", para pengunjung bisa menyaksikan pembuatan tinta tato khas Mentawai itu. Tinta ditampung dalam tempurung kelapa yang kering. Adapun Julianus mempraktikkan cara membuat tato dengan peralatan tradisional kepada dua pengunjung. Ia mengetuk-ngetuk jarum dengan kayu untuk memasukkan tinta ke kulit.
Teknik membuat tato dengan mengetuk jarum atau hand tapping juga diperagakan Herpianto Hendra, seniman tato suku Dayak Iban. Seniman tato asal Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, itu membuat tato bermotif pala tumpa berukuran empat sentimeter di pangkal jempol tangan kanan pengunjung lokakarya. Hendra menggambar garis berpola zig-zag. Di beberapa ruang di antara garis itu terdapat bentuk titik.
Menurut Hendra, pala tumpa adalah motif yang melambangkan lipan dan kalajengking. Bentuknya melingkar. Tato dengan motif tersebut terdapat pada lengan kanan dan kiri perempuan Dayak Iban yang sudah dewasa. "Perempuan dewasa yang sudah bisa menenun pua kumbu," ujarnya. Pua kumbu adalah kain yang mempunyai variasi pola dan warna yang dikenakan suku Dayak Iban.
Tato pala tumpa, Hendra menerangkan, adalah bentuk penghargaan bagi kaum perempuan, karena menenun pua kumbu tidak mudah. Selain prosesnya rumit, waktu yang dibutuhkan cukup lama. "Dulu bisa sampai tiga bulan untuk ukuran kain 2 x 1,5 meter," ucapnya.
Dalam tradisi Dayak Iban, Hendra menambahkan, seorang perempuan yang bisa membuat pua kumbu dan memiliki tato dinilai layaknya laki-laki yang mampu bertempur. "Yang dimaksud mampu bertempur dalam tradisi suku Dayak adalah laki-laki yang membawa pulang kepala manusia setelah pertarungan," katanya.
Namun kebiasaan memenggal kepala manusia atau mengayau itu hilang setelah Perjanjian Tumbang Anoi disepakati pada 1894. Dalam perjanjian tersebut, suku-suku Dayak bersepakat mengakhiri pertarungan di antara mereka. "Selain itu, perjanjian itu menyepakati untuk menghilangkan kebiasaan memenggal kepala manusia dalam pertarungan," ujar Hendra.
Perkembangan tradisi tato sejumlah suku tak berjalan mulus. Dulu, pemerintah Selandia Baru, menurut Taryn Beri, pernah mempengaruhi tradisi tato Maori, meski tidak secara langsung. Saat itu muncul undang-undang Tohunga Suppression Act 1907, yang mengganti dukun tradisional Maori dengan sistem pengobatan modern. Undang-undang yang keluar sekitar seabad silam itu berimbas pada kehidupan suku Maori, termasuk tradisi tatonya. "Tapi sistem itu sekarang sudah berubah," kata Taryn.
Tradisi tato suku Mentawai juga sempat sulit berkembang karena peraturan pemerintah pada 1954. Peraturan itu memerintahkan orang-orang Mentawai meninggalkan sistem kepercayaan Arat Sabulungan dan memilih salah satu agama yang diakui pemerintah. Arat Sabulungan berkait erat dengan tradisi tato suku Mentawai.
Pada 1978, salah satu butir ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat menjelaskan bahwa kepercayaan leluhur tidak diakui sebagai agama. Aturan hukum ini bisa dibilang ikut mempengaruhi perjalanan penganut sistem kepercayaan di seluruh Nusantara, termasuk di Mentawai. "Makanya sekarang di Mentawai banyak orang yang tak punya tato," ujar Julianus.
Julianus menuturkan, pada 1970-an, orang-orang Mentawai tak hanya takut memiliki tato. Mereka juga tak berani memakai cawat jika bepergian ke luar desa. Cawat identik dengan pakaian tradisional mereka. Bahkan tradisi nama orang Mentawai pun berangsur berubah. "Karena kami diminta memilih agama yang diharuskan pemerintah," ujarnya. Ia menjelaskan, namanya juga bukan asli khas Mentawai, melainkan sudah dipengaruhi agama yang ia anut.
Meski demikian, menurut Julianus, tradisi dalam kepercayaan Arat Sabulungan tetap berjalan. Sebab, Arat Sabulungan sudah melekat pada kehidupan orang Mentawai sebagai keyakinan warisan leluhur. "Kami mencoba menyesuaikan saja dengan keadaan," ucapnya.
Julianus mengatakan belakangan ini tradisi tato Mentawai mulai bangkit. Namun hal itu berkat dorongan kebutuhan pariwisata. "Para turis banyak yang mau punya tato Mentawai," katanya. Padahal, pada masa lampau, tutur Julianus, tato dimiliki para sikerei atau dukun suku Mentawai.
Hambatan dalam perkembangan tradisi tato juga dialami suku Ao asal Nagaland, India. Anungla, seorang perempuan dari suku Ao, mengungkapkan bahwa sukunya memiliki tradisi tato yang kental. Namun bisa dikatakan tradisi itu kini sulit dilacak. "Setelah kedatangan misionaris dari Amerika Serikat pada 1890-an, pelan-pelan pengetahuan tentang tradisi suku Ao terputus ke generasi berikutnya," ujar Anungla.
Menurut perempuan yang aktif sebagai penulis itu, saat ini sangat sulit mengidentifikasi tato suku Ao. Meski begitu, Anungla memiliki tato di beberapa bagian tubuhnya yang menyerap unsur tradisi suku Ao. Motif tatonya dominan mengandung unsur garis tegak.
Anungla memiliki tato yang berpasangan di betis, lengan, dan pundak. Adapun di dagunya terdapat sebuah tato bermotif tiga garis sejajar dari bibir ke bawah. Menurut dia, bagi perempuan suku Ao, tato menjadi penanda tahap perjalanan kehidupan. "Perempuan yang usianya sembilan tahun sudah bisa menggunakan tato di betis," katanya.
Ia menjelaskan, tato di dua lengannya menyimbolkan kuatnya sosok perempuan suku Ao. Tato di lengan menjadi penanda yang menunjukkan kekuatan perempuan saat menimang bayi sambil menyatukan perasaan antara ibu dan anak. Adapun tato di pundak menunjukkan kekuatan fisik. "Misalnya menggendong keranjang," ujarnya. "Lalu tato di perut menjadi simbol yang menjelaskan bahwa perempuan adalah penghubung sebuah kehidupan yang baru, atau mengandung dan melahirkan."
Bram Setiawan
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo