Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Tulang pun Berserakan

Kebiasaan berburu ikan besar dicumbui warga Lamalera sampai kini. Tapi tanpa babi, tiada pesta di sana.

10 November 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MASYARAKAT Lamalera seperti lengking tifa yang menyebal dari irama sebuah orkestra. Di tengah seruan dunia untuk menjaga kelestarian satwa langka, mereka masih terus berburu ikan paus, sebuah tradisi sekaligus seni yang diwariskan turun-temurun. Seni? Begitulah. Berburu mamalia laut itu tidak bisa dilakukan sembarangan. Segepok pantangan mesti dihindari, dan sebuah upacara harus dilakukan sebelum perburuan dilakukan. Tinggal di belahan selatan Pulau Lembata, warga Lamalera mencumbui seni itu hingga kini. Dulu Pulau Lembata termasuk dalam wilayah Kabupaten Flores Timur, tapi sejak tiga tahun silam berdiri sebagai kabupaten sendiri. Dari Lowoleba—ibu kota kabupaten—Lamalera bisa ditempuh dengan mobil lewat jalur darat selama lima jam, atau bisa dicapai dengan feri lewat laut pada hari Senin dan Kamis. Wilayah seluas 1.600 hektare ini terdiri dari 70 persen tanah kering berbatu-batu dan sisanya berupa tanah liat. Warga Lamalera sangat menggantungkan hidupnya pada laut. Mereka berburu terutama ikan besar seperi paus, pari, lumba-lumba, dan hiu. Jangan heran, begitu memasuki desa nelayan itu, bau amis segera menyergap. Lalu, lihatlah di sepanjang pantai, daging paus digantung dan dijemur untuk dibikin dendeng. Dan di atas karang-karang, tulang paus pun berserakan. Mereka membuang begitu saja tulang-tulang itu, dan berharap gelombang laut akan membawanya pergi. Hanya sedikit warga yang memanfaatkan untuk pagar di ladangnya. Secara administratif, masyarakat Lamalera terbelah jadi dua, tinggal di Desa Lamalera Atas dan Lamalera Bawah. Total jumlah penduduknya cuma 1.736 jiwa, semuanya beragama Katolik. Sebagian besar hidup sebagai nelayan dan hanya sedikit yang bertani. Pekerjaan melaut didominasi laki-laki. Kaum wanita dilarang melaut. Mereka bertugas membarter ikan dengan barang kebutuhan, selain juga menenun. Hampir semua warga Lamalera penduduk asli. "Tak ada pendatang dari luar pulau," kata Henrikus Kia Keraf, Kepala Desa Lamalera Atas. Penduduk Lamalera hidup bermarga-marga, antara lain Blikololo, Lowotukan, Lamalera, Atakei, Tufaono, Lamanudak, Tanakrova, Lelaona dan Ebaono. Sebagian mereka tinggal di rumah adat yang biasa dipakai untuk upacara tradisional. Hidup mereka amat sederhana. Hampir semua warga tinggal di rumah berukuran 6 x 6 meter berdinding bata tanpa semen, beratap seng, dan berlantai semen. Kamar mandi mereka berada di luar rumah. Namun fasilitas pendidikan dan kesehatan lumayan tersedia. Paling tidak di Lamalera Atas terdapat sebuah sekolah taman kanak-kanak, sebuah sekolah dasar, dan dua sekolah menengah pertama. Bila ingin melanjutkan ke sekolah menengah atas, anak-anak harus ke luar daerah yang jaraknya lima jam perjalanan perahu motor tempel. Banyak warga yang mengenyam sekolah. Hampir semua warga bisa berbahasa Indonesia, walau dalam keseharian mereka menggunakan bahasa daerah, Lamalahot. Fasilitas listrik dan telepon? Belum ada. Belum masuknya jaringan listrik dari PLN membuat sebagian warga Lamalera terpaksa membeli genset sendiri atau menyambung saluran listrik dari genset milik desa. Karena tak ada jaringan Telkom, penduduk di sana tak bisa berkomunikasi lewat telepon dengan dunia luar. Lewat telepon seluler pun tidak bisa karena tak ada sinyal. Langkanya air tanah membuat warga di dua desa itu terpaksa berpatungan untuk memenuhi kebutuhan air dari gunung yang jaraknya 12 kilometer dari Lamalera. Secara swadaya mereka membeli pipa plastik dan menampung aliran air di balai desa. Warga yang membutuhkan air harus melanggan dengan kutipan iuran Rp 10 ribu setahun. "Kalau paralon rusak, kami yang menanggungnya," kata Henrikus, 59 tahun. Lamalera tampak hidup pada hari Sabtu. Pada akhir pekan itulah para wanita desa biasa berbelanja atau membarter ikan hasil buruan suaminya di pasar. Mereka menukarnya dengan pisang, beras merah, jagung, ubi-ubian, atau hasil pertanian lainnya. Tapi ada juga yang menukarnya dengan duit. Cuma harganya merosot. Satu ember daging paus hanya dihargai sekitar Rp 10 ribu. Kegiatan jual beli warga Lamalera berpusat di Pasar Wulandoni. Di sini pula berbagai barang kebutuhan seperti semen, kasur, pakaian, buah-buahan, dan besi tersedia. Kendati kebutuhan protein bisa dipenuhi dari laut, warga tetap memelihara ternak. Hampir semua keluarga memelihara babi atau kambing. Bahkan ada sebuah keluarga yang memiliki hingga 10 ekor babi. Babi dan kambing amat berharga bagi mereka karena sering disembelih untuk berbagai macam pesta dan upacara adat. Babi juga biasa dipakai sebagai mas kawin dalam pernikahan. Jangan heran jika harga seekor babi cukup mahal, mencapai Rp 1 juta. Walhasil, meski ikan paus atau lumba-lumba melimpah ruah, tanpa babi tak akan ada pesta di sana. K.M.N., Rian Suryalibrata

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus