SIPRIANUS Demon Krova tak habis pikir. Sejumlah tempuling alias tombak telah dihunjamkan, tapi ikan paus itu tidak tumbang juga. Bagaikan tenaganya bertambah berlipat-lipat, paus raksasa itu malah mengamuk, meronta, dan menggelepar ke sana-kemari. Puluhan nelayan warga Lamalera, Pulau Lembata, yang berada di empat pledang (perahu), sama sekali tak berdaya dibuatnya. Lalu, wuusss..., si raksasa berenang kencang sambil menyeret keempat perahu itu. Cepat sekali. "Kami seperti ditarik oleh motor tempel saja," tutur Siprianus.
Peristiwa itu terjadi sembilan tahun silam, saat Siprianus masih berusia 50 tahun. Bersama kawan-kawannya, dia amat bersemangat berburu ikan paus karena sudah berbulan-bulan tak menikam mamalia laut. Siang itu ada sekitar lima ikan paus yang berenang beriringan. Tapi rupanya mereka salah sasaran, memilih paus yang paling besar yang ternyata amat digdaya.
Buktinya, si raksasa tak mati-mati setelah dihujani tempuling bertali. Dia malah menyeret keempat pledang sampai malam hari. Ketika pagi tiba, buruan ini belum juga menyerah. Para nelayan itu diseret semakin jauh ke tengah laut. Pulau Lembata sudah tidak dapat dilihat lagi oleh mata. Padahal perbekalan mereka mulai tipis, tinggal beberapa bungkus koli (tembakau dari daun lontar, untuk dihisap seperti rokok). Itu saja yang mereka hisap di laut.
Siprianus dan rekan-rekannya mulai khawatir mati kehausan. Tapi untungnya hari itu hujan turun. Mereka bisa menenggak air dari langit. Di tengah kesulitan ini, akhirnya dua pledang menyerah. Mereka memotong tali yang diseret paus itu, lalu memilih pulang. Dua pledang lainnya? Belum angkat tangan. Sebanyak 34 nelayan, termasuk Siprianus, masih berharap paus itu kehabisan tenaga, lalu tewas.
Tapi sia-sia mereka berharap. Paus itu tetap saja bertenaga dan terus menyeret mereka ke tengah samudra. Akhirnya, setelah dua malam "bermain ski air" bersama paus, mereka pun menyerah. "Malam itu kami memotong tali dan membiarkan paus itu pergi entah ke mana," kata Siprianus, sang juru tikam.
Persoalan baru muncul. Malam itu mendung. Tidak kelihatan bintang di langit. Mereka tidak bisa menentukan arah untuk pulang. Para nelayan malang itu cuma mendayung dan mendayung tanpa mengetahui arah. Sampai pada hari ketiga, mereka belum menemukan daratan. Padahal rasa lapar terus menyerang. Wajah mereka sudah membiru. Untuk mengganjal perut, akhirnya Siprianus dan kawan-kawannya memakan baju mereka sendiri. Saat itu, "Kami sudah berpikir akan mati semua di laut," ujarnya.
Di tengah keputusasaan itulah, tiba-tiba salah satu dari mereka melihat nyala lampu dari sebuah kapal. Seolah mendapat tenaga baru, mereka serempak berteriak minta tolong. Untungnya, kapal itu mendengar. Awak kapal itu langsung mendatangi dan menolongnya.
Di atas kapal, Siprianus baru tahu bahwa mereka saat itu sudah berada di perairan Australia. Kapal itu ternyata kapal turis Australia. Awak kapal ini berbaik hati mengantar mereka ke Kupang. Dari Kupang, mereka lalu naik feri menuju ke Larantuka, lalu ke Lamalera.
Selesai? Belum. Siprianus dan rekan-rekannya tidak bisa serta-merta menginjak tanah Lamalera. Soalnya, mereka sudah dianggap mati di laut. Orang-orang yang sudah dinyatakan mati, menurut adat, tidak bisa langsung bergabung lagi dengan keluarganya. Jadilah Siprianus dan 33 rekannya menunggu dulu dalam feri, menanti upacara "penghidupan mereka kembali".
Upacara itu dimulai setelah tiga orang tetua adat ini menghampiri mereka di feri. Tak lama kemudian, dua tetua adat pulang lagi ke kampung. Di sana mereka menanyakan kepada warga apakah para nelayan yang sudah dianggap mati itu bisa diterima kembali.
Semua berjalan lancar. Warga memperbolehkan mereka menginjakkan kakinya ke tanah Lamalera. Begitu mereka turun dari feri, semua warga Lamalera mengambil air laut dan menyiramkannya ke badan para nelayan malang itu.
Pemburu yang diseret paus, sesuai dengan kepercayaan orang Lamalera, pasti telah menabrak pantangan. Ini diakui oleh Siprianus. Saat itu beberapa di antara mereka terlibat perselisihan dengan warga lain. Padahal, orang yang hendak berburu paus itu dilarang berkelahi atau berselisih dengan orang lain. "Sejak itu saya semakin sadar, pesan orang tua itu memang berguna," katanya.
Rian Suryalibrata (Lamalera)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini