SUATU pagi, awal Oktober lalu. Tanpa menyadari malapetaka yang mengintip, seratusan lumba-lumba berenang beriringan sambil bercanda-ria di perairan Pulau Lembata. Tak sedikit yang melompat ke udara beberapa kali seraya memutar badan. Lalu, byuuur...., mereka jatuh menusuk ombak, kemudian berenang lagi. Indah sekali.
Dengan tatapan mata tajam, Lodowekus Lela Krova, 23 tahun, mengawasinya, lalu diam-diam mengarahkan perahu mendekati mereka. Sang nakhoda juga memerintahkan sekitar tujuh rekan agar bersiap. Joseph Lake Bataona, 19 tahun, yang bertugas sebagai lama fa, juru tikam, sibuk memasang tempuling alias tombak bertali. Seorang lagi asyik mengurai tambang sebesar jari. Ada juga yang bertugas mengasah tempuling. Sisanya menimba air laut yang masuk ke perahu. Semua awak perahu dari daerah Lamalera tersebut tidak ada yang diam.
Setelah segalanya siap, perahu bermotor membidik lumba-lumba dari arah belakang. Joseph berdiri tegak di depan. Kedua tangannya menggenggam bambu sepanjang empat meter yang ujungnya sudah dipasangi tempuling. Tampak beberapa lumba-lumba sedang bermanuver ke udara. Secepat badai, si juru tikam melemparkan tempuling. Huup.....! Meleset. Lumba-lumba keburu menyelam ke laut.
Perburuan diulangi berkali-kali. Setiap ada lumba-lumba yang terbang, buru-buru sang juru tikam meluncurkan tempulingnya. Tapi selalu saja si buruan jauh lebih lincah. Lumba-lumba pintar sekali mengelak sambil menceburkan diri ke air. Mereka seolah mengajak bercanda, beradu kegesitan.
Suatu kali, di tengah gelombang yang lumayan besar, beberapa lumba-lumba menyembul ke udara. Dengan cekatan, Joseph melesatkan tombak. Huuup ! Lalu, byuuur....! Kena? Tidak. Teman-temannya malah menahan tawa. Kali ini si juru tikam kecebur ke laut karena kehilangan keseimbangan.
Cukup melelahkan, tapi juga mengasyikkan. Begitulah cara warga Lamalera berburu lumba-lumba. Jenis ikan besar ini, seperti juga ikan paus dan pari, selalu menjadi incaran mereka. "Pokoknya ikan-ikan yang bisa ditikam dengan tempuling," tutur Bernardus Blikolon, salah seorang nelayan Lamalera.
Jurus menaklukkan lumba-lumba berbeda dengan menombak paus. Buat menikam paus, seorang juru tikam mesti mengerahkan seluruh tenaga. Badannya harus ikut mengayun ke depan agar tempuling yang dilontarkan melesat cepat dan menancap kuat ke tubuh paus. Menikam lumba-lumba? Badan si juru tikam tak perlu bergerak. Membunuh lumba-lumba tak diperlukan hunjaman keras. Karena tubuhnya kecil, begitu terkena tempuling, ia akan lemas tak berdaya.
Bukan berarti lebih gampang. Lumba-lumba lebih sulit diincar karena gerakannya yang lincah. Itu sebabnya membidik mereka tidak bisa dengan "pledang" atau perahu tradisional, tapi mesti memakai perahu bermotor. Orang Lamalera menyebut perahu itu dengan nama Johnson, merek mesin yang dipakai pertama kali pada 1999. Sejak itu pula perburuan lumba-lumba mulai marak di sana. Kendati mesin yang mereka pakai sudah berganti-ganti merek, mereka tetap menamainya Johnson.
Dengan Johnson, kelincahan lumba-lumba bisa diimbangi. Begitu tertikam tempuling, ia langsung ditarik ke arah perahu. Jika masih hidup dan menggelepar-gelepar, kepala lumba-lumba dipukuli sampai mati, baru kemudian dimasukkan ke perahu.
Para nelayan Lamalera sudah girang memperoleh satu atau dua lumba-lumba sehari, dari pagi sampai siang. Mereka yakin buruan ini tak akan punah dari perairan Lembata. Setiap musim lumba-lumba tiba, mereka selalu datang berkawanan mencapai ratusan. Dan lumba-lumba itu selalu menari di udara, kembali menantang para nelayan untuk mengadu ketangkasan.
Hadriani Pudjiarti dan Rian Suryalibrata (Lamalera)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini