Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Jatah Si Pembuat 'Pledang'

Hanya atamolo yang bisa membuat perahu pemburu paus. Sebagai imbalannya, dia selalu mendapat bagian hasil buruan.

10 November 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TIDAK semua warga Lamalera di Pulau Lembata hidup dari melaut atau bertani. Di sana juga ada Ignatius Serang Blikololong, seorang yang pintar membuat rumah dan perkakas dari kayu. Satu lagi keahlian yang membuatnya dihormati di seantero kampung: membikin "pledang", perahu pemburu paus.

Karena kepandaiannya, lelaki 54 tahun itu selalu mendapat bagian daging ikan paus kendati tidak ikut berburu. Jatah bagi tukang pledang lumayan banyak. Seluruh daging perut bagian atas, yang disebut kvokoseba, menjadi haknya. Orang-orang yang membantu pembuatan perahu—jumlahnya 8 sampai 15 orang—juga kecipratan. Mereka mendapat jatah labaktilo, bagian perut ke bawah.

Tukang pledang—biasa dipanggil atamolo—memang amat dihormati. Dia figur langka. Tidak sembarang orang bisa membuat pledang. Ini berbeda dengan sampan, yang bisa dibuat hampir setiap laki-laki di Lamalera. Selain lebih besar dan rumit, menciptakan pledang mesti disertai sejumlah upacara. Pada masyarakat Lamalera yang terdiri dari sekitar 500 keluarga itu, cuma ada enam atamolo, termasuk Ignatius.

Untuk membuat perahu pemburu paus, diperlukan waktu sekitar sebulan. Modelnya dari waktu ke waktu tidak pernah berubah. Mereka cuma meniru rancangan yang dipakai oleh nenek-moyang mereka sejak ratusan tahun silam. Pun bahannya. Orang Lamalera selalu memakai kayu kna untuk membuat pledang. Layarnya terbuat dari daun gebang, yang sekilas mirip pandan. "Tidak boleh dengan bahan lain, harus dari bahan itu," kata Ignatius.

Sepuluh batang kna berdiameter sepelukan orang dewasa sudah cukup untuk membikin sebuah pledang. Biasanya, kayu-kayu ini ditukar dengan satu ekor babi dewasa. Harga seekor babi sekitar Rp 1 juta.

Besarnya pledang nyaris seragam, sepanjang 8 meter sampai 12 meter dengan lebar sekitar satu setengah meter. Di antara dinding perahu diberi rusuk-rusuk yang mirip tulang iga manusia. Di ujung depan terdapat anjungan sepanjang satu sampai dua meter. Itulah tempat lama fa, sang juru tikam, membidik paus.

Kecuali paku, tidak boleh ada bahan atau peralatan dari besi lainnya di pledang. Sebab, kata seorang pemilik pledang, Stevanus Fotu Bataona, "Paus takut mendekati benda berbahan besi." Karena itu pula pledang tidak pernah ditempeli mesin motor. Bahkan layarnya pun mesti digulung saat mendekati paus, diganti dengan kayuhan dayung.

Teknik perburuan paus di Lamalera lebih sederhana dibandingkan dengan pada era Kapten Ahab, pemburu paus putih dalam Moby Dick pada akhir abad ke-18. Seperti digambarkan dalam novel karya Herman itu, mereka berburu dengan memakai kapal besar di tengah samudra. Warga Lamalera? Mereka baru meluncurkan pledang setelah melihat paus datang mendekati pantai.

Kendati teknologinya simpel, tidak semua marga di masyarakat Lamalera mampu membeli pledang. Dari 18 marga, tiga di antaranya tidak memilikinya. Kalau mau berburu, ya, harus nebeng perahu milik marga lain. "Ini karena biaya pembuatannya cukup tinggi," kata Ignatius.

Selain menyediakan kayu, pemesan pledang mesti membayar jasa atamolo dan tukang-tukang yang membantunya. Dia juga harus mengadakan selamatan dengan mengundang seluruh penduduk, baik sebelum maupun sesudah pledang dibuat. Selamatan biasa di-lakukan di rumah adat, rumah berbentuk bujur sangkar seluas 36 meter persegi, yang dimiliki setiap marga. "Di situ kami berdoa kepada Tuhan agar pledang yang dibuat dapat menangkap paus," kata Ignatius

Syarat ritual lain, pembuatan kapal harus dilaksanakan di bibir pantai. Jadi, selama satu bulan, para tukang yang terlibat pembuatan pledang tinggal di pantai. Jika syarat ini tidak dipenuhi, masyarakat Lamalera percaya: perahu yang dihasilkannya tidak akan tahan lama. Ada saja musibah yang akan datang. Kalau tidak dihantam paus, ya, digulung gelombang.

Ignatius tidak pernah belajar membuat perahu pemburu paus dari sekolah. Lulusan sekolah menengah pertama ini mewarisi keterampilan orang tuanya. Dulu, dia sering membantu ayahnya membuat perahu. Kini pun lelaki setengah baya ini mulai bersiap-siap mewariskan keahliannya kepada anak-anaknya.

Hanya mengandalkan upah dari pembuatan pledang, Ignatius tidak bisa menghidupi keluarganya. Dalam setahun belum tentu ada satu pesanan membuat perahu. Itu sebabnya sehari-hari ia lebih sibuk membuat perkakas dari kayu atau rumah, sambil menanti jatah pembagian daging ikan paus.

Nurkhoiri, Rian Suryalibrata (Lamalera)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus