Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
IDE membuat partai dilontarkan Fadli Zon dalam perjalanan ke Bandar Udara Soekarno-Hatta pada pertengahan November 2007. Kepada Hashim Djojohadikusumo, adik Prabowo Subianto, ia menekankan mereka perlu membuat partai untuk menghadapi Pemilihan Umum 2009. "Kalau orang baik-baik tidak berbuat apa-apa, para penjahat yang akan bertindak," kata Fadli menyitir kalimat politikus abad ke-18, Edmund Burke.
Hashim, yang kala itu baru menjual ladang minyaknya di Kazakstan senilai US$ 2 miliar, rupanya "termakan" bujukan Fadli. "Saat itu Pak Hashim langsung setuju," ucap Fadli, yang kini menjabat Wakil Ketua Umum Partai Gerindra.
Peran Hashim dalam jejak politik Prabowo memang kental. Dia tak hanya menjadi pemodal pendirian Gerindra, tapi juga membiayai berbagai kegiatan partai bersimbol kepala burung tersebut, baik berskala nasional maupun lokal. Termasuk pemilihan Gubernur DKI Jakarta beberapa waktu lalu. "Saya yang mendanai biaya kampanye Jokowi-Ahok," ujar Hashim dalam sebuah kampanye di Jakarta beberapa bulan lalu. Dia mengklaim telah menggelontorkan dana sekitar Rp 52,5 miliar untuk memenangkan pasangan Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Belakangan, cerita ini dibantah Ahok, kader Gerindra sendiri.
Peran Hashim, yang lahir pada 1 Januari 1953, sebagai "penyokong" Prabowo dari segi ekonomi tampaknya sudah "dirancang" sejak ia masih kanak-kanak. Menurut Jopie Lasut, wartawan dan aktivis pada 1970-an, Hashim sebenarnya juga ingin menjadi tentara seperti sang kakak.
Keinginan tersebut pernah dia utarakan kepada ayahnya, Sumitro Djojohadikusumo, tatkala Prabowo masuk akademi militer. Tapi Sumitro melarang. "Pak Sumitro bilang jangan. 'Kamu tahu kan gaji perwira tentara rendah? Kamu harus menunjang Prabowo supaya dia punya duit'," kata Jopie kepada Tempo.
Nasihat Sumitro rupanya dipegang betul oleh Hashim. Dia memilih kuliah yang berkaitan dengan bisnis dan keuangan. Ia masuk Pomona College, Claremont University, California, Amerika Serikat, jurusan ilmu politik dan ekonomi. Lulus pada 1975, Hashim memulai karier di Lazard Freres Et Cie di Paris, Prancis. Di bank investasi ini, dia banyak menimba pengalaman di bidang keuangan.
Ketika sang ayah pensiun dari jabatan menteri pada awal 1978, Hashim pulang ke Tanah Air. Ayah tiga anak ini langsung menjabat direktur di Indo Consult, perusahaan konsultasi manajemen yang didirikan Sumitro. Tak puas hanya menjadi konsultan, Hashim lalu mendirikan perusahaan sendiri, PT Era Persada. Perusahaan yang berdiri pada 1980 ini bergerak di sektor perdagangan.
Bisnis bungsu empat bersaudara ini mulai menggurita pada 1988, ketika dia mendirikan PT Tirtamas. Perusahaan itu mengakuisisi saham mayoritas PT Semen Cibinong, PT Semen Nusantara di Cilacap, dan PT Semen Dwima Agung di Tuban. Di Tuban inilah Hashim juga mendirikan PT Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI), perusahaan pengilangan minyak.
Hashim juga melakukan "gebrakan" bisnis dengan mengambil alih Bank Pelita dan Bank Kredit Asia serta membeli saham Bank Papan Sejahtera milik pengusaha Yopie Wijaya. Gongnya adalah saat dia mengambil alih Bank Niaga, beberapa saat menjelang krisis ekonomi 1997.
Namun krisis ekonomi pada 1997 membuat bisnis Hashim remuk-redam. Semua banknya harus dimerger dan menerima suntikan dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia Rp 2 triliun. PT TPPI, yang menjadi ladang uangnya, juga harus diserahkan ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional karena terlilit utang.
Hashim mulai merintis kembali bisnisnya dengan membeli sebuah ladang minyak di Kazakstan pada 1997. Ladang inilah yang kemudian dijualnya US$ 2 miliar pada 2007 dan dijadikan modal untuk mendirikan Gerindra serta membangun kembali kerajaan bisnisnya. Hashim juga sempat menyelamatkan perusahaan Prabowo, PT Kiani Kertas, dari ambang kehancuran pada 2007. Saat itu, Hashim membayar utang Prabowo kepada Bank Mandiri sebesar US$ 170 juta.
Kini bisnis Hashim terentang dari minyak hingga perkebunan. Majalah Forbes menyebutkan Hashim memiliki kekayaan Rp 9 triliun pada 2012. Saat itu, dia disebut sebagai orang terkaya ke-42 di Indonesia.
Nama Hashim sempat tercoreng saat disebut mengemplang dana BLBI pada 2002. Dia mendekam di penjara Salemba, Jakarta Pusat, selama dua pekan sebelum statusnya diubah menjadi tahanan kota. Namun, pada 2004, dia bebas setelah Kejaksaan Agung mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan untuk dia dan sejumlah penerima dana BLBI lain.
Hashim juga pernah terkena kasus hukum lain pada 2008. Saat itu, dia dituding menyimpan enam arca koleksi Museum Radya Pustaka, Solo, yang ramai diberitakan hilang. Hashim, yang memang gemar mengoleksi benda seni dan pusaka budaya, mengelak. Dia menyatakan hanya ingin menyelamatkan warisan budaya bangsa.
Dalam persidangan di Pengadilan Negeri Surakarta, Hashim mengaku mendapatkan arca seharga US$ 100 ribu itu dari seorang penjual benda kuno asal Belanda, Hugo Kreijger. Ujung perkara ini, majelis hakim yang dipimpin Saparudin Hasibuan memvonis Hashim bebas.
Tak hanya dari sisi keuangan, Hashim juga membantu "habis-habisan" membersihkan nama Prabowo di dunia internasional, khususnya Amerika Serikat. Setelah reformasi, Amerika memang melarang Prabowo masuk ke negeri itu dengan alasan terlibat pelanggaran hak asasi manusia. Di Washington, DC, pada 2012, untuk tujuan ini, Hashim mendirikan lembaga The Sumitro Djojohadikusumo Center for Emerging Economies in Southeast Asia.
Hashim juga ikut mendanai pembangunan patung Barack Obama di Menteng, Jakarta Pusat, pada akhir 2009-kemudian patung itu dipindahkan ke Sekolah Dasar Besuki, Menteng, tempat Presiden Amerika Barack Obama pernah bersekolah.
Tapi upaya Hashim melunakkan hati Amerika ini tampaknya belum berbuah. Dia membenarkan informasi bahwa hingga kini sang kakak belum bisa masuk ke Negeri Abang Sam. "Tapi itu bukan cuma Prabowo, banyak jenderal lain yang juga tidak bisa," katanya saat berkampanye di Yogyakarta pada awal Juni lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo