Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Dongeng Prajurit Tanpa Raja

Pentas kolaborasi gabungan wayang beber, tarian, dan musik elektronik. Bersumber dari babad jatuhnya Keraton Yogyakarta.

20 Juni 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Dongeng Prajurit Tanpa Raja

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PANAH menghunjam ke dada dan punggung prajurit Keraton Yogyakarta. Tubuh mereka lunglai dengan mata terpejam, pertanda maut menjemput. Separuh tubuh terendam sungai. Para prajurit itu telah berusaha sekuat tenaga berjuang melawan pasukan Inggris. Keraton Yogyakarta sebagai lambang kedaulatan akhirnya takluk kepada Kerajaan Inggris.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gambar-gambar prajurit yang kalah melawan pasukan Inggris itu merupakan komik karya perupa Prihatmoko Moki berjudul Prajurit Kalah tanpa Raja. Beberapa gambar yang ditampilkan berupa kolase dari banyak gambar. Visual komik itu ditampilkan melalui proyektor di hadapan ratusan pengunjung bursa pasar seni rupa ArtJog di Jogja National Museum, Kamis dua pekan lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Aktor teater Gunawan Maryanto menghidupkan cerita setiap gambar layaknya dalang pada wayang beber. Pusat cerita pada pertunjukan malam itu adalah prajurit sebagai metafor rakyat Yogyakarta. "Ini cerita tentang ketiadaan raja atau pemimpin yang berimbas pada rakyatnya," kata Gunawan seusai pertunjukan.

Lewat pentas berjudul Dongeng Prajurit itu, Gunawan mengajak orang kembali ke suasana pertempuran pasukan Inggris dengan prajurit Yogyakarta dari sumber Babad Bedhah ing Ngayogyakarta. Babad jatuhnya Yogyakarta itu ditulis dalam buku harian Pangeran Panular, putra Sultan yang turut bertempur pada Juni 1812. Perang diakhiri dengan menyerahnya Sultan Hamengku Buwono II kepada Inggris. Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles mengangkut harta Keraton Yogyakarta. Peter Carey, profesor emeritus dari Trinity College, Inggris, menulisnya dalam buku Kuasa Ramalan, yang terbit pada 2011. "Saya meminjam latar penyerangan Inggris ke Keraton Yogyakarta dari buku Peter Carey," ujar Gunawan.

Selain visual gambar dan cerita oleh Gunawan, pertunjukan itu diiringi musik elektronik pentatonik. Prihatmoko Moki, Sandi Kalidafani, dan Octo Cornelius meramu musik elektronik itu menggunakan nada-nada gamelan. Sedangkan Kiki Retake bertugas menampilkan video dan menggerakkan semua gambar melalui layar proyektor.

Pentas kolaboratif dengan judul yang sama pernah dipentaskan di Teater Garasi Performance Institute pada Januari lalu. Bedanya kali ini lebih artistik. Di tengah panggung, terdapat dua kain batik bermotif parang barong yang menjadi sekat antara penonton dan dalang. Dalam tradisi Jawa, batik parang barong yang berwarna putih dan hitam punya filosofi hanya boleh dipakai raja.

Pentas malam itu juga menampilkan penari dan pesinden. Penari Eka Devi membawakan tarian kematian berlatar keris yang menancap. Ia berkostum putih dan berhiaskan rangkaian bunga melati menjuntai dari rambutnya. Eka membawa mangkuk berisi api yang mengeluarkan asap. Pesinden Theresia Wulandari membawakan tembang Jawa yang merangkum seluruh cerita.

Dari sisi visual, ada tambahan empat gambar kolase. "Ini menyesuaikan dengan empat babak pada cerita," kata Prihatmoko. Gambar yang disusun menjadi komik itu bermula dari mural dan poster karya Prihatmoko yang banyak terpajang di kampung-kampung, gardu ronda, tembok, dan kentongan ronda. Visual mural dan poster kebanyakan berupa prajurit dengan mimik sedih. Prihatmoko merespons orang-orang yang mengobrol di warung-warung angkringan tentang situasi terbaru Yogyakarta yang makin amburadul, misalnya pembangunan hotel yang tidak terkendali.

Dari karya Prihatmoko, Gunawan kemudian tertarik membuat puisi untuk pertunjukan berdurasi dua jam itu diakhiri dengan kekacauan karena perang. Layar bertulisan puisi Gunawan, "Satu-satu kami tumbang. Menghadang musuh datang. Duh Raja yang tak ada. Kami pamit pralaya. Siapa lagi yang berjaya. Setelah kami tak ada", dan visual prajurit yang terbunuh diiringi musik yang menyayat. Lewat karya itu, Prihatmoko dan Gunawan menyentil para penguasa yang diam saja menghadapi berbagai perubahan sosial yang terjadi di Yogyakarta.

Shinta Maharani

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus