Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Udin, Kebebasan Pers, dan Pemberantasan Korupsi

10 November 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Todung Mulya Lubis,
Ketua Umum Ikatan Advokat Indonesia dan anggota International Bar Association

Udin, yang nama lengkapnya Fuad Muhammad Syafruddin, merupakan wartawan biasa, bekerja di sebuah koran lokal, Bernas, yang terbit di Yogyakarta. Dia pun tak melakukan sesuatu yang luar biasa dalam pekerjaan kewartawanannya. Dia, sebagaimana wartawan lainnya, hanya melakukan investigasi dan menulis berita—berita yang menyangkut kepentingan umum.

Salah satu yang mendapat perhatian luas adalah tulisannya tentang pencalonan Bupati Bantul pada 1996, sekitar 18 tahun silam. Investigasi dan berita tentang pencalonan Bupati Bantul menarik bukan hanya karena ada tiga kolonel yang ikut meramaikan bursa pencalonan itu, melainkan juga karena ditengarai ada "invisible hands" yang mempengaruhi pencalonan.

Ditengarai Bupati Bantul Sri Roso Sudarmo melakukan penyuapan kepada Yayasan Dharmais untuk melicinkan jalannya terpilih sebagai Bupati Bantul. Entah apa urusan Yayasan Dharmais dengan pemilihan bupati. Tapi, sebagaimana kita ketahui, Yayasan Dharmais adalah yayasan yang dikelola Soeharto, Presiden Indonesia kala itu.

Belakangan, pada 1999, Sri Roso Sudarmo dihukum 9 bulan penjara karena terbukti bersalah melakukan penyuapan sebesar Rp 1 miliar untuk melicinkan pemilihannya kembali sebagai Bupati Bantul. Berita seputar pencalonan Bupati Bantul dan adanya penyuapan inilah yang membuat Udin harus membayar mahal dengan kematiannya pada 1996. Bukan hanya kematiannya yang menyesakkan dada. Peristiwa menjelang kematiannya juga sebuah perencanaan pembunuhan yang sangat brutal dan melibatkan banyak orang.

Kita tahu, pada zaman Orde Baru yang otoriter seperti saat itu, nyawa manusia bisa menjadi hal yang tak berharga. Udin mengalami nasib tersebut. Dia diintimidasi, diteror, disiksa, lalu dibunuh. Setelah itu, kematiannya direkayasa, agar terlihat seperti pembunuhan karena hubungan asmara. Lalu ada pula pengakuan seorang sopir yang mengaku membunuh Udin, tapi belakangan mengakui ia dipaksa membuat pengakuan semacam itu. Dwi Sumaji alias Iwik, sopir itu, akhirnya divonis bebas.

Udin tercatat sudah menulis 89 berita mengenai money politics, dan berita-berita ini menuai kemarahan para penguasa daerah. Pihak kepolisian yang seharusnya membongkar kasus pembunuhan keji ini justru ikut menutupi kasus ini, melakukan obstruction of justice, menghilangkan alat bukti, yakni membuang sampel darah dan catatan harian milik Udin. Maka, sampai detik ini, kasus pembunuhan Udin masih gelap. Kita tak melihat tanda-tanda penyelidikan kasus pembunuhan keji ini akan dilakukan kembali meski presiden republik ini sudah beberapa kali berganti.

SESUNGGUHNYA Udin sedang menjalankan tugas kewartawanannya—seperti yang diamanatkan Undang-Undang Pers. Udin tak bisa dipersalahkan karena menginvestigasi, menulis berita, dan menyebarluaskan gagasannya. Apa yang dilakukan Udin adalah hak asasi yang bukan hanya masuk wilayah kebebasan pers, melainkan juga kebebasan menyatakan pendapat (freedom of speech).

Kalau kita merujuk pada pemberitaan majalah Time tentang dugaan korupsi, kolusi, dan nepotisme keluarga Soeharto yang menurut putusan pengadilan dianggap sebagai berita bernuansa kepentingan umum, pemberitaan mengenai dugaan penyuapan dalam proses pencalonan Bupati Bantul juga pemberitaan yang bersifat kepentingan umum. Tak ada yang dilanggar sama sekali di sini.

Saya tak mengatakan bahwa semua berita yang ditulis oleh wartawan itu absolut akurat dan benar. Wartawan juga manusia biasa dan karenanya bisa salah. Namun, sejauh wartawan tersebut menulis berita dengan menuruti semua kaidah jurnalistik, seperti check and recheck, verifikasi, berimbang (cover both sides), dan beriktikad baik (tidak ada niat jahat atau malicious intent), berita yang ditulis tersebut haruslah diperlakukan sebagai berita yang bisa dikoreksi dengan menggunakan hak jawab.

Ironisnya, banyak pihak yang merasa dirugikan tak menggunakan hak jawab, tapi justru langsung melakukan kriminalisasi pers, menggugat perdata. Pada tingkat kekalapan yang "ekstrem", malah main hakim sendiri: mengintimidasi, menteror, bahkan membunuh. Inilah keangkuhan kekuasaan yang tidak hanya terjadi di negeri tercinta ini. Tindakan bodoh ini juga terjadi terutama di negara-negara Afrika, Asia, dan Eropa Timur.

Membunuh wartawan bukan sekadar tindak pidana pembunuhan. Membunuh wartawan itu bisa berarti membunuh keberanian untuk membuat berita demi kepentingan umum. Akan terjadi culture of fear sehingga para wartawan akan menulis dalam bahasa yang tidak tegas dan akhirnya orang akan berkata, jika ingin mengerti berita yang dibaca, bacalah apa yang tertulis between the lines, atau juga behind the lines.

Pada gilirannya yang ikut terbunuh adalah sendi-sendi demokrasi dan rule of law, karena tak pernah ada demokrasi dan rule of law jika tak ada kebebasan pers. Di semua negara komunis dan otoriter lainnya tak pernah ada kebebasan pers, yang sekaligus juga berarti tak ada demokrasi dan rule of law.

Dalam konteks inilah kita harus melihat kasus pembunuhan Udin yang terjadi pada akhir masa pemerintahan otoriter Orde Baru. Kasus Udin, dalam perspektif sejarah, harus dilihat sebagai kelanjutan dari perjalanan panjang perjuangan menegakkan kebebasan pers yang telah makan banyak korban berupa penahanan, penyiksaan, dan pembunuhan wartawan serta pembredelan koran dan majalah. Tanpa pretensi untuk menjadi terkenal, Udin menjalankan tugasnya yang rutin tapi sangat fundamental, yaitu memberikan hak akan informasi kepada publik. Bukankah yang dilakukan oleh Udin itu pekerjaan konstitusional dalam arti ikut mencerdaskan bangsa?

Kita bisa melihat sejarah ke belakang. Mochtar Lubis memberitakan dugaan korupsi di tubuh Pertamina dengan gamblang dan lugas, dan orang terperangah melihat penyalahgunaan kekuasaan di perusahaan milik negara terkaya pada saat itu. Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 yang menggarisbawahi kekayaan alam harus dipergunakan untuk kesejahteraan rakyat menjadi kehilangan makna. Secara berseloroh orang berkata, keuanganlah yang berkuasa, dan betul saja: harian Indonesia Raya dibredel dan Mochtar Lubis dikirim ke rumah tahanan. Dia tak dibunuh seperti yang dialami oleh Udin.

Majalah Tempo juga mengalami hal yang sama ketika memberitakan pembelian kapal-kapal bekas yang ditengarai terjadi karena komisi yang merugikan keuangan negara. Habibie, yang kala itu merupakan salah seorang orang kuat di negeri ini, tersinggung dan mendorong terjadinya pembredelan terhadap majalah Tempo. Habibie tak terima di balik pembelian kapal-kapal bekas tersebut ada komisi yang diperoleh.

Tapi, karena bisnis korupsi itu adalah bisnis clandestine, tak pernah ada yang tahu apakah korupsi itu terjadi. Sebab, memang tak pernah ada penyidikan mengenai kasus tersebut. Jika hasil penyelidikan membuktikan bahwa tak ada komisi, gugatan perdata bisa diajukan kalau memang misalnya tak mau menggunakan hak jawab. Dalam pemerintahan yang otoriter memang kekuasaan jauh lebih penting daripada hukum.

Dalam skala kecil, pemberitaan kasus-kasus korupsi terjadi walau tak mengundang terlalu banyak perhatian. Tak berlebihan jika dikatakan selama ada korupsi, akan selalu ada koran atau majalah yang berani membuat berita meski sering terselubung dan tidak gamblang. Pada zaman itu, ketakutan tersebut sangat nyata. Dan ini menjadi alasan mengapa pemberantasan korupsi selalu kandas. Itu karena media tak bisa berperan maksimal. Kita bersyukur bahwa setelah reformasi pada 1998, kebebasan pers kembali ke "haribaan" negeri. Sejak itu pemberitaan kasus korupsi menjadi porsi penting semua media, termasuk media sosial.

Korupsi di dunia ini sangat sistemik dan endemik. Korupsi adalah penyakit global yang sangat parah, "a cancer of our age," kata Alexander Lebedev, mantan pejabat senior dinas intelijen Rusia (KGB). Tapi sedikit sekali yang sudah dilakukan untuk menghapus korupsi. Kesepahaman pemberantasan korupsi sering hanya retorika, tak pernah bisa dilaksanakan. Karena itu, pemberantasan korupsi tersebut sumber kekuatannya ada pada masyarakat dan media yang ditopang oleh kebebasan pers, kebebasan menyatakan pendapat.

Tax Justice Network, lembaga swadaya masyarakat independen, memperkirakan ada sekitar US$ 30 triliun yang hilang dalam 15 tahun terakhir. Dari Cina ditengarai hilang uang sekitar US$ 4 triliun. Rusia kehilangan hampir US$ 1 triliun, demikian juga Uni Eropa. Indonesia tak kehilangan sebanyak Cina atau Rusia sepertinya. Tapi siapa yang tahu? Dalam kaitan dengan ini, wartawan seperti Udin adalah orang kecil yang berperan instrumental. Dia punya mimpi membuat negeri ini bersih dari korupsi.

Siapa otak pembunuh Udin belum terungkap. Akankah kita biarkan kasus Udin dilupakan? Bukankah kita semua punya tanggung jawab menegakkan kebenaran dan keadilan, serta melawan lupa?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus