Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sri Roso Sudarmo tampak menikmati benar ketenangan masa pensiunnya ketika Tempo menyambangi kediamannya pada suatu petang Agustus lalu. Mantan Bupati Bantul itu tengah menyirami rumput dan tanaman hias di depan rumahnya di Jalan Kalimantan, Purwosari, Sleman. Berkaus oblong dan berkain sarung, Sri Roso, 67 tahun, hanya ditemani mobil Honda CR-V metalik yang terparkir di depan garasi. Halaman rumahnya hijau asri, seluas lapangan bola voli.
Saking asyiknya, Sri Roso tak menghiraukan kehadiran Tempo di gerbang rumahnya. Tapi, begitu sadar akan tamunya, ia langsung "menembak" tanpa basa-basi. "Tak usah berbelat-belit. Tempo jauh-jauh datang pasti cari berita, toh," kata pensiunan tentara berpangkat akhir kolonel itu.
Belasan tahun Sri Roso menolak diwawancarai media massa tentang Udin. Di awal pertemuan pun dia masih mendesak tim wartawan majalah ini mencari informasi dari sumber lain saja. Setelah berulang kali diyakinkan tentang pentingnya keberimbangan berita, barulah dia bersedia meladeni tanya-jawab. Itu pun dengan syarat: "Jangan lama-lama, saya masih harus menyiram tanaman," ujarnya.
Sebelum wawancara dimulai, Sri Roso tak lupa berganti pakaian dan mematutkan diri. Beberapa saat masuk rumah, Sri Roso keluar lagi dengan baju batik berlengan pendek dan rambut tersisir rapi.
Di awal wawancara, lulusan Akademi Militer Nasional 1968 itu tak lupa curhat. Katanya, selama bertahun-tahun, dia merasa diperlakukan tidak imbang oleh media. "Sehebat-hebatnya wartawan, tetap manusia. Tetap berpihak," ujarnya.
Setelah ketegangan mencair, lelaki yang masih rutin bermain tenis dua kali sepekan itu menjawab lancar setiap pertanyaan. Namun perbincangan ini terpotong panggilan dari dalam rumah. "Bapak, sudah. Ada telepon," kata seorang perempuan mengingatkan. Sedikit tersentak, ayah tiga anak itu mengakhiri wawancara—yang pertama setelah 17 tahun puasa bicara kepada media.
Setelah Dwi Sumaji alias Iwik divonis bebas, orang mengaitkan lagi kematian Udin dengan berita yang dia buat, termasuk tentang pemerintah daerah Bantul yang Anda pimpin. Komentar Anda?
Begini. Kalau ini ada gelas, lalu ada air yang tumpah, orang pasti mengira air itu dari gelas ini. Secara teori mungkin betul. Tapi apa benar air itu tumpah dari gelas ini? Kan, tidak otomatis seperti itu. Silakan terjemahkan. Nyatanya sampai sekarang tidak bisa dibuktikan. Berarti memang bukan begitu.
Maksud Anda, tak ada hubungan antara kematian Udin dan berita yang dia tulis?
Tidak otomatis seperti itu. Sekarang ini ada opini masif wartawan, (Udin) mati karena beritanya. Wartawan kan manusia biasa. Dia juga punya persoalan di luar kewartawanannya.
Anda mau menyebutkan Udin punya persoalan di luar tugas jurnalistiknya?
Tidak usah saya ngomong itu. Anda simpulkan sendiri.
Iwik akhirnya dibebaskan hakim. Motif perselingkuhan dalam kematian Udin tak terbukti. Anda mempengaruhi sidang?
Saya tak pernah mempengaruhi sidang. Itu urusan hukum. Persoalan orang bukan hanya itu, kan. Bisa apa saja. Bisa utang-piutang.
Tapi, waktu itu, Anda keberatan dengan berita-berita Udin.
Ya keberatan, dong.
Persisnya, keberatan Anda apa?
Bagaimana, ya. Di tengah masyarakat jadinya seperti orang bertanding. Orang bilang A, saya bilang B. Dalam pemerintahan kan semestinya tidak seperti itu. Pemerintah bertanggung jawab atas pembangunan. Media semestinya menjadi mitra. Jadi, tidak ada pertandingan siapa benar siapa salah.
Apakah Anda tak bisa terima berita pemotongan dana Inpres Desa Tertinggal atau berita megaproyek Parangtritis?
Tidak spesifik seperti itu.
Udin juga membuat berita soal kesediaan Anda menyumbangkan Rp 1 miliar ke Yayasan Dharmais. Anda meneken surat itu bersama R. Noto Soewito, adik tiri Soeharto….
Waktu itu politik juga. Kalau orang terkait dengan Orde Baru, menyangkut Pak Harto, kan dibesar-besarkan. Padahal orang yang memeras juga banyak.
Anda merasa diperas? Kalau ya, siapa yang berani memeras Anda di masa itu?
Wong, mereka mencatut keluarga (Soeharto). Waktu itu, apa yang tak diperas? Nah, kala itu ada semangat agar orang-orang itu dilaporkan.
(Ketika disidangkan di Mahkamah Militer pada 1999, Sri Roso menjelaskan bahwa surat itu dia buat agar ada bukti tertulis untuk melaporkan upaya pemerasan tersebut.)
Di awal pencalonan Bupati Bantul, nama Anda tak termasuk yang diusulkan ke Jakarta. Tapi belakangan nama Anda masuk. Kok bisa?
Saya tak tahu proses itu. Tanya ke bagian yang memproses pencalonan. Saya tahunya mendapat perintah mengajukan persyaratan.
Setelah terpilih lagi, Anda menyumbang Dharmais?
Tidak. Ngapain? Saya juga tak punya kemampuan, dari mana uang sebesar itu. Tapi ini di luar (perkara) ini, ya. Mana ada kepala daerah yang tak nyogok? Mana ada? Tapi saya jadi bupati tidak pernah menyogok. Saya ini tentara.
Anda pernah menulis sejumlah memo agar Udin dituntut secara hukum.
Secara hukum maksudnya sesuai dengan hukum wartawan. Pembetulan atau ralat. Sederhana saja. Kalau berita itu betul, ya benar. Kalau salah, ya dikoreksi, minta pertanggungjawabannya. Itu saja.
Bukankah meminta ralat itu berbeda dengan menuntut secara hukum?
Saya kira banyak orang yang mengeluh seperti saya. Meminta ke redaksi untuk meralat. Semestinya, kalau beritanya tidak betul, wartawannya ya ditindak. Sesuai dengan prosedur saja.
Bagaimana kalau memo Anda itu diterjemahkan lain oleh anak buah Anda?
Saya rasa tidak. Di lingkungan orang sipil tidak seperti itu. Jadi okelah. Ini Anda sudah sedemikian jauh. Maksud Anda, kalau saya tak memberikan perintah, tapi ada orang lain yang melakukan, saya biarkan saja? Tidak seperti itu.
Tak lama setelah Udin dianiaya, keponakan Anda, Sri Kuncoro, datang ke lokasi kejadian. Apa yang sesungguhnya terjadi malam itu?
Kuncung waktu itu habis nonton bola voli. Saya tak pernah mengontak Kuncung. Bagaimana bisa? Dia takut sama saya. Kuncung juga tak sendiri. Waktu itu mau jajan bakmi, terus menolong. Lah, penolongnya malah diseret ke sana-sini.
Versi itukah yang Anda yakini?
Wong, itu ada saksinya juga. Sudah diperiksa semua. Kalau dikait-kaitkan, mereka memang saudara saya. Tapi apa salahnya? Kalau saya jadi presiden, apa saudara saya disuruh jadi kere semua? Tidak boleh jadi pejabat? Itu keterlaluan.
Dalam kasus Udin, Anda pernah diperiksa polisi?
Pernah. Saya juga di-BAP (berita acara pemeriksaan). Saya lupa waktu itu, tapi pernah.
Apa yang digali polisi dari Anda?
Saya lupa, tapi diceritakan semua. Tentang pemberitaannya juga. Termasuk cara menyelesaikan berita yang tak sesuai dengan prosedur pers.
Sekarang muncul desakan agar polisi kembali menyelidiki penyebab kematian Udin. Anda mendukung upaya itu?
Itu bukan urusan saya. Saya tak punya kompetensi menjawab pertanyaan ini.
Kalau ternyata nanti terbukti Udin dibunuh karena berita?
Ah, sudahlah. Saya kira yang Anda dapatkan dari wawancara ini saya harap bisa untuk berita. Anda juga manusia biasa, punya anak, punya istri.
Maksud Anda apa?
Di agama pun, kalau ada orang dizalimi, doa orang itu dikabulkan. Di dunia ini tak ada orang yang seratus persen kebal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo