Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
YANUAR Nugroho tak bisa menjawab kalau ditanya bisa ditemui di mana setelah tak lagi menjadi asisten ahli Kepala Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4). Pria 42 tahun ini mengaku belum menetapkan sejumlah pilihan: dari mengajar di sejumlah kampus, termasuk almamaternya, Institut Teknologi Bandung, hingga menetap di Washington untuk bekerja di Bank Dunia. "Sementara saya mau rehat dulu dengan keluarga," kata Yanuar.
Hidup Yanuar berubah dalam dua tahun terakhir. Terutama setelah ia meninggalkan kariernya sebagai peneliti dan pengajar di Manchester Business School di Inggris dan menerima tawaran Kuntoro Mangkusubroto untuk bergabung ke UKP4. Waktu itu, Kuntoro sedang mencari orang yang menguasai perencanaan untuk memperkuat timnya. "Saya menemukan kompetensi itu pada Yanuar," ujar Kuntoro, Kamis pekan lalu.
Yanuar ditugasi menyiapkan kajian tentang isu-isu strategis pembangunan di Indonesia, yang kemudian diajukan sebagai bahan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2014-2019. Ia juga diminta menjadi negosiator Indonesia dalam diplomasi isu pembangunan pasca-Millennium Development Goals di Perserikatan Bangsa-Bangsa. Dua tahun bekerja di sayap timur Istana Kepresidenan, ia pun hampir dua bulan sekali wira-wiri ke New York.
Masuk Oktober 2012, Yanuar sebenarnya orang terakhir yang diajak Kuntoro bergabung di Unit Kerja Presiden. Sebelumnya, ada 23 orang dari berbagai disiplin ilmu yang bergabung secara bertahap setelah unit kerja itu resmi dibentuk dengan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2009. Mereka direkrut dan dikontrak sesuai dengan jenis dan masa pekerjaannya untuk beragam posisi, dari deputi hingga asisten ahli, asisten muda, dan tenaga terampil. Ada yang dikontrak tiga bulanan, ada pula yang tahunan.
Begitu kursi Kepala UKP4 kosong—setelah ditinggalkan Kuntoro, bersamaan dengan berakhirnya masa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono—masa kerja mereka pun secara otomatis berakhir. Malah, dari 60 orang di unit kerja itu, 20-an di antaranya sudah mundur pada akhir Oktober lalu. Sebagian lagi akan habis kontrak pada November atau Desember.
Presiden Joko Widodo belum menjelaskan nasib unit ini, termasuk tidak menunjuk pengganti Kuntoro. Kondisi itu sudah ditebak sejumlah anggota tim di UKP4, seperti Arkka Dhiratara. Asisten Kepala UKP4 ini menuturkan, banyak kawannya yang bersiap mencari karier baru sejak tahun lalu. Sebagian mencari beasiswa kuliah ke luar negeri, termasuk dia. Arkka, 25 tahun, membuat aplikasi sistem pengawasan dan pengaduan masyarakat berbasis sosial media, yaitu @lapor1708. Aplikasi ini terpilih sebagai inisiatif terbaik dunia dalam penerapan Open Government Partnership di London 2013.
Menteri Perhubungan Ignasius Jonan, yang banyak berhubungan dengan Unit Kerja Presiden, merasa kehilangan. Mantan Direktur Utama PT Kereta Api ini mengaku banyak terbantu oleh alat dan sistem pengawasan yang dijalankan tim Kuntoro. "Belajar dari pengalaman, saya kerjakan apa yang segera bisa dilakukan," ujar Jonan.
Jonan menyatakan bekerja sama dengan tim UKP4 ketika menyelesaikan prioritas pembangunan rel jalur ganda utara dan selatan. Program pemerintah ini melibatkan banyak pihak dan unsur. Banyak titik kritis dari pembebasan lahan hingga pembangunannya. Tim UKP4 membantu membuat skala prioritas dan target waktu serta mendorong penyelesaian megaproyek Rp 9,3 triliun di titik-titik kritis pembangunan. "Sangat dibantu agar prosesnya didorong selesai tepat waktu," kata Jonan.
Kosongnya kursi Kepala Unit Kerja Presiden, menurut orang dekat Wakil Presiden Jusuf Kalla, berkaitan dengan alotnya pembahasan format kantor lembaga kepresidenan. Status Kepala Unit masih diperdebatkan, apakah setaraf menteri atau eselon satu. "Yang berat adalah stigma lembaga itu diisi 'orang Yudhoyono'," ujar politikus itu.
Pembentukan Unit Kerja Presiden pada Desember 2009 memang sempat menimbulkan kontroversi. Ketuanya yang setingkat menteri melapor langsung ke Presiden soal penghambat jalannya pembangunan, dan itu dianggap mencampuri kerja para menteri. Apalagi unit kerja ini juga membuat "rapor menteri", yang merupakan evaluasi kinerja kabinet, dua bulan sekali. "Padahal kami unit kerja presiden. Jadi lapornya ke Presiden dan tak menyebutkan nama orang," kata Kuntoro.
Rapor itu berisi evaluasi kinerja kementerian yang diukur dari sejauh mana rencana kerjanya dijalankan, termasuk pencapaian anggaran pendapatan dan belanja. Di situ terlihat bagaimana kinerja dan perhatian para menteri dalam menjalankan tugasnya. "Apakah menteri lebih suka mengurus partai atau mengurus negara," ujar Kuntoro.
Dalam wawancara dengan Tempo pada April lalu, mantan wakil presiden Boediono mengatakan, dengan pemimpin setingkat menteri dan dibantu wakil presiden, Unit Kerja Presiden sangat membantu mengatasi kebuntuan koordinasi dan komunikasi. Terutama karena gerak birokrasi yang lamban. Kuntoro menganalogikannya dengan bahasa sederhana: tubuh yang aliran darahnya tak bergerak lancar di sejumlah titik. Dorongan unit kerja ini dinilainya penting untuk membuka aliran darah. "Ini tak ubahnya tukang totok nadi. Ditotok pada titik-titik yang tersumbat," kata Kuntoro.
Presiden Jokowi belum memutuskan apa pun soal status Unit Kerja Presiden. Dalam wawancara khusus dengan Tempo beberapa waktu lalu, Jokowi menyatakan pos itu akan tetap dipertahankan dengan fungsi yang sama. Namun strukturnya akan dilebur secara kelembagaan dalam lembaga kepresidenan yang baru. "Mungkin akan masuk kantor kepresidenan," ujar Jokowi. Formasi kantor itu baru akan dibahas pada Januari 2015, menyusul beberapa penyusunan peraturan presiden.
Agustina Widiarsi, Ananda Teresia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo