Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Vonis hakim Pengadilan Negeri Bantul tak hanya melepaskan Dwi Sumaji alias Iwik dari dakwaan pembunuhan berencana. Vonis itu juga meruntuhkan anggapan bahwa Fuad Muhammad Syafruddin alias Udin dibunuh gara-gara cinta segitiga, seperti hasil penyidikan polisi sebelumnya.
Bagi keluarga dan teman dekat Udin, vonis Iwik juga semakin menguatkan keyakinan mereka bahwa Udin dihabisi karena berita yang ditulisnya. "Sejak awal, saya tak percaya dengan skenario perselingkuhan," kata Marsiyem, mantan istri Udin, di rumahnya, akhir Agustus lalu.
Marsiyem masih ingat ketika Udin bercerita bahwa berita-berita yang ditulisnya membuat marah beberapa pejabat Bantul. Karena cemas, Marsiyem meminta Udin menahan diri agar tak menulis berita yang berisiko. Waktu itu Udin hanya menjawab, "Yang saya tulis faktanya benar, kok." Naluri sang istri pun berbicara. "Saya pikir, kok, jadi ngeri ya," ujar Marsiyem, mengisahkan kembali perasaan dia 18 tahun silam.
Petunjuk yang mengarah ke "motif berita" muncul kembali ketika polisi berkukuh dengan motif perselingkuhan. Pada November 1996, Marsiyem menerima surat kaleng dari seseorang berinisial GM, yang mengaku sebagai pembunuh Udin. Dalam surat yang ditulis tangan dan dikirim via pos itu, GM mengatakan dia dibayar sebuah instansi resmi untuk menghabisi Udin.
Dua kelompok wartawan yang menyelidiki kematian Udin punya kesimpulan yang senada dengan keyakinan Marsiyem. Mereka itu Tim Kijang Putih—selusinan jurnalis Bernas plus reporter muda dari media lain—dan Tim Pencari Fakta Persatuan Wartawan Indonesia. "Sulit mencari motif lain di luar berita," kata Heru Prasetya, pentolan Tim Kijang Putih yang juga mantan redaktur Udin di Bernas.
Tak lama setelah Iwik divonis bebas, Tempo bertemu dengan "calon algojo" di sebuah rumah kontrakan di Jalan Wates, Bantul. Pria berbadan tegap itu mengaku bernama Agung. Dia mengklaim pernah dipesan seseorang untuk menyingkirkan Udin. Imbalannya: Rp 350 juta.
Agung bercerita, dua hari menjelang eksekusi, dia pergi ke rumah si pemesan di kawasan Argomulyo, Bantul. Agung hendak meminta uang muka. Tapi si pemesan tak mau memberi. Alasannya, uang baru akan dibayarkan setelah Agung menuntaskan tugas. Karena kesal, Agung membatalkan kesediaan membunuh Udin.
Si pemesan rupanya tersinggung. Dia meminta gerombolan "penjaga" yang setiap hari mangkal di rumahnya memberi Agung "pelajaran". Agung dikeroyok, diikat, dan dimasukkan ke mobil. Dia lalu dibuang di sekitar lembah kampus Universitas Gadjah Mada.
Beberapa hari kemudian, Agung mendengar kabar bahwa Udin dianiaya. Namun dia tak tahu siapa akhirnya yang mengeksekusi Udin. "Saat itu saya masih dicari, saya tak berani keluar," kata Agung.
Agung belakangan juga mengontak Tim Pencari Fakta PWI. Asril Sutan Marajo, anggota tim PWI, bersama anggota tim pencari fakta lain, mencoba mempertemukan Agung dengan Marsiyem. Tapi keduanya tak diberi tahu identitas masing-masing.
Pertemuan berlangsung di sebuah rumah makan Padang di Jalan Diponegoro, Yogyakarta. Agung dan Marsiyem sama-sama didampingi anggota reserse. Selesai makan, Agung sempat melirik Marsiyem. Lalu dia berkomentar kepada serse yang mendampinginya. "Kayaknya aku pernah ngerti kuwi (Marsiyem)," kata Asril menirukan komentar Agung.
Marsiyem merasakan hal serupa. Namun dia tak begitu yakin di mana pernah bertemu dengan Agung. Sejak pertemuan itu, Agung tak bisa ditemui lagi.
Blusukan pada Agustus lalu membawa Tempo kepada seorang tokoh yang cukup disegani, baik di kalangan preman maupun pejabat Yogyakarta. Panggil saja namanya Abah. Lelaki 60 tahun ini lama malang-melintang di rimba kekerasan. Kebugaran Abah sampai kini terjaga karena dia teratur berolahraga. Pada awal 1970-an, dia pernah menjadi petinju di Jakarta.
Bagi Abah, Udin bukanlah orang asing. Wartawan itu kerap mendatangi rumah Abah di Bantul yang berhalaman luas dan teduh dengan pohon rindang. Suatu hari, misalnya, Udin mengaku ditawari uang lumayan besar asalkan tak mengungkap kasus lewat berita. Namun Udin menolak tawaran itu. "Wah, kalau mau, bisa untuk mentraktir teman-teman," kata Abah menirukan cerita Udin.
Sepekan sebelum dianiaya, Udin pun berkeluh-kesah kepada Abah. Mereka waktu itu bertemu di Masjid Agung Bantul untuk salat Jumat. "Kang, hatiku kok deg-degan," kata Udin tanpa menjelaskan masalah yang dia hadapi. Abah pun berpesan agar Udin mengabari dia bila terjadi sesuatu. Belum sempat memberi kabar, Udin meninggal.
Abah lantas mengisahkan pengalaman dia dituding sebagai pembunuh Udin. Kepala Bagian Serse Polwil Yogya saat itu, Suko Haryanto, mendatangi rumah Abah membawa surat penangkapan. "Saya tanya, apa buktinya? Apa alasannya?" tanya Abah, yang menolak diperiksa apalagi ditangkap.
Beruntung, Abah kenal dekat dengan adik tiri Presiden Soeharto, R. Noto Soewito. Abah pernah "mengabdi" cukup lama kepada Lurah Kemusuk yang dimintai tolong oleh Sri Roso Sudarmo sewaktu pencalonan kembali sebagai Bupati Bantul. Ketika mendengar Abah akan ditangkap, Soewito rupanya menghubungi polisi. "Ojo kuwi. Kuwi bocahku (Jangan yang itu. Itu orangku)," kata Soewito seperti ditirukan Abah.
Abah kemudian mendapat informasi bahwa beberapa pemuda lain yang dekat dengan Soewito pernah dibidik polisi. Namun Abah tak bisa memastikan mereka terlibat atau tidak. Yang jelas, begitu Soewito turun tangan, polisi mundur teratur.
Belakangan, Abah sempat terheran-heran oleh sikap seorang anggota Polres Bantul, Sumarmo alias Mamok. Sewaktu berkunjung ke rumah Abah, tanpa ditanya, adik ipar Sri Kuncoro alias Kuncung (keponakan Sri Roso) itu tiba-tiba membantah terlibat dalam kasus Udin. "Bukan aku lho, Kang," kata Mamok kepada Abah. "Lho, kenapa? Saya enggak tanya, kok, malah cerita. Mbok diam saja," kata Abah mengenang dialognya dengan Mamok saat itu.
Waktu itu nama Mamok memang sempat digunjingkan warga Bantul. Selain masih kerabat dekat Sri Roso, Mamok yang juga pelatih karate itu dikenal tega "mengerjai" tetangga yang bermasalah dengan dia. Kepada Marsiyem, Udin pun pernah menceritakan perangai Mamok, yang tinggal sekitar 200 meter di belakang rumah kontrakan Udin.
Soal Mamok ini, Tim Pencari Fakta PWI juga punya cerita. Suatu hari Mamok meminta bertemu empat mata dengan Putut Wiryawan, anggota Tim Pencari Fakta. Keduanya kenal baik karena pernah aktif bersama dalam kegiatan Pramuka. Kepada Putut, ketika itu Mamok bilang dia tak nyaman karena dicurigai terlibat kasus Udin.
Ditemani Asril, Putut menjemput Mamok dari rumah mertuanya, Gunawan (kakak kandung Sri Roso). Bertiga, mereka menuju rumah makan di Jalan Prawirotaman, Yogyakarta. Putut dan Mamok duduk satu meja, sedangkan Asril di meja lain. Dalam perbincangan hingga tengah malam itu, Mamok berkali-kali membantah terlibat.
Yang membuat Asril kaget, ketika diantarkan pulang, Mamok sempat menebar ancaman. "Mas Asril dan Mas Putut, hati-hati ya menjalankan tugas. Bagi saya, mudah untuk menghabisi kalian." Begitu Mamok turun dari mobil, Asril pun meminta Putut tancap gas.
Mamok meninggal tak lama sebelum gempa dahsyat melanda Yogya pada 2006. Sewaktu ditemui Tempo, Sri Kuncoro menangkis kecurigaan orang atas iparnya itu. "Saudara saya itu aparat juga. Sebagai tetangga, kami tak pernah ada masalah dengan Mas Udin," ujar Kuncung.
Bekas Kepala Satuan Reserse Polres Bantul Ajun Komisaris Besar Edi Hidayat mengatakan polisi pernah memeriksa mereka yang diduga marah terhadap berita yang ditulis Udin. Termasuk yang diperiksa adalah orang-orang dekat Sri Roso dan Noto Soewito. "Dari lurah sampai camat kami periksa. Tapi susah membuktikan mereka terlibat," kata Edi, yang kini menjadi penyidik madya di Polda Yogyakarta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo