Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Ulama NU bergumul antara tradisi dan modernitas.
Para ulama NU tak tertarik mendirikan negara khilafah.
Kemajemukan menutup ruang pendirian negara agama.
NAHDLATUL ‘Ulamā’ menandai renaisans ‘ulamā’ yang berpijak pada tradisi menjaga Republik Indonesia. Tradisi, akibat ekses negatif proyek pencerahan di Eropa, dipahami secara luas sebagai sesuatu yang negatif, statis, dan jumud. Bahkan tradisi didakwa secara sewenang-wenang sebagai penghalang kemajuan dan, konsekuensinya, harus diempaskan jauh-jauh dari kehidupan dunia modern. Tradisi, intinya, antimodernitas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam pergumulan intelektual ‘ulamā’, tradisi justru dimaknai secara diskursif sebagai sesuatu yang positif, lentur, dinamis, dan konstruktif sebagai sumber otoritas dan legitimasi untuk mendirikan, menjaga, dan memajukan republik ini. Tradisi menumbuhkan imajinasi kreatif di kalangan ‘ulamā’ untuk menghubungkan dua masa yang terkoneksi: masa lalu yang jauh dan masa kini. Interkoneksi itu terjembatani melalui mobilitas dan pengembaraan ‘ulamā’ dalam mencari dan memperkaya khazanah tradisi keilmuan Islam ke Timur Tengah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam konteks ini, ‘ulamā’ memahami dan meletakkan peran sentral diri mereka sebagai pelestari tradisi Islam yang berharga dari masa lalu untuk kemaslahatan Republik hari ini dan ke depan. Tesis utamanya terletak pada peran otoritatif ‘ulamā’ sebagai penjaga negara bangsa Indonesia modern (custodians of the modern Indonesian nation state). Peran ini terwakili, antara lain, oleh tiga ‘ulamā’ penting dalam sejarah satu abad Nahdlatul ‘Ulamā’: Hasyim Asy’ari (1871-1947), Wahid Hasyim (1914-1953), dan Abdurrahman Wahid (1940-2009).
Sebagai ‘alim yang menimba ilmu di berbagai pesantren dan di Mekah serta salah satu pendiri NU pada 31 Januari 1926, Hasyim Asy’ari berpijak pada tradisi Islam sebagai sumber legitimasi agama yang otoritatif untuk menumbuhkan jiwa nasionalisme umat Islam dalam meraih dan menjaga kemerdekaan. Nasionalisme, yang Ben Anderson (1983) kaitkan dengan kapitalisme cetak, justru berakar dari tradisi Islam. Terbukti, Hasyim Asy’ari mengeluarkan, pertama, fatwa keagamaan yang disertai keteladanan dirinya dan komunitas santri untuk berani melawan kolonialisme demi meraih kemerdekaan; kedua, resolusi jihad pada 22 Oktober 1945 menuntut kewajiban untuk, (a) menjaga kemerdekaan yang telah diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, (b) menjaga Republik Indonesia dari kaum penjajah, (c) mengangkat senjata bagi umat Islam, terutama Nahdlatul ‘Ulamā’, untuk melawan Belanda dan sekutunya yang berhasrat menjajah kembali Republik, dan terakhir, (d) berjihad dengan status hukum farḍ ‘ain yang berlaku bagi setiap orang Islam. Tidak ada pilihan moderasi dalam berjihad melawan kolonialisme. Tradisi Islam dalam bentuk fatwa, resolusi jihad, hukum farḍ ‘ain, dan komunitas ‘ulamā’ beserta segenap santrinya telah menjelma menjadi sumber legitimasi keagamaan yang kuat dan efektif, terutama bagi Hasyim Asy’ari, untuk perjuangan kolektif dalam meraih kemerdekaan dan menjaga republik ini dari kembalinya kolonialisme yang tak berperikemanusiaan.
Sebagai putra pertama pendiri NU, Hasyim Asy’ari, dan ‘alim yang menuntut ilmu di pesantren dan Mekah, Wahid Hasyim juga menjiwai tradisi, praktik, dan kesadaran Islam sebagai sumber legitimasi moral dan agama yang otoritatif untuk mendirikan dan menjaga Republik Indonesia modern. Hal ini tecermin pada kiprahnya sebagai anggota dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Sebagai ‘alim yang menjadi representasi Nahdlatul ‘Ulamā’, Wahid Hasyim menjadi tokoh penting yang tak terpisahkan dari ibu dan bapak pendiri bangsa yang bergotong-royong dalam mempersiapkan kemerdekaan Indonesia dengan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara. Bahkan ikhtiar Wahid Hasyim dalam meletakkan prinsip ketauhidan sebagai inti sila Ketuhanan Yang Maha Esa dapat melapangkan penerimaan Pancasila dalam pikiran dan hati umat Islam.
Sebagai putra Wahid Hasyim dan cucu Hasyim Asy’ari, serta ‘alim yang mempelajari Islam secara otodidaktik di pesantren dan Al-Azhar, Abdurrahman Wahid mewarisi keteladanan luhur para pendahulunya untuk menjadikan tradisi Islam sebagai argumen penalaran publik guna menjaga Republik. Komitmen absolutnya atas negara kesatuan Indonesia berbentuk republik dengan penolakan terhadap negara Islam berpijak pada tradisi Islam yang hidup dan berakar dalam masyarakat muslim. Dalam Islamku Islam Anda Islam Kita (2006 : 104), Abdurrahman Wahid berargumen bahwa "NU tidak memperjuangkan Negara Islam Indonesia. Kemajemukan yang tinggi dalam kehidupan bangsa kita membuat kita hanya dapat bersatu dan kemudian mendirikan negara, yang tidak berdasarkan agama tertentu. Kenyataan inilah yang sering dikacaukan oleh orang yang tidak mau mengerti bahwa mendirikan sebuah Negara Islam tidak wajib bagi kaum muslimin, tetapi mendirikan masyarakat yang berpegang kepada ajaran Islam adalah sesuatu yang wajib".
Kemajemukan menutup ruang untuk pendirian negara agama. Jika Islam diadopsi sebagai satu-satunya agama resmi negara, negara otomatis bertindak secara tidak adil terhadap warga lain yang memeluk agama dan keyakinan berbeda. Prinsip dasar kesetaraan tidak dapat diberlakukan pada keyakinan warga yang majemuk dalam bingkai negara Islam. Karena itu, bagi Abdurrahman Wahid, tidak ada keharusan yang bersifat doktrinal bagi umat Islam untuk mendirikan negara Islam karena pengamalan ajaran-ajaran Islam tidak dapat dipaksakan melalui intervensi otoritas negara. Islam yang diamalkan hanya karena ketakutan dan paksaan dari otoritas negara bukan perwujudan pengamalan Islam yang autentik yang bersandar pada prinsip ketulusan. Islamisasi dari atas melalui instrumen negara justru bertolak belakang dengan karakter dasar Islam sebagai agama yang hidup, dianut dan diamalkan oleh masyarakat muslim dengan sukarela dan ketulusan.
Bahkan ketulusan (sincerity, ikhlās) itu sendiri menjadi pangkal utama pengamalan Islam secara benar dalam kehidupan sehari-hari. Islam menuntut ketulusan yang hanya ditentukan melalui persuasi internal yang bersumber dari panggilan moral dan hati nurani setiap muslim. “Sebuah masyarakat yang secara moral berpegang kepada Islam dan dengan sendirinya melaksanakan Syari’at Islam,” Abdurrahman Wahid menegaskan (2006 : 103), “tidak lagi memerlukan kehadiran sebuah negara agama.” Tanpa kehadiran dan apalagi intervensi negara, Islam menjadi tradisi dan agama yang hidup secara terbuka dan dinamis dalam masyarakat Indonesia yang plural.
Meskipun hidup di negara mayoritas muslim terbesar di dunia dan berinteraksi sosial secara aktif dengan tradisi dan praktik Islam dalam kehidupan sehari-hari, tiga ‘ulamā’ besar NU itu tidak pernah tertarik menghidupkan kembali aspirasi negara khilafah atau mendirikan negara Islam Indonesia. Sebaliknya, mereka memilih bergumul dengan tradisi Islam yang mengantarkan pada garda terdepan dalam ikhtiar bersama menjaga Republik Indonesia modern. Keteladanan ‘ulamā’ sebagai penjaga republik ini terekam begitu kuat dalam memori kolektif para pemimpin dan warga NU sehingga mereka terpanggil untuk mendeklarasikan proklamasi fikih peradaban bahwa Nahdlatul ‘Ulamā’ menolak negara khilafah serta Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) karena sistem negara Islam itu justru bertentangan dengan tujuan obyektif syariat, dari proteksi nyawa, agama, akal, keluarga, hingga harta. Ketiga ‘ulamā’ termasyhur NU itu mewariskan keteladanan luhur yang dapat kita petik bersama untuk tetap konsisten menjaga Republik Indonesia modern.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo