Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Hikayat Pesantren-pesantren Tua NU

Sebanyak 68 pesantren NU yang berusia lebih dari seabad menerima penghargaan PBNU. Reportase sejumlah pesantren tertua.

19 Februari 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Peringatan satu abad NU ditandai dengan penghargaan PBNU kepada puluhan pesantren tua.

  • Pesantren-pesantrean NU itu berusia lebih dari satu abad.

  • Bertahan di tengah gempuran sekolah modern.

PENGASUH Pondok Pesantren Al Kahfi, Kiai Afifuddin Chanif Al Hasani atau Gus Afif, memperlihatkan sebuah batu hitam berukir. Prasasti batu zamrud sebesar dua telapak tangan bertulisan huruf Jawa dan Arab serta bulus itu dipasang pada papan kayu yang berukir bulus pula. Pada batu itu tertulis "25 Syakban 978 Hijriyah". Bila dikonversi ke kalender Masehi, tanggal itu adalah 22 Januari 1571. Pengasuh pesantren menyimpan batu zamrud itu. “Demi keamanan,” kata Gus Afif. Prasasti inilah penanda usia pesantren itu, sudah lebih dari lima abad.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Penanda sejarah lain adalah rumah panggung berdinding gedek dan jendela kayu yang masih berdiri tegak ditopang bambu dan kayu. Tiga kamar di dalamnya digunakan untuk menampung santri dengan tingkatan paling tinggi, yakni mereka yang menguasai kitab kuning dan Al-Quran. Lukisan santri dengan citraan pemandangan alam berkelir warna-warni membetot perhatian di rumah itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pengasuh pesantren Al-Kahfi Kiai Afifuddin Chanif Al Hasani atau Gus Afif menunjukkan prasasti batu zamrud penanda umur pesantren yang sudah lebih dari 5 abad/Tempo/Shinta Maharani

Siang itu, tampak sejumlah santri tengah beristirahat di dekat asrama paling tua Pondok Pesantren Al Kahfi Somalangu, Sumberdadi, Kebumen, Jawa Tengah. Bangunan kuno ini, juga masjid, adalah yang tersisa dari peninggalan pesantren setelah ada penambahan gedung-gedung. Pengasuh pesantren dari generasi ke generasi tetap mempertahankan bangunan kuno itu. “Kami pertahankan supaya santri dan kiai selalu mengenang,” ujar Gus Afif saat ditemui di Pesantren Al Kahfi, Selasa, 14 Februari lalu.

Gus Afif, 54 tahun, adalah generasi ke-16 penerus pesantren yang berdiri pada 4 Januari 1475 tersebut, Syekh As Sayid Abdul Kahfi Al Hasani. Mubalig asal Yaman itu mengarungi Kepulauan Maladewa hingga lautan Hindia Belanda, lalu mendarat di Kebumen dan mendirikan pesantren ini. Dia membuka hutan di kampung yang berjarak 1,5 kilometer dari Jalan Raya Kutoarjo-Kebumen dengan dibantu para pengikutnya. Tak jauh dari pesantren, terdapat dua yoni peninggalan zaman Kerajaan Majapahit. Kampung itu di masa silam dihuni warga beragama Hindu.

Pemuka agama Hindu paling berpengaruh dan tersohor saat itu adalah Resi Pucuk Laras. Sang Resi mendengar nama besar Syekh As Sayid yang pernah menjadi guru Sunan Kudus dan membantu dakwah Sunan Ampel. Ia lantas giat menemui Syekh As Sayid. Dari pertemuan intens itulah Resi Pucuk Laras belajar dan memeluk Islam.

Santri di pesantren Al Kahfi Somalangu Kebumen, Jawa Tengah, 14 Februari 2023/Tempo/Shinta Maharani

Di samping bangunan gedek, berdiri Masjid Al Kahfi. Masjid ini masuk daftar bangunan cagar budaya Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Tengah. Dulu atap Masjid Al Kahfi terbuat dari daun ilalang dan di puncaknya terdapat terakota berbahan tanah liat yang dijadikan simbol pesantren. Di masjid terdapat mimbar kuno dengan empat tiang dikelilingi kain putih yang dibuat 400 tahun lalu. 

Pesantren Al Kahfi setia mengajarkan kitab-kitab salaf atau kitab kuning kepada santrinya. Kitab kuning yang dipelajari antara lain Imrithi atau pengajaran bahasa Arab. Ada juga kitab fikih seperti Takrib, Fatkhul Wahab, dan Fathul Muin serta ilmu tasawuf atau etika. Untuk bisa menguasai ilmu-ilmu itu, setiap santri wajib membaca kitab tafsir, hadis, dan nahu saraf atau tata bahasa Arab yang ditulis Muhammad Jamaluddin bin Abdillah bin Malik atau biasa disebut Ibnu Malik. 

Selain membuka pendidikan salaf model sorogan, bandongan, dan wektonan, pesantren ini mendirikan lembaga pendidikan formal, yakni sekolah menengah pertama, sekolah menengah atas, dan sekolah menengah kejuruan. Sekolah formal ini berdiri pada 1995. Yang terbaru adalah rintisan perguruan tinggi akademi komunitas. Mirip politeknik, lembaga pendidikan ini berdiri pada 2020 dengan program studi teknik informatika, elektro-medis, dan pemograman kendaraan ringan.

Para Santri di kompleks pesantren Al Kahfi Somalangu Kebumen, Jawa Tengah, 14 Februari 2023/Tempo/Shinta Maharani

Pesantren ini juga mengajarkan kemandirian usaha seperti pendirian koperasi, butik, dan warung Internet serta pembuatan sajian kuliner dan roti. Santri juga berkegiatan ekstrakurikuler seperti silat, tari saman, hadrah, dan badminton. “Santri tidak melulu mengaji, tapi mendapat bekal keterampilan supaya siap kerja,” kata Sutono, salah satu santri dan pengajar nahu saraf. Aktivitas santri dimulai pada pukul 03.00 WIB dengan salat dan tadarus.

Perpaduan ilmu salaf dan modern ini membuat pesantren seluas 3 hektare itu berkembang pesat. Keterbukaan terhadap perkembangan zaman membuat pesantren ini diminati calon santri yang datang dari berbagai daerah di Indonesia. Gus Afif mencatat jumlah santri laki-laki dan perempuan saat ini sebanyak 2.400 orang dengan 103 ustad. Pesantren telah jauh berkembang ketimbang pada 1992 saat hanya memiliki 100 santri. Gus Afif menyebutkan ada beberapa ulama tersohor yang merupakan alumnus Pesantren Al Kahfi, seperti Kiai Nahrowi Dalhar, pengasuh Pesantren Watucongol, Magelang, Jawa Tengah; dan Kiai Abdullah Abbas, pengasuh Pesantren Buntet di Cirebon, Jawa Barat.

Meski sudah bertumbuh, Gus Afif melanjutkan, Pesantren Al Kahfi masih harus terus mengembangkan pendidikan keilmuan seperti teknologi, kebudayaan, dan sosial. Al Kahfi berencana menggodok kurikulum dengan kajian pesantren di seluruh Indonesia. “Ngalap berkah dan pesantren seharusnya mengikuti perkembangan zaman,” tuturnya. Menurut dia, pesantren ini bisa bertahan karena mampu beradaptasi tanpa meninggalkan tradisi yang diwariskan dari generasi ke generasi.

Penghargaan PBNU

Pondok Pesantren Al Kahfi adalah satu dari 68 pondok pesantren tua yang mendapat penghargaan dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, akhir Januari lalu. PBNU memberikan penghargaan kepada pesantren yang berusia lebih dari satu abad dan menjadi basis pengembangan NU. "Ini sebagai bentuk ungkapan terima kasih kami kepada pesantren-pesantren itu,” ujar Rumadi Ahmad, Ketua Panitia Penganugerahan Penghargaan dalam Rangka 1 Abad NU, kepada Tempo. Penghargaan kepada Al Kahfi hanya satu dari sekian penghargaan dari Nahdlatul Ulama. Panitia terbuka terhadap saran publik dan meminta masukan dari pengurus wilayah NU untuk mendata pesantren-pesantren tua.

Menurut Rumadi, pemberian penghargaan kepada pesantren-pesantren tua oleh NU ini tak lepas dari jasa mereka. Pesantren adalah tempat kelahiran ulama dan penggodokan para santri menjadi ulama penerus. “Enggak mungkin jadi ulama kalau tidak tahu ilmu pesantren,” tuturnya. Tradisi NU, dia melanjutkan, lahir dan berkembang di pesantren-pesantren. Rumadi menjelaskan, terdapat banyak pesantren, tapi belum tentu pondok itu menjadi basis pengembangan NU. “Kalau tidak ada pesantren, tidak ada NU. Karena itu, kami sangat berterima kasih,” ucapnya.

Dalam pemberian penghargaan ini, pesantren di Jawa mendominasi. Ada beberapa pesantren di luar Jawa yang juga menerima penghargaan, seperti di Aceh, Sumatera Utara, dan Kalimantan Selatan. Ihwal dominasi itu, Rumadi mengatakan penyebabnya adalah NU berkembang di pesantren-pesantren di Jawa. NU dilahirkan oleh tokoh-tokoh yang mengembangkannya di berbagai pesantren.

Selain di Kebumen, ada pesantren tua di Solo atau Surakarta, Jawa Tengah, yakni Jamsaren yang berdiri pada 1750 dan melewati dua periode pendirian. Selepas magrib, Senin, 13 Februari lalu, Tempo melihat para santri Pondok Pesantren Jamsaren hikmat menyimak ceramah yang disampaikan Ustad Ahmad Rofi'i tentang keteladanan sifat Rasulullah. Ceramah disampaikan dengan bahasa yang ringan dan mudah dipahami. Kegiatan semacam itu adalah salah satu aktivitas rutin di Jamsaren.

Para santri Pondok Pesantren Jamsaren mengikuti tausiyah ustaz Ahmad Rofi'i di Masjid Jamsaren Solo, 13 Februari 2023/Tempo/Septhia Ryanthie

Ketua Yayasan Pondok Pesantren Jamsaren Solo, Chusniatun, menjelaskan dua periode pendirian pesantren itu. Periode pertama adalah pada masa pemerintahan Raja Pakubuwono IV. Pesantren itu didirikan hanya dari surau kecil yang sering dipakai sebagai tempat perjamuan sang Raja. Pakubuwono IV mendatangkan ulama Kiai Jamah Sari atau Kiai Jamsari dari Banyumas, Jawa Tengah, dengan tujuan mendidik dan memperbaiki akhlak umat Islam.

"Dulu untuk membina umat biasanya dari pihak keraton ada semacam patok negoro atau ulama yang diminta membina karakter umat,” tutur Chusniatun, Senin, 13 Februari lalu, kepada Tempo. Saat itu wilayah barat yang merupakan pintu masuk keraton disebut sebagai sarang orang-orang berakhlak kurang bagus. Kiai Jamsari-lah yang diminta memberi pendidikan keagamaan dan membina akhlak warga di daerah itu.

Nama "Jamsaren" pun, Chusniatun melanjutkan, diambil dari nama kediaman Kiai Jamsari—dari Jamah Sari menjadi Jamsari—yakni Jamsarian atau Jamsaren. Setelah wafat, Kiai Jamsari digantikan putranya yang bernama Kiai Jamsari II. Jamsaren, Chusniatun menambahkan, mengalami masa vakum setelah Belanda menjebak dan menangkap Pangeran Diponegoro pada 1830. Para kiai dan pembantu Pangeran Diponegoro serta Pakubuwono VI di Surakarta bersembunyi ke daerah lain. Termasuk Kiai Jamsari II dan santrinya yang mendukung perlawanan Pangeran Diponegoro dan Pakubuwono VI.

Suasana Pondok Pesantren Jamsaren di Surakarta, Jawa Tengah, 13 Februari 2023/Tempo/Septhia Ryanthie

Surau mulai hidup lagi pada periode kedua pendirian, yakni pada 1878, ketika seorang kiai alim dari Klaten, Jawa Tengah, Kiai Idris, membangun lagi surau itu dan mengembangkannya menjadi pesantren. Kiai Idris adalah keturunan Kiai Imam Rozi, sahabat Kiai Jamsari II dan Kiai Mojo yang turut melawan Belanda bersama Pangeran Diponegoro.

Ia mengembangkan dan meluaskan pesantren. Ia mengajarkan kitab kuning berbahasa Arab yang diterjemahkan ke bahasa Jawa pegon, yakni bahasa yang disesuaikan dengan susunan bahasa Arab, di antaranya Nahwu Shorof, Tajwid, Qiroah, Tafsir, Fiqh, Hadits, Mantiq, Tarikh, dan Tasawuf. Pengajaran dilakukan dengan cara sorogan, yakni maju satu per satu. Metode lain adalah wektonan atau bandongan, yakni secara berkelompok, setiap santri membawa kitab sendiri.

Metode sorogan diganti menjadi sistem kelas pada 1913. Kepemimpinan Kiai Idris, yang meninggal pada 1923, diteruskan oleh Kiai Abu Umar hingga ia wafat dan digantikan putranya, Kiai Ali Darokah, pada 1965-1997. Dengan dibantu para pengurus, para pemimpin inilah yang mengelola pondok serta materi pelajaran agama dan umum untuk santri. Demikian juga setelah wafatnya Kiai Ali Darokah.

Masjid Agung Buntet di kompleks Pesantren Buntet, Cirebon/Tempo/Ivansyah

Chusniatun menjelaskan, sejak awal berdiri, pesantren ini hanya menerima santri laki-laki. Saat ini sebanyak 180 santri menghuni pondok tersebut. Jamsaren berkembang menjadi yayasan yang memiliki lembaga pendidikan dari taman kanak-kanak hingga madrasah aliyah dan pondok pesantren itu sendiri. Chusniatun mengakui perkembangan zaman dari masa ke masa menjadi tantangan tersendiri bagi Jamsaren, termasuk kemajuan teknologi saat ini. "Termasuk Internet, pasti akan membawa dampak pada akhlak santri,” ujarnya.

Tak menolak teknologi, pengurus pondok itu hanya berusaha mengurangi dampaknya dan menghadapinya dengan positif. Pengurus kemudian mengembangkan program pendidikan vokasi bagi para santri. "Terutama bidang IT (teknologi informasi) agar para santri ke depan memiliki keterampilan yang mumpuni," kata putri Kiai Ali Darokah ini.

Menurut catatan, sejumlah tokoh ulama besar pernah menimba ilmu di sini. Di antaranya Kiai Mansyur (pendiri Pondok Pesantren Al-Mansyur di Klaten), Kiai Dimyati (pendiri Pondok Pesantren Termas di Pacitan, Jawa Timur), Syekh Ahmad al-Hadi (tokoh Islam kenamaan di Bali), Kiai Arwani Amin (ulama dari Kudus, Jawa Tengah), Kiai Abdul Hadi Zahid (pengasuh Pondok Pesantren Langitan di Tuban, Jawa Timur), Munawir Sadzali (mantan Menteri Agama), Amien Rais (mantan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat, santri kalong/tidak bermukim), Kiai Zarkasyi (pendiri Pondok Pesantren Gontor di Ponorogo, Jawa Timur), dan Kiai Hasan Ubaidah (pendiri Lembaga Dakwah Islam Indonesia).

Bagaimana Pesantren Tua Bertahan

Dua pondok pesantren lain yang tergolong tua adalah Buntet dan Babakan di Cirebon. Pesantren Babakan berada di barat daya Kabupaten Cirebon. Pendirinya adalah Ki Jatira atau Syekh Hasanuddin bin Abdul Latif dari Kajen, Plumbon, Kabupaten Cirebon. Ia adalah kiai berdarah Mataram yang selalu menyiarkan Islam di wilayah yang disinggahi, tak terkecuali di Babakan. Ia mendirikan musala kecil untuk berdakwah.

Belanda tak menyukai kegiatan Ki Jatira dan menghancurkan pondoknya. Ki Jatira dan para santri melawan Belanda. Ia berhasil lolos dan mendirikan pondok lagi tak jauh dari lokasi pondok lama. “Memiliki pasukan yang banyak, inilah yang menjadi cikal bakal Pesantren Babakan Ciwaringin,” tutur Muhammad Djamal, salah satu pengasuh Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin. 

Karena itu, awalnya materi yang didapatkan dari pesantren berupa hikmah atau mengaji tasawuf dan tirakat yang mengedepankan kanuragan. "Setelah masa Kiai Amin sepuh dan Kiai Sanusi, mulai bergeser ke fikih, syariat,” ujar Djamal.

Para santri mengaji di pendopo Masjid Agung Buntet di kompleks Pesantren Buntet, Cirebon/Tempo/Ivansyah

Tak kurang 50 pengasuh dengan jumlah santri sekitar 10 ribu orang dari berbagai daerah di Indonesia terdapat di Pesantren Babakan. Tak hanya bergerak dengan ilmu agama, yayasan pesantren itu mengembangkan lembaga pendidikan umum hingga jenjang perguruan tinggi di lingkungan pondok. Ngaji sorogan dan bandongan dari Al-Quran dan kitab kuning pun menjadi materi keseharian para santri. Kiai Haji Zamzani Amin kini menjadi sesepuh pesantren ini. 

Pondok Pesantren Buntet juga merupakan salah satu pesantren tua dan kondang di Cirebon. Muqoyyim, putra salah satu pangeran di Keraton Kanoman, Cirebon, mendirikan pesantren ini. Ia memilih keluar dari keraton ketika suasananya tak kondusif dan adanya politik pecah belah Belanda. Ia kemudian mendirikan pesantren di Kampung Kedung Malang, Desa Buntet, Kecamatan Astanajapura, Cirebon, pada 1750. Pesantren itu bermula dari rumah yang sangat sederhana, langgar, dan beberapa kamar santri. Hal ini menarik perhatian masyarakat yang mengaji kepadanya.

Belanda tak menyukai kegiatan Muqoyyim dan mencoba menangkapnya. Tapi Muqoyyim lolos meskipun pesantrennya dihancurkan Belanda. Dia sempat berkelana ke Pemalang, Jawa Tengah, dan kembali ke Cirebon untuk membangun pesantren di wilayah berbeda, yakni di Blok Manis, Depok, Desa Mertapada Kulon.

Pesantren Buntet bertahan hingga kini dan mempunyai ribuan santri. Kiai Ahmad Syauqi, Sekretaris Yayasan Lembaga Pendidikan Islam Pondok Buntet Pesantren, menjelaskan bahwa saat ini pondoknya memiliki 6.500 santri dari sejumlah daerah di Indonesia. Pesantren salafiyah tersebut mempunyai 65 pondok dengan berbagai jenjang pendidikan.

Para santri memulai aktivitas pada pagi hari dan mengikuti pendidikan umum. Pada pukul 16.00 hingga malam, mereka mengaji Al-Quran dengan metode sorogan dan bandongan dari kitab Kuning. Syauqi mengatakan saat ini yayasannya mengembangkan pendidikan tinggi lewat Akademi Keperawatan dan Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah. Rencananya, tahun ini Pesantren Buntet akan mendirikan Universitas Islam Buntet yang menggabungkan akademi dan sekolah tinggi tersebut.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus