Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Tiga Pesantren Tua di Jawa Timur

Tiga pesantren tua di Jawa Timur ikut berjuang mengusir penjajah. Mereka juga punya ilmu kajian andalan.

19 Februari 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pesantren-pesantren tua melahirkan ulama-ulama mastur.

  • Mereka menjadi guru ulama lain yang terkenal dan populer.

  • Pesantren tua punya peran penting di masa penjajahan,

PONDOK Pesantren Qomaruddin di Desa Sampurnan, Kecamatan Bungah, merupakan pesantren tua di Gresik, Jawa Timur. Secara resmi, Pesantren Qomaruddin ditetapkan berdiri pada 1747. Namun ada beragam versi mengenai berdirinya lembaga ini. “Sementara ini kami berpatokan pada 1747 karena dasarnya cukup kuat. Kalau ke depan ada dasar yang lebih kuat, ya kami ubah tahunnya,” kata Ahmad Isa, Wakil Kepala Jamiyah dan anggota tim yang pernah menelusuri sejarah pondok ini dari manuskrip dan silsilah keluarga.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Berdasarkan penelitian sejarah itu, dia menerangkan, terkumpul bukti dan narasi perjalanan Qomaruddin, pemuda asal Desa Sluke, Bonang, Rembang, Jawa Tengah, sebagai pendiri pondok. Ia mengatakan Qomaruddin pertama kali menimba ilmu di Ponorogo, Jawa Timur, di sebuah pesantren milik Kiai Donopuro. “Dalam manuskrip tidak disebutkan pondok apa. Tapi, setelah kami lacak dan kaji, kami yakin itu Pondok Tegalsari,” ujar Isa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ia kemudian menyantri di Madura selama lima tahun dan datang ke Tuban, Jawa Timur. Qomaruddin mendirikan pondok pertamanya di Kanugrahan, Lamongan, Jawa Timur, dengan santri awal sebanyak 50 orang. “Kiai Qomaruddin di Kanugrahan itu selama 30 tahun. Bekas-bekas pondoknya masih ada sampai sekarang,” ucap Isa. Qomaruddin lantas menjadi penasihat Tirtorejo, putra Bupati Gresik yang pernah menjadi murid Qomaruddin dan menggantikan ayahnya.

Qomaruddin meninggalkan pondoknya di Kanugrahan dan pindah ke Gresik. Berdasarkan perjalanan itulah Pesantren Qomaruddin berpatokan pada pengangkatan Tirtorejo pada 1747 dalam menandai berdirinya pesantren yang baru ini. “Karena tahun itu kan Kiai Qomaruddin ditarik ke Gresik dan memindahkan pondoknya,” katanya. Semula pondok Qomaruddin berada di Desa Moro, sisi selatan hilir Sungai Bengawan Solo. Karena di sana kerap dilanda banjir, pondok dipindah ke Wantilan, di utara Bengawan Solo. “Akhirnya dapat lokasi di Bungah ini, sampai sekarang,” ujar Isa. Sebuah lokasi yang strategis dengan mata air dan dekat urat nadi perdagangan.

Sepeninggal Kiai Qomaruddin, pesantren dikelola putra-putranya. Isa menjelaskan, saat ini pesantren dikelola oleh generasi ke-10 Kiai Qomaruddin. Pesantren ini, dia menambahkan, sejak awal juga terlibat urusan dengan Belanda secara tidak langsung. Menantu Kiai Qomaruddin membantu dan merawat laskar Pangeran Diponegoro yang mundur ke daerah Gresik. Perlawanan terhadap Belanda pun terjadi pada masa revolusi, ketika pecah Agresi Militer II yang menewaskan kakek Isa, salah satu anggota keluarga pondok ketika dipimpin Kiai Sholeh Salis.

Yang khas di pondok ini, mereka mengajarkan kajian ilmu darul fikih dan tafsir Zalalani di samping ilmu Al-Quran dan kajian lain. Selain itu, mereka menjalankan pendidikan umum. Saat ini pondok inti menempati lahan sekitar 2.000 meter persegi, tapi Pesantren Qomaruddin berhasil mengembangkan lembaga pendidikan formal dari pendidikan anak usia dini hingga perguruan tinggi. Saat ini santri yang bermukim di pesantren sebanyak 800 orang. Jika ditambah dengan siswa lembaga pendidikan formal yang tidak bermukim, totalnya mencapai 5.000 orang.

Sebelum berkembang seperti sekarang, cikal bakal lembaga pendidikan di Qomaruddin adalah madrasah ibtidaiah (MI) pada 1930, era Kiai Sholeh Salis. Ia adalah santri Kiai Hasyim Asy’ari di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, yang mendapat perintah mengembangkan pendidikan formal. Ketika sekolah jadi, Hasyim memberikan nama MI Asy’adah. Penghargaan dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, menurut Isa, menjadi cambukan. Sebagai pondok tua, mereka dituntut tetap eksis dan makin berkembang. “Bukan untuk bangga-banggaan."

Ulama Mastur Pesantren Tua

Akan halnya Al-Hamdaniyah, pesantren ini adalah salah satu yang tertua di Jawa Timur. Lokasinya di Siwalanpanji, Sidoarjo. Kekunoan pondok ini tampak dari asrama santri yang masih berupa bangunan kuno berlantai tinggi berdinding bambu. Jerambahnya terbuat dari papan kayu serta beratap tinggi layaknya bangunan masa lalu. Jumlahnya empat unit. Tiap bangunan dipetak-petak menjadi kamar. “Kami tidur bersama-sama di sini,” ucap salah seorang santri yang sedang mendaras Al-Quran di asrama.

Muhammad Wahid Hasbullah, salah seorang pengurus pondok itu, menjelaskan bahwa empat bangunan kuno tersebut merupakan cikal bakal Al-Hamdaniyah. Sejak bangunan itu didirikan oleh Kiai Hamdani pada 1790, keasliannya dipertahankan. “Kami enggak berani mengutak-atik, hanya memperbaiki kalau ada kerusakan,” tuturnya. Di asrama-asrama itulah tercatat beberapa santri yang kelak menjadi ulama besar pernah tinggal. Di antaranya pendiri Nahdlatul Ulama, Hasyim Asy’ari dan Kiai Wahab Hasbullah; pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Situbondo, Kiai As’ad Syamsul Arifin; pencipta lambang NU, Kiai Ridwan Abdullah; dan sejumlah kiai tenar lain.

Suasana asrama santri di Pondok Pesantren Al Hamdaniyah, Sidoarjo, Jawa Timur/Tempo/Kukuh S Wibowo

Kiai Hamdani sendiri dikenal tertutup. Ia tak suka tampil di muka umum. Menurut Wahid, kelebihan Kiai Hamdani belum terlalu terungkap. Mengapa santri-santri sekelas Hasyim Asy’ari, Wahab Hasbullah, dan As’ad Syamsul Arifin berguru kepada dia? “Kiai Hamdani ini dikenal mastur, tidak suka tampil. Beliau banyak di balik layar,” katanya.

Di pondok itu saat ini tercatat ada 180 santri pria dan 200 santri perempuan yang sebagian besar berasal dari Surabaya dan Sidoarjo. Al-Hamdaniyah juga mengembangkan pendidikan formal. Total siswanya sekitar 500. Tak ada kiai dominan di pondok tersebut. Pondok dan lembaga pendidikan formalnya dikelola oleh empat anggota dewan pengasuh. Salah satunya Kiai Hasyim Fahrurozi, generasi kedelapan Kiai Hamdani.

Bangunan asrama santri di Pondok Pesantren Al Hamdaniyah, Sidoarjo, Jawa Timur/Tempo/Kukuh S Wibowo

Peran Pesantren Mengusir Penjajah

Sebuah masjid berkubah mencolok berdiri di antara permukiman padat penduduk di Kelurahan Gading Kasri, Klojen, Kota Malang. Masjid bernama Baiturrohman ini menjadi penanda Pondok Pesantren Miftahul Huda, yang lebih dikenal sebagai Pondok Gading Kota Malang, salah satu pondok tertua di Jawa Timur. Pondok ini mendidik 600 santri yang terdiri atas 400 santri putra dan 200 santri putri. “Pondok Gading merupakan pondok tertua ketiga di Indonesia. Didirikan pada 1768 oleh Kiai Hasan Munadi,” ujar Gus Fuad Abdurrohim Yahya, salah satu pengasuh Pondok Gading.

Kiai Hasan Munadi wafat pada usia 125 tahun setelah mengasuh pondok ini selama 90 tahun. Kepemimpinan di pondok dilanjutkan oleh Kiai Ismail, kemudian Kiai Muhammad Yahya yang merupakan keturunan Sunan Gunung Jati dari Cirebon, Jawa Barat. Pondok ini juga ikut berjuang mengusir penjajah. Dalam buku Sejarah Biografi, Kiai Yahya merupakan pejuang kemerdekaan. Ia mengiringi komandan batalion tentara Badan Keamanan Rakyat (BKR), Mayor Sulam Syamsun, menyusun strategi perang gerilya bersama santri dan rakyat di Kota Malang. Saat Kiai Hasyim Asy’ari mengeluarkan fatwa Resolusi Jihad pada 10 November 1945, Kiai Yahya bersama ratusan ribu pejuang ikut bertempur di garis depan atas permintaan Panglima BKR Divisi Untung Soeropati, Mayor Jenderal Imam Soedja’i.

Kiai Yahya wafat pada 2019. Saat ini Pondok Gading diasuh generasi keempat, yakni putra Kiai Yahya. Di antaranya Gus Ahmad Arif, Gus Athoillah, dan Gus Fuad Abdurrohim Yahya. Mereka mengajarkan ilmu agama kepada para santri yang kebanyakan siswa sekolah menengah pertama-sekolah menengah atas hingga perguruan tinggi. Para santri bebas kuliah dan bersekolah, tapi pada pukul 18.00 WIB wajib berada di pondok. Mereka akan mengikuti beragam aktivitas di madrasah diniah setelah salat isya sampai pukul 21.00 WIB. Setelah itu, para santri bisa kembali ke asrama.

Yang paling menarik, Pondok Gading dikenal dengan ilmu hisabnya sehingga menjadi rujukan umat Islam untuk menentukan awal puasa Ramadan, Idul Fitri, dan Idul Adha. Salah satu santri, Jazuli, yang sudah boyong atau keluar pondok, turut mempelajari ilmu hisab untuk menghitung waktu dan tanggal awal Syawal. Ilmu hisab menjadi salah satu pelajaran khas di Pondok Gading. Para santri mendapat pelajaran dari modul yang ditulis ustad senior. Karena itu, kadang penentuan awal puasa Ramadan atau Idul Fitri di sini berbeda dengan ketentuan dari Nahdlatul Ulama yang menggunakan metode rukyat. “Selama saya di sini, dua kali Idul Fitri tidak sama dengan NU,” katanya.

Gus Fuad menuturkan, ilmu hisab memang menjadi salah satu ilmu yang khas diajarkan di pondoknya. Ilmu ini diajarkan dari generasi ke generasi. “Jadi banyak muslim yang menanti hasil hisab dari Pondok Gading,” tuturnya. Menurut dia, setiap pengurus memiliki kepekaan untuk bertahan. Demi regenerasi, ilmu agama pun diajarkan sejak kecil.

EKO WIDIANTO (MALANG) 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus