Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Dan malam itu berjalan seperti malam-malam yang lain. Hangat, seronok, ger, srupat-sruput minum wedang, sat-set melahap gudeg.” (Umar Kayam, Mangan Ora Mangan Kumpul)
Sayup-sayup terdengar, pada Sabtu sore yang murung itu, saat duka mengepung indra: “Sampai akhir hayatnya Uka itu masih doyan makan.” “Dia itu ngerti sekali makanan; jago masak lagi.” Kemudian, di tengah desau harum kamboja, “Makanan itu cintanya yang nomor satu.” Pada raut-raut kusut itu, tiba-tiba senyum merebak.
Semua orang yang tahu Umar Kayam, baik secara dekat, kurang dekat, maupun hanya melalui tulisan-tulisannya, pasti tahu satu hal: ia cinta makan. Okelah, ia multidimensional, bakatnya segembung, minat dan wawasannya menembus segala disiplin dan budaya, prestasinya jangan lagi ditanya, pernah jadi ini itu, tersohor dan populer (walaupun tidak pernah sok populer), pokoknya jauh lebih hebat dari Prof. Dr. Lemahamba, M.A., M.Sc., M.Ed, Ph.D. (orang pintar yang begitu dikagumi Ki Ageng dalam Mangan Ora Mangan Kumpul). Dan kini, setelah ia tiada, kesederhanaan, kemanusiaan, dan otentisitas suaranya dikenang dan dirindukan.
Dan ia cinta makan.
Dalam banyak hal, Mangan Ora Mangan Kumpul—yang memuat kolom-kolom Umar Kayam di harian Kedaulatan Rakyat Yogyakarta dalam tiga jilid dan rentang waktu hampir 10 tahun—lebih dari sekadar kanvas tempatnya menggurat sketsa-sketsa kehidupan. Walaupun jauh dari se-buah magnus opum, ia adalah karya yang paling “dekat” dengan diri penulisnya, dalam arti ia menampung, hampir secara total, kepribadian, suara hati, dan pandangan hidup penulisnya yang paling intim.
Dalam kolom-kolom ini, ada juru kisah sekaligus tokoh, beberapa figur lain yang permanen, dan latar domestik yang jelas. Inilah yang menjadikan kolom-kolom tersebut, seperti kata Sapardi Djoko Damono dalam kata pengantarnya, semacam “drama domestik”. Ki Ageng, sang juru kisah tersebut (yang sekaligus merupakan alter-ego Umar Kayam), digambarkan sebagai seorang priayi yang terpelajar dan progresif dalam beberapa aspek kehidupan, walaupun terkadang gamang menghadapi perubahan zaman.
Setengah catatan harian, setengah fiksi, setengah otobiografi, setengah imajiner, setengah kolom, setengah cerpen, tulisan-tulisan ini bercerita mengenai apa saja, biasanya peristiwa sehari-hari, yang lucu, yang nakal, yang mengharukan, yang bedes. Yang kelihatannya remeh-temeh, banal, dan tidak serius. Ada banyak aspek yang me-narik untuk diulas. Namun, ada satu tema yang kental dan mengikat: cinta sang penulis terhadap makanan.
Mengapa saya mengatakan “cinta”, dan bukan hanya “suka”? Karena kata “suka” bersifat kuantitatif (yang terbayang adalah seseorang yang gembrot, lahap, seperti babi hutan), dan kata “cinta” merujuk kepada sesuatu yang kualitatif (seorang gourmet atau gastronome tidak bisa tidak mencintai makanan, karena minatnya terhadap makanan dilandasi apresiasi terhadap kenikmatan yang dihasilkan). Orang yang “suka” makan juga tidak otomatis harus mencintai apa yang dimakan; seperti halnya dalam mencintai seseorang, cinta menimbulkan semua yang mulia itu: toleransi, kepedulian, kehangatan, dan kelemahlembutan, tapi juga menghadirkan semua yang agresif dan cenderung bermata-dua: nafsu, berahi, obsesi. Namun, dalam arti semurni-murninya, cinta melibatkan keluruhan diri dalam yang dicintai. Dan biasanya cinta macam itu merasuk ke dalam, menjadi bagian dari hidup.
Kira-kira, begitulah hubungan Umar Kayam dengan makanan. Cinta itu adalah bagian hidupnya, dan oleh karenanya ia bisa mencuat kapan saja, di mana saja, dan pada level yang berbeda-beda. Ia menimbulkan rasa familiarity (perasaan terbiasa) dan rasa belonging (perasaan menjadi bagian dari sesuatu), tapi ia juga tanpa pamrih dan tidak menuntut. Ia bisa diperlakukan dengan hormat dan penuh pengabdian, tapi juga bisa dengan santai dan setengah kurang ajar. Ia bisa di-saut dan di-tepok-tepok dengan gemas sayang, tapi juga bisa dikencani dan ditomploki dengan nafsu berahi. Ia ibarat sebuah perkawinan yang langgeng.
Karena itulah, dalam kehidupan Ki Ageng kita melihat makanan sebagai seorang “pendamping” yang baik. Ia memainkan peran fisik, peran emosional-spiritual, dan peran sosial yang penting, dan semua dengan sama ajeknya. Inilah yang membuat kesehari-harian tidak menjadi monolitik, sehingga penggeng eyem Pak Joyoboyo bisa menghadirkan suasana hati yang berlainan: bacchanalian campur sexist (dada mentok itu begitu “empuk, ayu, dan cokelat”); semeleh, karena di balik nafsu yang terbangkitkan oleh “bau gurih manis bercampur harum”, ada keheningan sejenak bagi perjuangan hidup penjajanya.
Atau kadang-kadang bahkan rasa takjub tok. Karena dalam soal-soal kearifan hidup, ternyata Pak Joyo begitu canggih. Sambil menggelar potongan-potongan ayamnya, ia bisa dengan tenang membicarakan kekukuhan pendirian bukan saja sebagai pertanda karakter yang kuat, tapi juga sebagai kiat menghadapi ujian-ujian hidup. Walaupun Ki Ageng biasanya sedikit sinis mengenai apa yang disebutnya “filsafat pasrah” (atau “ayem”) ini, kali itu ia mendecak, dengan kagum, “Inilah kawicaksanaan rakyat kecil. Tetes. Titis. Cespleng.”
Demikian juga hubungan emosional Ki Ageng dengan para batur (pembantu rumah tangga)-nya. “Kalau naluri priayi feodal saya sedang kambuh, keluarlah naluri sadisme terhadap para kerabat wong cilik,” demikian ia mengaku tanpa malu-malu. Selain menyiksa Mr. Rigen sekeluarga dengan kuis pengetahuan umum (gaji dipotong Rp 100,00 seminggu untuk setiap jawaban yang salah), ia juga tega menambah penderitaan mereka dengan bujet belanja yang superketat (“Ms. Nansiyem yang memang selalu kreatif, saya tahu, telah memutar daya kreasinya… dan cilaka, kuantitasnya pun kok kelihatannya semakin menipis saja. Tempenya semakin langsing dan kangkungnya pun semakin kurus.”). Dalam suasana hati seperti ini, makanan ikut-ikutan dijadikan obyek lelucon.
Tapi, pada suatu momen kebersamaan yang lain, meja hampir berbalik. Setelah beberapa kali kena bentak, Mr. Rigen tiba-tiba ingin “ganti propesi”. Ki Ageng tentunya bak tersambar petir. Tapi ketika sadar bahwa keinginan dadakan tersebut sesungguhnya merupakan sebuah protes halus tanpa prospek, inilah yang ia batinkan:
“Mr. Rigen yang malang. Kalau kau ke New York mungkin kau masih bisa mupus, menghibur diri, dengan, well, life is but a bowl of cherry. Hidup hanya bagaikan semangkuk buah cherry. Kadang-kadang nyeplus yang kecut, kadang-kadang dapat yang manis. Celakanya, ini di Yogya! Di sini, life is but sak kreneng salak Sleman. Kadang dapat yang manis, kebanyakan sepet terus….”
Makanan, dalam dunia Ki Ageng, mempunyai beberapa arti dan dimensi. Ia bukan saja dilihat dari sisi antropologis, tapi juga dari sisi personal. Ia sekaligus subyek dan setting, teks dan konteks, kata kerja dan kata benda, sajian utama dan hidangan sampingan. Ia bercokol dalam alam sadar maupun di bawah sadar, sesekali muncul sebagai cerita utama (seperti cerita mengenai teori nasi goreng), kali lain sebagai “bumbu” penyedap yang diracik ke dalam alur cerita dengan nyeleneh, sambil lalu, seakan tidak serius (seperti lakon-lakon yang melibatkan Pak Joyoboyo, si penjaja ayam panggang door to door).
Tapi tidak ada yang dangkal dalam segala yang seolah sambil lalu itu. Dalam setiap anekdot mengenai makanan, selalu tersisip nilai kuliner yang jelas dan tidak ambivalen. Dan ini berlaku tanpa kecuali: dalam mendiskusikan kebodohan kampanye pemilu sambil memperhatikan Pak Joyoboyo “cak cek menyambar dada, tepong dan mentok dibungkus, dan dengan cekatan, dalam daun pisang”, dalam merenungkan emansipasi wanita sembari mengagumi “keperkasaan” Ms. Nansiyem di dapurnya—dari keterampilannya mengulek sambal sampai politik lauk-pauk pada zaman-zaman susah—dan dalam mengobok-obok anatomi gudeg dan soto ayam kampung.
Semuanya jelas: makanan, seperti juga batur, adalah bagian penting dari kebahagiaan hidup Ki Ageng. Karena sifatnya yang demokratis, ia juga menjadi jembatan sekaligus perekat antara kedua kultur, yang sejatinya saling menghidupi dan tergantung pada satu sama lain. Kita semua tahu, tidak ada yang ngoko atau kromo inggil mengenai semangkuk soto yang harum, panas, dan mak nyuus.
Selain fungsi-fungsi sosial domestik dan makna kulturalnya, Umar Kayam juga menghargai makanan sebagai bagian tidak terpisahkan dari sosiologi sebuah kota. Dan ini penting. Seperti yang saya tulis baru-baru ini dalam sebuah artikel di Aksara Magazine mengenai restoran-restoran di Jakarta, “Makanan adalah gateway (gerbang pengantar) menuju apresiasi dan pendalaman mengenai sebuah budaya. Tak jarang, ia menjadi salah satu alasan sekaligus daya tarik utama untuk menjelajahi se-buah kota.” Sentimen yang sama begitu kental dalam cerita berjudul Sebuah Restoran yang Hilang (9 Agustus 1988).
Dalam cerita tersebut Ki Ageng bertutur mengenai sebuah Organisasi Tanpa Bentuk (OTB) tempat ia terlibat. “Organisasi ini didirikan oleh beberapa orang yang terdorong oleh kemauan suci untuk makan enak, mempromosikan makanan enak, dan mengawasi makanan enak.” Lingkup aktivitasnya mencakup semua yang masuk dalam tanggung jawab buku-buku panduan restoran masa kini: menu dan specialties setiap restoran dan warung; kebersihan tempat, profesionalisme pelayan, mutu bahan, kreativitas chef. “Kalau ternyata kreativitas sang chef masih di bawah mutu Mr. Rigen, dengan tegas kami coret mereka dari peredaran. Out!” demikian tulisnya dengan sedikit tengil.
Tentunya, ketengilan seperti itu adalah suatu cara untuk mengakui bahwa subyektivitas adalah sesuatu yang tidak dapat dihindarkan dalam segala penilaian mengenai rasa (taste). Dan ini berlaku bagi subyektivitas segala lapis: subyektivitas orang ahli, orang internasionalis, maupun orang kangen, orang fanatik, dan orang supernasionalis (yang menganggap semua yang dimasak di rumah sendiri pasti enak). “Waduh, kok bertumpuk-tumpuk roso subyektivitas itu!” desahnya.
Tapi, yang jauh lebih bermakna, saya rasa, adalah proses-nya, bukan penilaian akhirnya. Pada proseslah terdapat segala yang berkeringat-darah itu: intensitas “checking rutin” pada restoran-restoran, jam-jam riset tak terhitung, semuanya yang terkait dengan rasa hormat terhadap penelitian. Dan pada akhirnya, ia pun sampai pada suatu kesimpulan yang sederhana namun akurat: “kecanggihan” sebuah tempat makan tidak bergantung pada kelasnya, tapi pada “karakter”-nya. Ini kurang lebih sama dengan ide rumah: pada suatu sore, sambil minum teh panas kentel dan nyomot pisang goreng yang manget-manget, Ki Ageng tiba-tiba berubah jadi sentimentil. “Ada suasana yang khas pada sore-sore begitu. Suasana yang tidak dapat digambarkan atau ditulis secara pas. Wong soal roso, kok!”
Maka tak aneh apabila pengulasan Kayam mengenai sebuah kota tidak pernah tidak menyinggung kondisi permakananannya, yang erat kaitannya dengan soal “roso” tersebut. Contoh: “keindahan, keelokan, serta keorisinalan ide-ide” Kota Solo, apalagi kalau bukan karena makanan-makanan khasnya! Orang Solo digambarkan sebagai manusia pecinta tirakat, yang melakoni kehidupan malam untuk merenungkan hikmat dan keindahan hidup. Dan ini tentunya diselingi nyruput wedang kalau sudah capek jalan, disusul makan nasi liwet Baki.
Bahkan dalam soal gaya hidup komparatif pun—dengan segala dialektika antarkelasnya—makanan tetap tampil ngoyo. Dalam sebuah pembicaraan mengenai perbedaan gaya hidup di Jakarta, Yogyakarta, dan Ngawi, Ki Ageng—lagi-lagi dengan tengil—menyerocos mengenai Yun Nyan, Shima, Tokyo Garden (sekarang sudah almarhum), dan Haagen Dasz. Itulah gaya hidup OK di Jakarta! Tapi diam-diam ia tetap tak putus heran: si Usman, yang tadinya dosen dan tinggal di rumah kontrakan, setelah jadi eksekutif di perusahaan swasta, gajinya jadi lima belas juta sebulan. Yang dulu menyuguhi teman-temannya ketoprak, asinan, dan gado-gado, jadi seperti apa dapurnya sekarang? “Lima belas juta, je!”
Ujung-ujungnya, cinta memang berpulang pada roso. Dan roso itu banyak bermain dalam tatanan memori. Pendefinisian rasa atau aroma memang bukan sesuatu yang mudah, dan ini terutama disebabkan oleh keterbatasan indra rasa manusia. Walaupun sensasi sebuah rasa berpusat di lidah serta apa yang kita sebut cita rasa (selera), ia tak jarang berasal dari sebuah ingatan masa lalu.
Isabel Allende, dalam Aphrodite, bukunya yang indah dan sensual—sesensual subyek dan juga penulisnya—bukan saja melukiskan dunia aphrodisiac serta keterkaitan makanan dengan seks dan erotisme, tapi juga hubungan cinta (love affair)-nya seumur hidup dengan makanan. Apabila di dalam dunia Umar Kayam roso banyak diterjemahkan ke dalam rasa kangen yang sifatnya kultural-kontekstual, di dalam dunia Allende ia kerap membangkitkan kenangan-kenangan seksual: makanan-makanan tertentu—baunya, bentuknya, teksturnya, warnanya, aromanya—mengingatkannya pada laki-laki yang berbeda-beda. Rasa anggur Jerman mengingatkannya pada ciuman si A, paduan roti keju dan daging asap pada pelukannya.
Dari segi penggunaan bahasa, Allende, layaknya perempuan pintar yang dimabuk cinta, menulis dengan fasih, tajam, tapi feminin: liris, melodis, berlapis, sedikit formal. Nadanya kadang lembut, kadang agresif, tapi selalu terkontrol. Sementara pada Kayam, mungkin, karena dunia Ki Ageng begitu dekat dengan dunia kelisanan, yang terjadi adalah semacam kelisanan dalam tulisan, atau tulisan berbalur kelisanan—yang konversasional, gamblang, santai.
Berbeda dengan tulisan Allende dan ahli-ahli kuliner dunia—sebut saja Ruth Reichl, Elizabeth David, dan Jeffrey Steingarten—yang sarat metafor dan simile, Kayam menggambarkan makanan dengan sederhana, lugas, dan yang itu tadi: Tetes. Titis. Cespleng. Ia hampir tidak pernah “memanusiakan” makanan, dan karenanya tidak terjebak dalam “genderisasi” ekspresi (kecuali dalam hal penggeng eyem, yang “ayu”). Ia tidak berusaha memberikan nilai tambah melalui kiasan, tapi melalui kekayaan latar yang menaunginya. Ia tidak berusaha membangkitkan keindraan melalui intelek, tapi dengan langsung menyentuh indra itu sendiri. Sesuatu yang gurih adalah gurih, yang manis manis, yang dleweran dleweran. Sreng. Sreeng. Sreeeng. Nyuus. Ia tidak bicara sebagai seorang ahli, ia bicara sebagai seorang teman. Ia setia kepada pembacanya.
Isabel Allende (yang perempuan, ranum, mekar dalam cinta). Pablo Neruda (yang “Ode to the Plum”-nya begitu menusuk sukma). Umar Kayam, yang telah tiada. Tapi dikenang dan dirindukan. Karena ia mencintai kehidupan.
Laksmi Pamuntjak
Direktur Operasional Toko Buku Aksara dan penulis buku The Jakata Good Food Guide 2001
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo