Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KAMI bertemu di Ruang Pameran Taman Ismail Marzuki—ruang pameran yang tinggal kenangan itu. Sebuah pameran lukisan besar (melibatkan pelukis seluruh Indonesia), pada 1976, sedang disiapkan. Sejumlah orang tengah memasang lukisan-lukisan di dinding, sementara kami berjalan berkeliling. Sesampai di depan sebuah dinding, saya mengatakan kepadanya, ini lukisan terbaik, seraya tangan saya menunjuk ke potret Affandi karya Hardi. Kira-kira karya itu sebuah ”karikatur” tentang Affandi yang dua tahun sebelumnya menerima gelar doktor kehormatan dari Universitas Singapura. Saya bergurau sebenarnya.
Di luar dugaan saya, Umar Kayam menanggapi serius. Bukan, katanya, bukan lukisan terbaik, tapi relevan. ”Gambare ora memper,” komentarnya. Memang, wajah Affandi dalam lukisan itu tidak persis. Tapi apa maksud Umar Kayam dengan ”relevan”? Saya tak tertarik me-nanyakannya karena maksud saya sekadar bergurau.
Pada 1973, Kayam diminta berbicara dalam pameran tiga pelukis yang waktu itu termasuk yang terpandang: Rusli, Zaini, dan Nashar. Ia memuji ketiganya dengan penilaian yang ”terbuka”. Misalnya, mereka telah mencapai ”teknik yang tinggi,” atau karya yang ”sempurna”, atau ”percobaan pastel yang berhasil.” Tak ada penjelasan ”teknik yang tinggi” itu seperti apa dan kenapa percobaan pastel itu berhasil.
Pada 1981, terbit kumpulan tulisan Umar Kayam (Seni, Tradisi, Masyarakat, Penerbit Sinar Harapan). Saya tak menemukan tulisan khusus yang membahas karya seni rupa. Kalau toh ada disinggung lukisan Popo, Zaini, Nashar, Rusli, Mustika, dan Sriwidodo, karya-karya itu lebih sebagai batu loncatan untuk membicarakan hal lain. Hal lain itu umpamanya tentang kesenian tradisional dan kesenian modern.
Kemudian, 1987, terbit buku Affandi. Penulisnya Raka Sumichan, kolektor terbesar Affandi, dan Umar Kayam. Raka menulis hubungannya dengan Affandi, sedangkan Umar Kayam menceritakan perjalanan hidup sang pelukis dan perkembangan karya-karyanya. Cara Kayam membahas perkembangan lukisan Affandi adalah dengan menggambarkan karya satu ke yang lain. Di sana-sini ia sisipkan kesannya tentang karya itu. Tulisan Kayam memikat karena reportasenya itu: bagaimana Affandi berubah dari oker dan hitam ke biru dan putih, umpamanya.
Namun, yang lebih menarik dari buku itu adalah tentang sang Sukrosono (Affandi suka mengibaratkan dirinya sebagai tokoh wayang yang buruk rupa tapi sakti mandraguna itu): apa yang terjadi sehingga lahir seorang maestro. Buku ini, lebih dari sepotong-sepotong tentang Affandi di berbagai penerbitan (koran dan majalah), memotret se-cara utuh perjalanan seseorang yang jatuh cinta pada seni lukis tanpa melepaskan tanggung jawabnya sebagai suami, bapak, dan warga masyarakat.
Buat seorang penulis cerita pendek yang enak bertuturnya, tidaklah terlalu sulit menggambarkan dalam kata-kata ”percakapan”-nya dengan karya-karya seni rupa. Bila yang kemudian ditulis Kayam bukan sekadar pembahasan karya seni rupanya itu sendiri, itu hanya membuktikan bahwa sebuah lukisan punya banyak sisi untuk diutarakan. Dan Umar Kayam menulis sisi-sisi yang beragam itu dengan—ini penting—tanpa melupakan karya seni rupanya. Apa pun yang ia tulis, bila itu berkaitan dengan seni rupa, meyakinkan kita memang ia bertemu dengan karya itu, menikmatinya, mengalami percakapan imajiner. Mungkin ia berbicara tentang sosiologi kesenian, benturan antara yang tradisional dan modern, tapi tetap saja sang karya yang menjadi acuannya membayang di setiap alineanya. Discourse itu tetap meletakkan sang karya sebagai sumber utama.
Itu sebabnya budayawan ini piawai menuliskan se-buah reportase. Dalam Semangat Indonesia: Suatu Per-jalanan Budaya (Gramedia, 1985), Kayam menggambarkan bukit matahari di Nias atau peluncuran pertama sebuah pinisi di Pantai Tana Lemo, Sulawesi Selatan, begitu nyata, ada detail di sana-sini. Membaca buku itu se-olah menyaksikan sendiri semua yang dikisahkan Umar Kayam: obyek itu, peristiwa itu, itulah yang melahirkan yang lain-lain dalam tulisan itu.
Alhasil, bagi Kayam, seni rupa, seperti halnya lenong, teater Rendra, wayang kulit, dan novel, adalah sesuatu yang tak hanya berharga karena keseniannya itu sendiri. Potret Affandi itu tidak memper, tapi relevan, katanya. Di samping pengamatannya kena, ia menemukan hubungan antara yang di dalam dan di luar kanvas. Dan, dengan pas, kanvas itu tetap menjadi bagian yang niscaya dari keseluruhan wacana.
Bambang Bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo