Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HIDUP mesti dihadapi dengan common sense. Dan teater adalah refleksi kehidupan dengan akal sehat itu dalam berbagai kewajaran dan sikap yang rileks. Rileksasi itulah suasana hidup Umar Kayam.
Dramawan Rendra mengakui bahwa Umar Kayamlah yang telah melahirkannya menjadi dramawan serius. Itu terjadi pada persiapan pementasan Hanya Satu Kali karya John Galsworthy dan Robbert Middleman saduran Sitor Situmorang di Gedung Agung Yogya, untuk menyambut Dies Natalis UGM, pada pertengahan 1950-an.
Umar Kayam pernah mengatakan bahwa ia hanya menunjukkan bagaimana bermain wajar di panggung. Tetapi justru kewajaran permainan inilah yang kemudian menjadi arah penyutradaraan Rendra dalam pementasannya kelak. Kewajaran itu tampaknya bersumber pada salah satu pandangan hidup Kayam: prasaja, yaitu apa adanya. Dan ke-prasaja-an itu sering kita dengar diucapkan oleh Rendra.
Sebenarnya, salah satu pokok ajaran akting gaya Stanislavsky adalah kewajaran itu. Umar Kayam mengatakan bahwa akting di panggung tidak boleh methentheng dan ngoyo, tetapi rileks saja. Persoalan mendesak yang harus diatasi aktor pemula adalah menempatkan tangannya ketika berdiri, duduk, dan berjalan. Arifin C. Noer kemudian merumuskannya dengan istilah “problem tangan”.
Dari sini tampak bahwa betapapun sederhana, ada pengaruh Kayam yang penting dalam perkembangan teater Indonesia, khususnya tatkala realisme sedang mendominasi jagat teater sejak awal kemerdekaan hingga pertengahan 1970-an. Sebagai mahasiswa Fakultas Sastra, Filsafat dan Pedagogik UGM pada 1950-an, Kayam menyutradarai sejumlah pementasan yang menjadi acuan mahasiswa pada 1960-an. Sejumlah tokoh seperti Irawati Singarimbun, Soekarno Hadian, Umar Suwito, dan Purbatin Hadi pernah disutradarainya. Pementasannya di Sala, pada 1950-an, membuka mata pecinta teater di kota itu bahwa justru pentas yang rileks dan wajar akan menghasilkan produk yang mengesankan.
Bagi Umar Kayam, lakon-lakon realisme harus dikuasai oleh para aktor pemula se-belum menjelajahi ke wilayah lebih eksperimental, sebab dalam realisme aktor dihadapkan kepada pemahaman anatomis yang rinci tentang permainan dan jagat teater. Eksperimen baru akan menemukan maknanya setelah seluruh seluk-beluk jagat teater dipahami. Kalau tidak, yang muncul adalah pementasan aneh-aneh, semrawut, carut-marut, dan semuanya itu sebenarnya manifestasi waton sulaya, asal aneh.
Dalam proses membimbing disertasi saya, di rumahnya di Jakarta, Kayam mengatakan bahwa kesenian dari Barat yang terbaik adalah yang datang dari Abad XIX, juga di Indonesia, misalnya gamelan dan wayang kulit. Tetapi ia bisa menerima lakon-lakon avant garde seperti En at-tendant Godot, sebab lakon itu adalah potret manusia yang mencoba bertahan hidup dalam tekanan yang berat dan kondisi yang tidak terpahami. Ia menyukai lakon itu karena tema besar yang dikandungnya.
Ia menyukai karya yang unik, khas, serius, dan rileks. Karena itu, ia sangat menyukai produksi Teater Gandrik, yang gila-gilaan tetapi kena dan enak.
Di Yogyakarta, peranan Umar Kayam bagi jagat teater masa kini sangat terasa. Pada awal 1980-an, ia menyelenggarakan seminar tentang teater masa kini di Taman Budaya. Ia melihat bahwa teater di Yogyakarta harus digerakkan antara lain melalui apa yang ia sebut dengan istilah “galatama”, yang berarti pementasan yang didukung pemain-pemain dari berbagai grup. Dengan demikian, pementasan itu menampilkan aktor-aktris terpilih dari kelompok-kelompok itu. Gagasan itu bergema cukup lama tetapi tidak sempat direalisasi. Kegagalannya membuktikan kebenaran dugaannya bahwa ada semangat kelompok yang terlalu kuat sehingga sulit keluar dari ikatan.
Dengan “galatama”, sebenarnya Umar Kayam ingin menawarkan semangat baru, yakni orientasi pada produksi dan kualitas. Di samping itu, cara ini dalam rangka mengatasi gejala muncul dan hilangnya kelompok teater sepanjang sejarah teater kontemporer di Indonesia. Kelompok teater boleh lenyap tetapi semangat berteater tetap terjaga. Akan tetapi, di balik itu semua, tersembunyi semangat khas Umar Kayam: mengusahakan suatu sintesis dari berbagai kemungkinan dan potensi.
Tatkala Akademi Seni Drama dan Film pimpinan Sri Murtono mengalami gonjang-ganjing, Umar Kayam segera mengambil inisiatif menyelenggarakan pertemuan di kantornya. Ia sedih karena pemerintah campur tangan terlalu jauh dengan penyeragaman dan kurikulum nasional. Tetapi, bagaimana me-lawannya?
Umar Kayam telah tiada. Yang ditinggalkan adalah semacam tugas bagi teater Indonesia untuk terus hadir memberikan pandangan alternatif: common sense, dalam hidup yang tak menentu seperti sekarang.
Bakdi Soemanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo