Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dia tiduran telentang, kakinya yang baru di operasi masih terlalu nyeri untuk digerakkan. Saya dan seorang kawan dari Yogya berdiri di kedua samping tempat tidurnya. Dengan suara pelan, kami berbicara tentang hal yang enteng-enteng. Tiba-tiba, seakan-akan teringat sesuatu, ia berkata dengan suara yang lemah.
”Saya tidak bisa membayangkan saya akan menulis memoar. Mungkin saya menulis antimemoar gaya Malraux. Tetapi, ah, masa, meniru-niru Malraux.” Ia tersenyum. Ia mungkin merasa lucu dengan penolakannya terhadap gaya André Malraux, pengarang Prancis yang terkenal itu. Dalam kekaguman ia rupanya masih ingin menjaga otentisitas dirinya.
”Ya, memang menulis memoar bisa membosankan,” kata saya. ”Tetapi mengapa tidak reminiscences? Kan bisa lebih asyik. Dan lagi tak perlu segala diatur.”
Ia terdiam dan tersenyum. Mungkin ia sedang merasakan sesuatu yang tidak saya rasakan. Tetapi, siapa tahu, mungkin pula ia setuju dengan usul saya itu. Bisa jadi, ia juga mempunyai pengertian yang sama dengan saya tentang corak tulisan yang saya sebut ”kenang-kenangan” itu. Bagi saya, ”kenang-kenangan” adalah sebuah kesaksian yang tidak menuntut pengisahan yang runtut dan teratur, seperti otobiografi, atau merupakan pertanggungjawaban terhadap kehidupan publik yang telah dilalui, seperti biasanya yang diharapkan dari memoar. ”Kenang-kenangan” tidak menuntut apa-apa, selain daripada kejujuran tentang ingatan pribadi yang dikisahkan. ”Kenang-kenangan” hanyalah kisah kehidupan yang teringat dan yang ingin diceritakan. Di atas segala-galanya, menurut pemahaman saya, ”kenang-kenangan” bukan saja mengaburkan batas-batas wajah pu-blik sang pengisah dengan wajahnya yang tersembunyi, tetapi juga menjadikan kedua ”wajah” itu berada dalam dialog yang tanpa henti. Sekali-sekali ”wajah yang tersembunyi” itu tampil ke depan dan dengan gagah menjadikan ”kenangan” sebagai berita pikiran dan perasaan yang otentik. ”Antimemoar” memang, te-tapi tanpa pretensi kedalaman pemikiran.
Sekarang saya teringat kembali pembicaraan kami sekian tahun yang lalu, ke-tika ia sedang sibuk menulis disertasinya dan saya baru saja masuk kuliah di universitas yang sama. ”Nanti,” katanya, ”saya akan menulis kolom-kolom pendek. Bukan tentang hal-hal besar, tetapi yang kecil-kecil, yang terlepas dari perhatian orang. Enteng-enteng, tetapi langsung menyentuh kehidupan.” Sekian tahun setelah ia kembali ke Tanah Air, ia tidak mengerjakannya. Barulah kemudian, ketika ia telah bermukim di Yogya, ”janjinya” itu dipenuhinya. Kini tokoh-tokoh imajiner yang diperkenalkannya di kolom-kolom enteng itu seakan-akan telah riil di hati para pembaca Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta.
Jadi, kalau Umar Kayam setuju dengan usul saya, mungkin karena saya sebenarnya mengatakan apa yang memang telah dikhayal-khayalkannya. Tetapi sayang ia tidak jadi menulis ”antimemoar” yang disebut ”kenang-kenangan” itu. Empat hari kemudian ia harus pergi menghadap Sang Penciptanya. Dan obrolan singkat dan santai itu pun semakin hidup dalam kenangan saya. Jika saja Kayam adalah sebuah genre dari penulisan tentang diri sendiri, ia adalah reminiscenses, yang lepas tanpa ikatan yang membelenggu imajinasi.
Umar Kayam tak berniat menulis ”otobiografi” yang menuntut serba keteraturan dan ketepatan informasi—lahir di mana dan bila, sekolah apa dan di mana, dan seterusnya dan sebagainya. Ia bukan tak mempelajari serba keteraturan ini. Ia mendapatkan Ph.D. dari sebuah universitas Amerika yang terkemuka. Tetapi baginya kesemuanya hanyalah aturan dan konvensi akademis yang harus diketahui, bukan patokan baku yang bisa dibiarkan membelenggu. Jika tradisi penulisan keilmuan yang dipakai, Kayam bukan ilmuwan yang sibuk menulis artikel, tetapi intelektual yang lebih menyukai menulis esai, yang kreatif, bebas, lepas, tanpa mengingkari keharusan ketepatan informasi dan kejernihan alur pikiran. Seandainya wacana intelektual atau ilmiah bisa diumpamakan dengan lukisan, ia bukanlah seorang pelukis naturalis yang ingin ”menyalin alam”. Ia lebih suka melukis rangsangan intelektual dan emosional yang dipantulkan alam yang dijadikannya sebagai obyek lukisan. Maka saya pun tak merasa heran ketika ia merasa perlu menerangkan bahwa ia menulis novel, karena ia tidak puas dengan serba keteraturan karya ilmiah—keteraturan yang dirasakannya tak sanggup menangkap ”the inner reality” dari kehidupan yang sesungguhnya. Maka, biarlah orang mengejek bahwa novelnya itu adalah sosiologi yang dikisahkan atau kenyataan sosial yang diwujudkan sebagai karya rekaan. Cerita-cerita pendeknya adalah pula sesungguhnya ”lukisan” dari rangsangan intelektual dan emosionalnya terhadap realitas sosial dan kultural sekitarnya—entah Amerika, ketika ia sedang belajar, entah Indonesia, ketika ia harus menghadapi konflik sosial yang mengenaskan.
Dengan sikap akademis ataukah intelektual?—seperti ini pulalah Umar Kayam memahami kebudayaan. Kebudayaan baginya adalah ”sesuatu” yang menjadikan masyarakat sebagai eksistensi yang obyektif rill. ”Sesuatu” itu bukan saja membentuk corak dan struktur masyarakat, tetapi juga memberi landasan bagi pembentukan sistem rasionalitas dan kewajaran etis masyarakatnya. Dengan begini kebudayaan adalah penentu utama dari sistem dan pola perilaku. Bukankah secara teoretis bisa juga diperkirakan bahwa sistem perilaku ditentukan oleh pertimbangan yang secara rasional dinilai masuk akal dan secara emosional menyenangkan? Dan keduanya dibentuk oleh kesadaran kultural. Seandainya kedua atau salah satu syarat tidak didapatkan, kita pun menemukan situasi fait accompli. Maka terjadilah apa yang harus terjadi.
Karena selalu berada dalam suasana dialog, bahkan kadang-kadang konfrontasi, yang tanpa henti—dengan masa lalunya atau dengan keasingan yang datang luar—bolehlah dikatakan bahwa kebudayaan itu adalah ”sesuatu” yang selalu berada dalam proses self-recreation—jika saja kata yang tidak dipakai Kayam ini boleh digunakan. Dengan memakaikan ungkapan kegemaran Kayam, kebudayan itu adalah ” sosok” yang selalu terlibat dalam ”proses tawar-menawar”, baik dengan unsur internalnya, dan apalagi dengan tantangan yang datang luar. Dengan titik tolak pemikiran seperti ini, mestikah kita heran jika Umar Kayam sangat menyadari apa artinya—bahkan apa akibatnya—bila proses ”tawar-menawar” itu terjadi secara tidak seimbang? Masalahnya pun semakin dilematis dirasakannya, karena ia bukanlah seorang yang tidak berpihak. Ia berpihak kepada kekuatan kultural yang lebih menjanjikan untuk membawa pencerahan dan perluasan cakrawala masyarakat. Tetapi bagaimanakah kalau yang serba menjanjikan ini adalah pula kekuatan yang mengancam otentisitas, bahkan identitas? Rasa prihatinnya pun semakin menjadi karena dalam proses tawar-menawar yang tak seimbang ini, ia melihat betapa kekikukan kultural telah menjadi gaya hidup, bahkan impian, dari masyarakat yang telah mulai mengalami proses pelemahan.
Ia berpihak kepada kebangsaan, karena ”kebangsaan baru memecah batas-batas lama dan menguak cakrawala baru”. Tetapi ketika kebangsaan telah berhasil menciptakan negara-bangsa, kebangsaan pun menampilkan diri sebagai kompetisi yang tak seimbang dari kebudayaan lokal. Maka ia pun ingin meradang juga—mengapa keunikan dan otentisitas harus di-ancam sedemikian kejam? Ia juga tidak menolak modern-itas, yang dikatakannya se-bagai ”saudara kembar dari negara-kebangsaan”. Tetapi efisiensi yang diperkenalkan modernitas ”tidak hanya mengubah irama dan memendekkan kesenian tradisional, tetapi sesungguhnya merombak hal-hal yang paling mendasar dari kesenian”.
Tetapi Kayam tidak putus asa dalam menghadapi situasi yang dilematis ini. Ia masih berharap. Mudah-mudahan negara-bangsa, seperti Indonesia, mempunyai kebijakan ”yang mendorong berbagai lingkungan budaya untuk menemukan sendiri dinamika kreativitas mereka masing-masing”. Tetapi bisakah hal ini terwujud? ”Lebih mudah diucapkan secara teori daripada dilaksanakan dalam praktek,” katanya. Umar Kayam berbicara dalam konteks Orde Baru, sebuah pemerintahan yang pernah beberapa kali saya sebut sebagai penguasa dari sebuah ”negara serakah”, yang ingin menguasai bukan saja politik dan ekonomi, tetapi juga kesadaran bangsa dan ingatan kolektif. Maka saya pun menjadi maklum mengapa ia hanya sempat dua-tiga tiga tahun ”terpakai”, kemudian tersingkir sebagai elite politik—ia ter-lalu ”pemurah” sebagai anggota kelas penguasa dari ”negara serakah”. Tetapi sayup-sayup ia masih percaya akan adanya ”semangat yang paling dasar dari kepulauan kita”, yaitu ”semangat yang masih menunggu tubuhnya untuk mengubah sendiri menjadi suatu modernitas yang kreatif”.
Sayang, ketika ”negara serakah” itu telah tumbang dan di saat kemungkinan ”semangat yang paling dasar” itu seakan-akan mendapat kesempatan untuk mengadakan perubahan yang kreatif di ”kepulauan kita”, dengan begitu saja negeri ini tergelincir kepada kesempitan cakrawala yang memualkan dan menyebalkan. Dan, di saat ini pula Umar Kayam diharuskan untuk mengurangi berbagai aktivitasnya. Kemampuan fisiknya telah semakin terbatas dan suaranya telah pula semakin terputus-putus. Ketika waktunya telah sampai, keinginan yang datang selintas dalam angannya pun harus tertinggal tanpa sempat tersentuh. Ia tak jadi menulis ”kenang-kenangan” yang bebas, lepas, tanpa tekanan dari hegemoni apa pun.
Selamat jalan, Mas Kayam.
Taufik Abdullah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo