Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Nasib Palestina di Meja Bibi

Benyamin Netanyahu berusaha menggalang dukungan untuk mempertahankan kursi Perdana Menteri Israel. Nasib Palestina bergantung pada pemerintahan baru Israel.

10 April 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu (masker hitam) berbicara dengan anggota partainya selama upacara pelantikan, di Knesset, Parlemen Israel, di Yerusalem 6 April 2021. Alex Kolomoisky / Pool via REUTERS

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Hasil pemilihan umum Israel menunjukkan tak ada partai yang menguasai parlemen.

  • Benjamin Netanyahu berusaha melobi lawan politiknya untuk bisa membentuk pemerintahan baru.

  • Rencana pemilihan umum Palestina bergantung pada politik Israel.

Lebih dari satu dekade Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan Ketua Partai Yamina Naftali Bennett berseteru. Hubungan mereka tegang setelah muncul laporan yang menyebut Netanyahu diduga memanfaatkan koneksinya dengan seorang konglomerat media untuk memuat berita negatif tentang istri Bennett, Gilat, pada 2018. Istri Netanyahu, Sara, bahkan melarang Bennett datang ke rumah mereka.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tapi, pada Kamis, 8 April lalu, Netanyahu mengundang Bennett datang ke rumahnya di Jalan Balfour, Yerusalem. Pertemuan ini penting bagi Netanyahu karena koalisi partai sayap kanan yang dipimpin Likud, partainya, gagal mengusai mayoritas kursi Knesset, parlemen negeri itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bennett memenuhi undangan Bibi, sapaan bagi Netanyahu, untuk membahas pembentukan pemerintahan Israel. "Saya berjanji melakukan apa pun untuk menyelamatkan Israel dari kekacauan ini dan membangun pemerintahan," ucapnya. "Ini adalah tanggung jawab nasional."

Hasil pemilihan umum parlemen Israel pada 23 Maret lalu menunjukkan bahwa tak satu pun partai atau koalisi partai yang menang mutlak. Koalisi partai pendukung Netanyahu baru mendapatkan 52 dari 120 kursi, sedangkan kelompok oposisi menguasai 57 kursi. Likud masih memimpin dengan mengumpulkan 24 persen suara dan meraih 30 kursi parlemen. Posisi kedua dipegang partai Yesh Atid pimpinan Yair Lapid dengan 17 kursi. Adapun sebelas partai lain masing-masing mendapat kurang dari 10 kursi.

Agar dapat tetap menjadi perdana menteri, Netanyahu perlu menarik partai lain. Bila Yamina, yang memegang tujuh kursi, bergabung ke dalam koalisinya, jalan Netanyahu untuk kembali berkuasa akan mulus. Bennett dikabarkan akan mendapat kursi wakil perdana menteri bila partainya bergabung ke koalisi pimpinan Likud.

Netanyahu memiliki waktu kurang dari 25 hari untuk mendapatkan dukungan tambahan. Bila gagal, pemilihan umum kelima dalam dua tahun terakhir harus digelar. Inilah kebuntuan politik di negeri itu. Presiden Institut Demokrasi Israel Yohanan Plesner menilai Israel kini mengalami krisis politik terburuk. "Ini bukan hanya hasil dari kelemahan sistem pemilihan umum kami, tapi juga faktor Netanyahu," ujar Plesner, seperti dilaporkan Associated Press.

Para penentang Benjamin Netanyahu menilai politikus 71 tahun itu telah gagal memimpin negeri tersebut selama 12 tahun berturut-turut. Dia juga bergelimang dugaan kasus korupsi. Setidaknya, Netanyahu kini menghadapi tiga kasus korupsi di pengadilan. Dia membantah semua dakwaan dan menuduh kasus-kasus ini cuma rekayasa untuk menggulingkan dia.

Salah satu penentang yang menonjol adalah Ra'am, koalisi partai Arab pimpinan Mansour Abbas. Koalisi partai-partai Arab berhasil meraih 15 kursi parlemen dalam pemilihan umum sebelumnya, tapi kemudian koalisi ini pecah. Koalisi pimpinan Abbas kini hanya meraih empat kursi, tapi Abbas tetap berencana maju sebagai calon perdana menteri.

Bennett sebelumnya mendukung Abbas, tapi kemudian berbalik menentangnya dengan alasan untuk mencegah kebuntuan politik. Joint List, koalisi partai Arab lain pimpinan Ayman Odeh yang meraih enam kursi, menyatakan tak akan mendukung pemerintah yang dipimpin oleh Bennett. Odeh mengatakan dia "tidak akan menggantikan yang rasis dengan yang rasis", tapi tak menyebut soal Abbas.

Namun partai-partai pendukung Netanyahu juga menunggu janji politik Bibi. Menurut proposal yang diajukan Netanyahu, masa jabatannya akan ditetapkan untuk jangka waktu yang telah ditentukan dan semua partai di bloknya setuju untuk tidak bergabung dalam pemerintahan yang dipimpinnya.

Janji seperti ini pernah dipakai Netanyahu ketika berkoalisi dengan partai pimpinan Benny Gantz. Janji itu tak terpenuhi karena koalisi kemudian kolaps. Partai Biru dan Putih pimpinan Gantz kini memegang delapan kursi di parlemen, tapi belum menentukan sikap akan memihak siapa. Kasus inilah yang juga membuat anggota Knesset ragu untuk bergabung mendukung Netanyahu.

Perempuan Palestina mendaftarkan nama untuk pemilihan parlemen dan presiden, di Kota Gaza 10 Februari 2021. REUTERS / Mohammed Salem

Siapa pun yang nanti berkuasa akan turut menentukan pula pemilihan umum Palestina, yang rencananya digelar pada 22 Mei nanti. Ini adalah perhelatan pertama sejak kisruh politik yang berujung konflik bersenjata antara kelompok Hamas dan Fatah pada 2007. Hamas mengontrol sebagian wilayah Jalur Gaza, sedangkan Fatah memiliki otoritas terbatas di Tepi Barat yang sebagian diduduki Israel.

Mkhaimar Abusada, profesor ilmu politik dari Al-Azhar University di Gaza, menyebut anak-anak muda Palestina menginginkan perubahan dalam hidupnya. "Warga Israel sudah jengkel dan lelah menjalani empat pemilihan umum dalam dua tahun, tapi kami tak memilikinya selama 15 tahun," katanya, seperti dikutip The New York Times.

Situasi sempat memanas setelah otoritas intelijen Israel, Shin Bet, meminta Abbas membatalkan pemilihan umum jika Hamas ikut serta. Fatah, yang merupakan kendaraan politik Abbas, ditengarai tengah mencari upaya damai dengan Hamas untuk bisa membentuk pemerintahan koalisi. Kepala Shin Bet Nadav Argaman disebut-sebut menyampaikan permintaan itu dalam pertemuan rahasia dengan Abbas di Ramallah pada pertengahan Maret lalu.

Abbas menolak. "Saya tidak bekerja untuk Anda, saya yang akan memutuskan soal pemilihan umum dan dengan siapa itu dilakukan. Anda yang menciptakan Hamas, bukan saya," tutur Abbas kepada Argaman dalam pertemuan itu, seperti dilaporkan The Times of Israel.

Lebih dari 93 persen warga Palestina sudah mendaftar ikut pemungutan suara. Mereka disebut-sebut menginginkan perubahan pemerintahan yang selama ini dikuasai para politikus senior yang tidak membawa perubahan penting dalam kehidupan warga Palestina. Presiden Mahmoud Abbas, yang kini berusia 85 tahun, memegang jabatan itu sejak 2005 dan diperkirakan bakal maju lagi di pemilihan umum nanti.

Kini para penantang Abbas mulai bermunculan. Nama Salam Fayyad, bekas perdana menteri Otoritas Palestina, dan mantan kepala keamanan Fatah yang hidup dalam pengasingan di Uni Emirat Arab, Muhammad Dahlan, muncul sebagai penantang Abbas. Nama bekas Duta Besar Palestina untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa sekaligus keponakan Yasser Arafat, Nasser al-Kidwa, ikut mencuat. "Untuk menghadapi tantangan saat ini, kita butuh pemerintah yang bersatu, bukan sekadar pemerintahan berdasarkan suara mayoritas," ucap Kidwa, seperti dilaporkan Arab News.

Namun Palestina butuh persetujuan Israel untuk dapat menggelar pemilihan umum. Hingga kini, pemerintah Israel belum menanggapi permintaan Palestina untuk menggelar pemilihan. Kebuntuan politik di Israel akan mempersulit Palestina mewujudkan rencananya. Menteri Luar Negeri Palestina Riyad al-Maliki telah mengirim surat resmi ke Amerika Serikat, Uni Eropa, Rusia, dan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk meminta mereka menekan Israel agar tidak menghalangi pemilihan umum Palestina, tapi Israel belum memberikan respons.

Bila Netanyahu kembali berkuasa, dia akan mengajukan syarat agar pemilihan digelar tanpa melibatkan Hamas. Tentu ini akan bermasalah dan akan membuat rencana rujuk Hamas dengan Fatah berantakan dan Palestina akan kembali jatuh dalam konflik. Sebaliknya, bila koalisi partai Arab masuk ke pemerintahan, tekanan terhadap Israel untuk mendukung pemilihan umum Palestina akan lebih besar, meskipun tak menjamin pemilihan digelar.

Berdasarkan pengalaman pemilihan umum Palestina sebelumnya, Direktur Jerusalem Center for Social and Economic Rights Ziad Al-Hammouri menilai bahwa pemilihan mungkin digelar dengan tekanan internasional. "Saya pikir pada akhirnya Israel akan menerima pemilihan, tapi akan kembali memberlakukan pembatasan pada kampanye, mengganggu peserta pemilihan, dan menghukum pemenangnya," ujarnya kepada Anadolu Agency. Bila posisi Israel saat ini berlanjut, proses pemilihan terutama bergantung pada "keputusan gerakan Fatah dan Hamas".

GABRIEL WAHYU TITIYOGA (REUTERS, HAARETZ, THE NEW YORK TIMES, MIDDLE EAST EYE, AL-MONITOR, ANADOLU AGENCY)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Gabriel Wahyu Titiyoga

Gabriel Wahyu Titiyoga

Alumni Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jakarta ini bergabung dengan Tempo sejak 2007. Menyelesaikan program magister di Universitas Federal Ural, Rusia, pada 2013. Penerima Anugerah Jurnalistik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan 2014. Mengikuti Moscow Young Leaders' Forum 2015 dan DAAD Germany: Sea and Ocean Press Tour Program 2017.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus