Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SENAPATI Kerajaan Wirata itu bernama Kicaka. Dia terpikat pada Dewi Drupadi, yang kala itu menyamar sebagai dayang istana dengan nama Malini. Dan, tanpa hirau pada statusnya yang lebih tinggi, dia tak bisa mengendalikan hasratnya….
Karena asmara sang Panglima membahayakan keberadaan keluarga Pandawa di Kerajaan Wirata, yang sedang menghabiskan tahun terakhir masa pembuangan, Bima ditugasi ”membereskan”-nya. Pada suatu malam, di taman istana, putra Pandu yang bersosok tinggi besar ini melakukannya. Tuntas.
Tak ada yang bisa menyingkap rahasia pembunuhan itu. Tapi yang lekas terjadi sesudahnya adalah Kerajaan Hastina, yang dikuasai keluarga Kurawa, merasa punya kesempatan besar untuk melumat Wirata. Kedua kerajaan memang punya sengketa perbatasan. Selama ini Kicakalah yang menjadi halangan. Dengan tewasnya Kicaka, penasihat Kurawa, Resi Durna, mengibaratkan, ”Wirata sekarang tidak mempunyai taring lagi.” Katanya kepada Duryudana, ”Eyang setuju kalau soal perbatasan itu kita menangkan dengan cara peperangan.”
Hastina lalu menyerbu, dengan semangat seolah-olah lawan sudah pasti tak bakal kuasa membela diri. Peperangan pun pecah.
Di atas kertas, dengan gambar-gambar informatif yang memadukan garis-garis tegas serta arsiran blok-blok hitam dan bagian-bagian putih yang terasa kontras, tapi dengan komposisi yang sedap di mata, Teguh Santosa menceritakan peperangan itu hanya dalam dua halaman: terasa benar benturan pasukan kedua pihak, kepulan debu, sabetan pedang, lontaran tombak, juga saat Arjuna memblok panah Adipati Karna, jagoan pihak Kurawa, walau seluruhnya hanya terdiri atas sepuluh panel.
Singkat, memang—sangat berbeda dibandingkan dengan, misalnya, adegan pertempuran pada kebanyakan manga yang bisa berhalaman-halaman. Bukan semata karena peperangannya yang berlangsung sebentar, melainkan begitulah sesungguhnya Teguh mempresentasikan Mahabharata versinya.
Benar, Mahabharata. Inilah kisah besar, sebuah epik, yang dalam lanskap komik selama ini lebih banyak dikenal melalui R.A. Kosasih. ”Kalau wayang,” kata Surjorimba Suroto, penggemar komik yang aktif di Komunitas Komik Indonesia, ”memang enggak ada yang lain yang segera diingat orang (kecuali Kosasih).” Komikus kelahiran Bogor yang kini berusia 90 tahun itu mulai menerbitkan karyanya, sebuah adaptasi kisah klasik bermuatan mitologi India yang kerap diatribusikan kepada (Begawan) Wyasa itu, pada 1953. Dari karyanyalah banyak orang mengenal bukan saja Mahabharata, melainkan juga wayang.
Teguh, komikus yang sebelumnya dikenal antara lain lewat trilogi Sandhora (Sandhora, Mat Romeo, dan Mencari Mayat Mat Pelor), mencoba menuturkan kembali kisah itu dengan gaya penceritaan dan tafsir visualnya yang khas. Pedomannya, ”Mahabharata versi Nyoman S. Pendit,” kata Dhani Valiandra, putra kedua Teguh. Dalam komiknya, di halaman pembuka setiap judul, Teguh menyebut pula Sejarah Wayang Purwo karangan Hardjowirogo dan Mahabharata versi R.A. Kosasih.
Berbeda dengan Kosasih, yang meletakkan komik wayangnya dalam ”properti” Sunda, Teguh memilih Jawa. Hal lain yang dilakukannya adalah menyisipkan versi Jawa jika versi itu berbeda dengan aslinya (misalnya tentang Srikandi, yang dalam versi Jawa digambarkan sebagai seorang perempuan).
Melalui majalah anak-anak mingguan Ananda, yang terbit pada 1980-an, Teguh mengerahkan kemampuannya untuk bertutur melalui rangkaian gambar secara ringkas dan dengan bahasa yang ringan—target pembacanya memang anak-anak, tapi sebenarnya hasilnya tak benar-benar persis untuk anak-anak (kecuali ada kata-kata ”adik-adik” dan ”oom” di narasi pengantar atau penutup). Sepanjang delapan halaman sebagai bonus majalah setiap kali terbit, Teguh membagi-bagi kisah yang menurut dia ”berkembang… menjadi lebih-kurang 90 ribu bait (seloka)” sejak 200 tahun sebelum Masehi hingga 200 tahun sesudah Masehi itu ke dalam judul-judul terpisah. Semacam episode-lah.
Dan setiap judul, semuanya berjumlah 59, bercerita tentang peristiwa atau tokoh yang menentukan atau punya peran dalam perkembangan riwayat keluarga Bharata di kemudian hari. Seperti bongkah-bongkah bata. Teguh menyusunnya, selapis demi selapis, menjadi dinding demi dinding, dan lalu berdiri tegaklah bangunan inti dari kisah Mahabharata, yang terdiri atas Kisah Mahabharata dan Kisah Bharatayudha.
Mengadaptasi Mahabharata ke dalam cerita bergambar sesungguhnya merupakan keinginan ”spiritual” Teguh sebagai komikus. Katanya kepada Dhani, suatu kali, ”Nang, lek jenenge kiai iku lek diakui yen wis lunga kaji. Aku lek wis nggarap wayang Mahabharata iku wis sah banget (Nak, kiai itu diakui kalau sudah berhaji. Aku kalau sudah menggarap wayang Mahabharata, itu sudah sah sekali).” Maksudnya: Mahabharata adalah puncak karya bagi komikus. ”Istilahnya, ijab Bapak dengan dunia komik itu sudah sah kalau sudah bisa membuat komik wayang Mahabharata-Bharatayudha,” kata Dhani.
Dan tawaran majalah Ananda memungkinkan keinginan itu terwujud. (Sebenarnya Teguh juga sempat merealisasi niatnya ketika kesempatan datang dari penerbit Misurind pada 1986. Tapi tak selesai, hanya sembilan jilid. ”Karena biaya produksi waktu itu mahal sekali,” kata Dhani.) Untuk mereka yang tak pernah membaca majalahnya, barangkali karena kala itu juga sudah terlalu berumur untuk disebut anak-anak, kini komik itu bisa dinikmati dalam format buku, yang diterbitkan pada Juni lalu.
Ketika menggarap Mahabharata pada 1984, Teguh sudah mencapai puncak kemampuan teknisnya. Sebagai komikus, dia bagaikan pendekar jagoan dalam karya-karya silatnya, terutama cerita-cerita yang meleburkan dunia nyata dan alam siluman, yang lahir setelah dia merampungkan trilogi Sandhora dan komik lain berlatar sejarah: ilmunya komplet dan dia bisa berlaga dengan jurus yang mana pun.
”Buat saya, Teguh mencapai puncak kemampuan teknisnya pada komik-komik mistik dan futuristik itu, misalnya Cokromanggilingan,” kata Seno Gumira Ajidarma, wartawan yang memperoleh gelar doktor dengan disertasi tentang komik. ”Tapi, secara keseluruhan, tidak ada karya Teguh yang buruk.”
Dari kesan sekilas saja untuk Mahabharata, sejak judul pertama (”Lahirnya Bisma”), Teguh menyajikan gambar-gambar dengan goresan dan penataan nan rapi; secara artistik menunjukkan kelasnya sebagai komikus yang dianggap sebagai salah satu maestro. Dalam ”Supata Dewi Amba”, misalnya, lihatlah fragmen ketika Bisma mesti bertarung menghadapi lawan-lawannya dalam sayembara memperebutkan tiga putri Prabu Kasindra. Hanya dalam setengah halaman, dengan empat panel yang longgar, Teguh menunjukkan kedigdayaan Bisma: dia melumpuhkan dua putra Prabu Kasindra hanya dengan beberapa jurus serta mengobrak-abrik keroyokan para peserta yang telah kalah sebelumnya tapi iri pada keberuntungan Bisma.
Hanya ada sedikit panel: karena ruang yang tersedia terbatas—delapan halaman saja. ”Walau sebenarnya (jumlah) itu cukup,” kata Seno.
Kendala halaman, atau dengan kata lain ruang, tentu membatasi kemungkinan komikus yang mana pun untuk bermain-main dengan ritme. Tapi Teguh seperti mudah mengelakkan hambatan ini. Sekuens gambar-gambarnya efektif, dengan sudut pandang seolah-olah mengikuti perpindahan kamera, dengan narasi yang justru sangat membantu menggelindingkan ”gerak” cerita (memang dengan konsekuensi teks sering menjadi panjang).
Salah satu contoh bagaimana dengan cara itu Teguh sanggup menyajikan bagian yang sulit sekalipun menjadi lebih mudah dipahami adalah pada ”Bhagavadgita”. Mereka yang sudah mengenal Mahabharata tentu tahu bahwa inilah bagian ketika Arjuna bercakap-cakap dengan Kresna menjelang perang akbar di Padang Kurusetra dimulai—sebuah percakapan tingkat tinggi, filosofis, sehubungan dengan kegundahan Arjuna. Percakapan ini dianggap sebagai panduan ringkas falsafah Hindu.
Sepanjang lima halaman, Teguh memainkan ”kameranya” dari mula-mula membidik Kresna dan Arjuna di kejauhan, di sebuah tempat tinggi dengan latar Padang Kurusetra. Dari sana lensa mendekat (zoom in), dan angle berpindah-pindah dari sisi Arjuna atau Kresna atau keduanya. Di dua halaman berikutnya Teguh seperti membawa pembaca menembus dimensi ruang dan waktu, manakala Kresna kian masuk ke pokok-pokok wejangannya, tentang asal-usul Arjuna. Gambar-gambar di sini adalah simbolisasi roh. Di halaman terakhir, Kresna menutup perkataannya dengan kalimat yang memompa motivasi: ”Bangkitlah, wahai kau Arjuna. Kalahkanlah musuh-musuhmu, karena kau hanya alat dari kekuatan Tuhan untuk melenyapkan angkara murka.”
Pengaruh film memang sangat kuat dalam karya-karya Teguh, sebagai pengunjung setia bioskop. (”Seminggu hampir empat kali,” kata Dhani.) Komik wayangnya ini tak terkecuali. Yang paling tampak di sini, tentu saja, pada adegan perang. Dan peragaan paling ”kolosal” tiada lain, ya, saat pertempuran 20 hari di Padang Kurusetra.
Ada beberapa adegan perang yang gambar-gambarnya menawan. ”Dramanya memang kurang dibanding komik Kosasih. Tapi Teguh itu paling mengasyikkan kalau bikin gambar-gambar pinup, yang bisa dilepas sendiri kalau mau dan dipajang untuk poster,” kata Surjorimba.
Di sini bisa disebut contoh pertarungan antara Karna dan Gatotkaca dalam ”Pengorbanan Bima Putra II”. Pada satu panel Teguh menggambarkan siluet Karna yang melaju dengan kereta perangnya, sementara Gatotkaca terbang memutarinya dengan kecepatan tinggi. Debu tebal beterbangan. Panel-panel lain memperlihatkan bagaimana Gatotkaca begitu mudah mematahkan serangan anak panah Karna dan bagaimana dia berusaha memancing amarah Karna agar mengeluarkan senjata andalannya, Konta. Dia berhasil. Dia pun terbang untuk menghindar, tapi senjata itu terus mengejarnya dan akhirnya menewaskannya.
Panel terakhir menggambarkan Karna yang baru sadar sesudah kejadian itu: dia kehilangan senjata andalan untuk menghadapi Arjuna. ”Ini siasat Prabu Kresna. Berbahagialah Pandawa memiliki penasihat seperti dia,” katanya dalam hati.
Memilih meluncurkan Mahabharata dan Bharatayudha, Penerbit Pluz+ semata berkeinginan, dalam kata-kata Andy Wijaya, salah seorang pendiri Pluz+ dan pemilik toko khusus komik dan cerita silat Anjaya di ITC Kuningan, Jakarta, ”menunjukkan bahwa ada alternatif komik wayang selain karya Kosasih, yang gambar-gambarnya lebih bagus”. Tapi Seno justru melihatnya lebih jauh dari itu. Menurut dia, pengumpulan dan penerbitan kembali komik wayang karya Teguh itu merupakan peristiwa kebudayaan.
”Ini bahkan bisa dilihat sebagai politik kebudayaan untuk melawan penerbit besar yang modalnya tak terbatas tapi justru yang bermental pemulung—menerbitkan komik dengan biaya semurah mungkin dan dengan kemungkinan mendapatkan untung sebesar-besarnya,” kata Seno, yang melihat selama ini terjadi pengabaian yang dia sebut kebutaan teoretis terhadap komik.
Dalam konteks itu, dia berpendapat bahwa hasil penerbitan Mahabharata apakah akan laku atau tidak di pasar bukanlah hal yang penting. Yang utama, katanya, adalah penerbitnya ”berani tampil dan bernegosiasi dengan situasi”.
Kedengarannya memang seperti perkataan Kresna kepada Arjuna tentang perlunya keberanian menghadapi persengketaan. ”Tanpa persengketaan,” katanya, ”manusia tak bergairah untuk hidup lebih maju dan menciptakan sesuatu yang lebih aneh.”
Tapi komik Teguh, bagaimanapun, memang pantas diperjuangkan dengan semangat seperti itu.
Purwanto Setiadi, Pito Agustin Rudiana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo