Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Jika Kesabaran Nelayan Terkuras

42 orang nelayan mengepung pukat harimau yang beroperasi di muara sungai Asahan. Pukat menguras hasil laut, menekan penghasilan nelayan tradisional. Pihak berwajib tidak bertindak tegas.

16 Juli 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

CERITA tentang pukat harimau alias trawl atau buldozer laut tentu tak asing lagi. Tapi rupanya para nelayan tradisionil di Asahan sudah sangat kesal dan tak mampu menahan hati lagi melihat isi laut di daerah Selat Malaka itu makin terkuras juga oleh jaring-jaring si harimau. Karena itu sebanyak 42 orang nelayan dengan menaiki 8 buah sampan bermesin hari Minggu terakhir bulan Juni lalu beramai-ramai mengepung sebuah pukat harimau yang sedang menyebar jaring di Tanjung Jumpul, 5 mil ke utara Bagan Asahan, tepat di mulut muara Sungai Asahan. Sebuah pukat harimau berukuran 5 ton dan dinakhodai Wie Kian Weng alias A Seng (35) jadi sasaran mereka. Begitu mendekat para nelayan segera menaiki si pukat dan menangkap sang nakhoda. A Seng dipukuli lalu ditikam dengan pisau pada leher dan perutnya untuk kemudian dibuang ke tengah laut. Untung kedua orang awak trawl tak diapa apakan. "Kalian hanya makan gaji saja" ucap mereka kepada 2 awak itu. Puluhan pukat harimau lainnya yang sedang beroperasi di perairan itu, sempat lolos walaupun jadi sasaran para nelayan pula. Untung ketika mereka hendak mengejar terus, sebuah kapal motor patroli Kamla (Keamanan Laut) dari Komando Sub Stasion Perairan 104 Tanjung Balai (Asahan) muncul di sana. Dengan berkali-kali melepaskan tembakan, insiden lebih lanjut dapat dicegah. Tapi ke 8 sampan motor berikut 42 orang nelayan tadi diseret ke Tanjung Balai. Hari itu juga 14 orang di antaranya ditahan oleh pihak Kamla. Besok paginya mayat nakhoda A Seng ditemukan mengapung di sekitar tempat kejadian. Tapi sementara itu pihak Kamla di Tanjung Balai juga berjagajaga. Dan memang benar, hari Senen itu sekitar 500 orang nelayan tradisionil mendatangi kantor Kamla. Mereka menuntut agar teman-teman mereka yang ditahan segera dibebaskan. Bahkan mereka berteriak-teriak: hidup nelayan, hidup nelayan. Namun tuntutan mereka tak dilayani. Gerakan serupa mereka ulangi lagi beberapa hari kemudian dengan jumlah lebih besar. Pihak Kamla tetap menolak tuntutan mereka sekaligus menghalau para penangkap ikan itu dengan tembakan-tembakan senjata berat. Menurut seorang pejabat Kamla perkara itu akan segera diserahkan kepada pihak kepolisian untuk diusut lebih lanjut. Beberapa hari sebelum kejadian itu, Amran Nasution, Pembantu TEMPO untuk daerah Kisaran dan sekitarnya telah berkunjung ke Tanjung Balai dan sekitarnya. Ia sempat melakukan berbagai wawancara dan menyaksikan kegelisahan para nelayan tradisionil akan tingkah pukat-pukat harimau di kawasan itu. Berikut ini laporannya. Janji Adam Malik Tak seorang pasti, berapa jumlah trawl yang beroperasi di kawasan perairan Asahan. Kapten (L) Wirman, Dansional Tanjung Balai, menyebut angka 500 buah. L. Hutagalung, Kepala Dinas Perikanan Kabupaten Asahan menunjuk jumlah 300. Tapi Abdul Murad Majid, Ketua HNSI (Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia) Asahan, memperkirakan jumlalmya jauh di atas 500 buah. Namun jumlah pasti agaknya tak begitu penting. Sebab angka-angka sekitar itulah yang setiap hari mengeruk seluruh makhluk bernyawa di perairan itu. Dengan pengurasan yang hampir tak mengenal batas itulah agaknya yang menyebabkan 91.000 jiwa keluarga nelayan tradisionil di daerah itu semakin nyaring menjerit. Bahkan suara mereka hampir parau, ketika menjelang Pemilu baru lalu, Adam Malik sebagai juru kampanye Golkar. muncul di tengah mereka. "Kalau Golkar menang Pemilu, pukat harimau akan dihapus" kata Adam ketika itu. Sudah pasti ucapan ini disambut dengan pekik senang oleh para nelayan, malahan suara mereka pun bertambah parau. Tapi dasar nelayan yang tak tahu barangkali sekarang Golkar sedang membidikkan peluru ke arah harimau-harimau itu - mereka jadi tambah tak sabar karena Pemilu telah beberapa bulan lewat. "Kenyataannya sekarang pukat harimau tambah menggila" ucap Ruslan Keneng, Ketua HSNI Bagan (Asahan). Lebih dari itu bulan Mei lalu serombongan nelayan mulai beraksi. Dengan membawa perahu masing-masing, mereka turun ke laut dan mengepung sebuah pukat harimau yang sedang merentang jaring. Sadar akan situasi gawat, si pukat buru-buru kabur dengan meninggalkan jaringnya. Benda inilah yang kemudian diserahkan para nelayan ke kantor polisi Bagan sebagai barang bukti. Nelayan-nelayan itu masih belum puas. Hari berikutnya beramai-ramai mereka mendatangi kantor HSNI di Bagan meminta diperkenankan turun ke laut lagi untuk menangkap pukat- pukat harimau. Tanggal 22 Mei HSNI Bagan menyampaikan permintaan itu kepada Muspida Asahan. Jawaban sudah diduga para nelayan: tak diizinkan. "Berikan laporan positif disertai bukti-bukti lengkap kepada Kamla" ucap Pangdaeral I Laksamana Pertama Mardianus Aruf beberapa hari kemudian. Hal ini dipertegas oleh Dansional Tanjung Balai. "Patroli ke laut hanya oleh Kamla" kata Kapten (L) Wirman. Dansional Tanjung Balai ini tak keberatan para nelayan melaporkan adanya pukat harimau. "Tapi harus jelas posisinya, apa kesalahannya, jangan hanya duga-duga" tambahnya. Tentu saja ucapan-ucapan itu tak difahami seluruhnya oleh para nelayan. Mereka tak mungkin menentukan posisi tepat si harimau, sebab tak ada alat untuk itu. Untuk mencatat nomor kapalnya juga sulit, sebab pukat-pukat di kawasan ini umumnya menghapus atau menutupi nomor selar masing-masing. "Nelayan bisa saja melaporkan adanya pukat harimau di tepi pantai, tapi begitu petugas Kamla datang, mereka sudah kabur. Dan salah-salah kita dituduh membuat laporan palsu" kata Ruslan Keneng. Emigran Gelap Menurut Ketua HSNI Bagan ini, sebenarnya pihak Kamla mudah saja kalau mau mendapatkan bukti apakah si pukat harimau sudah menangkap ikan di perairan terlarang (6 mil dari pantai pasang surut) atau di tengah laut. Yaitu dengan meneliti jenis-jenis ikan ketika kapal-kapal atau perahu-perahu pulang dari laut. "Jenis ikan atau binatang-binatang lainnya yang hidup di laut dalam berbeda jelas dengan yang hidup di kawasan pantai "kata Ruslan Keneng. Ia menunjuk bukti pelanggaran operasi pukat harimau -- Pemda Sumatera Utara dalam Peraturan Daerah no. 8 tahun 1973 melarang pukat harimau menangkap ikan di perairan 6 mil dari pantai pasang surut. Yaitu ke ratusan jumlah kapal motor yang berdaya muat 5 ton dengan mesin 7 PK. Kapal motor serupa ini menurut Ruslan hanya mampu beroperasi di tepi-tepi pantai saja. Pihak Kamla sendiri bukannya tak pernah menangkap pukat-pukat ganas itu. Tapi menurut Abdul Murad Majid, dari 40 buah pukat yang pernah ditangkap hanya 14 saja yang sampai di pengadilan. Itupun hanya dijatuhi hukuman denda. Padahal menurut Kepala Dinas Perikanan Asahan, pelanggaran terhadap Perda no.8 itu dapat berakibat dicabutnya izin dan penyitaan kapal. Melihat keganasan buldozer laut yang makin menciutkan rezeki para nelayan di satu pihak, sementara dari sisi lain mereka menganggap tindakan pihak berwajib tak begitu tegas, agaknya cukup menguras batas kesabaran para penangkap ikan tradisionil itu. Lebih-lebih lagi ketika awal bulan lalu Laksamana Pertama Mardianus Aruf mengungkapkan dugaan akan adanya penyelundupan emigran gelap melalui operasi pukat-pukat harimau. Peristiwa Minggu terakhir bulan Juni itulah rupanya puncak kekesalan para nelayan di sana.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus