CERITA tentang pukat harimau alias trawl atau buldozer laut
tentu tak asing lagi. Tapi rupanya para nelayan tradisionil di
Asahan sudah sangat kesal dan tak mampu menahan hati lagi
melihat isi laut di daerah Selat Malaka itu makin terkuras juga
oleh jaring-jaring si harimau. Karena itu sebanyak 42 orang
nelayan dengan menaiki 8 buah sampan bermesin hari Minggu
terakhir bulan Juni lalu beramai-ramai mengepung sebuah pukat
harimau yang sedang menyebar jaring di Tanjung Jumpul, 5 mil ke
utara Bagan Asahan, tepat di mulut muara Sungai Asahan.
Sebuah pukat harimau berukuran 5 ton dan dinakhodai Wie Kian
Weng alias A Seng (35) jadi sasaran mereka. Begitu mendekat para
nelayan segera menaiki si pukat dan menangkap sang nakhoda. A
Seng dipukuli lalu ditikam dengan pisau pada leher dan perutnya
untuk kemudian dibuang ke tengah laut. Untung kedua orang awak
trawl tak diapa apakan. "Kalian hanya makan gaji saja" ucap
mereka kepada 2 awak itu.
Puluhan pukat harimau lainnya yang sedang beroperasi di perairan
itu, sempat lolos walaupun jadi sasaran para nelayan pula.
Untung ketika mereka hendak mengejar terus, sebuah kapal motor
patroli Kamla (Keamanan Laut) dari Komando Sub Stasion Perairan
104 Tanjung Balai (Asahan) muncul di sana. Dengan berkali-kali
melepaskan tembakan, insiden lebih lanjut dapat dicegah. Tapi ke
8 sampan motor berikut 42 orang nelayan tadi diseret ke Tanjung
Balai. Hari itu juga 14 orang di antaranya ditahan oleh pihak
Kamla.
Besok paginya mayat nakhoda A Seng ditemukan mengapung di
sekitar tempat kejadian. Tapi sementara itu pihak Kamla di
Tanjung Balai juga berjagajaga. Dan memang benar, hari Senen itu
sekitar 500 orang nelayan tradisionil mendatangi kantor Kamla.
Mereka menuntut agar teman-teman mereka yang ditahan segera
dibebaskan. Bahkan mereka berteriak-teriak: hidup nelayan, hidup
nelayan. Namun tuntutan mereka tak dilayani. Gerakan serupa
mereka ulangi lagi beberapa hari kemudian dengan jumlah lebih
besar. Pihak Kamla tetap menolak tuntutan mereka sekaligus
menghalau para penangkap ikan itu dengan tembakan-tembakan
senjata berat. Menurut seorang pejabat Kamla perkara itu akan
segera diserahkan kepada pihak kepolisian untuk diusut lebih
lanjut.
Beberapa hari sebelum kejadian itu, Amran Nasution, Pembantu
TEMPO untuk daerah Kisaran dan sekitarnya telah berkunjung ke
Tanjung Balai dan sekitarnya. Ia sempat melakukan berbagai
wawancara dan menyaksikan kegelisahan para nelayan tradisionil
akan tingkah pukat-pukat harimau di kawasan itu. Berikut ini
laporannya.
Janji Adam Malik
Tak seorang pasti, berapa jumlah trawl yang beroperasi di
kawasan perairan Asahan. Kapten (L) Wirman, Dansional Tanjung
Balai, menyebut angka 500 buah. L. Hutagalung, Kepala Dinas
Perikanan Kabupaten Asahan menunjuk jumlah 300. Tapi Abdul Murad
Majid, Ketua HNSI (Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia) Asahan,
memperkirakan jumlalmya jauh di atas 500 buah. Namun jumlah
pasti agaknya tak begitu penting. Sebab angka-angka sekitar
itulah yang setiap hari mengeruk seluruh makhluk bernyawa di
perairan itu.
Dengan pengurasan yang hampir tak mengenal batas itulah agaknya
yang menyebabkan 91.000 jiwa keluarga nelayan tradisionil di
daerah itu semakin nyaring menjerit. Bahkan suara mereka hampir
parau, ketika menjelang Pemilu baru lalu, Adam Malik sebagai
juru kampanye Golkar. muncul di tengah mereka. "Kalau Golkar
menang Pemilu, pukat harimau akan dihapus" kata Adam ketika itu.
Sudah pasti ucapan ini disambut dengan pekik senang oleh para
nelayan, malahan suara mereka pun bertambah parau. Tapi dasar
nelayan yang tak tahu barangkali sekarang Golkar sedang
membidikkan peluru ke arah harimau-harimau itu - mereka jadi
tambah tak sabar karena Pemilu telah beberapa bulan lewat.
"Kenyataannya sekarang pukat harimau tambah menggila" ucap
Ruslan Keneng, Ketua HSNI Bagan (Asahan).
Lebih dari itu bulan Mei lalu serombongan nelayan mulai beraksi.
Dengan membawa perahu masing-masing, mereka turun ke laut dan
mengepung sebuah pukat harimau yang sedang merentang jaring.
Sadar akan situasi gawat, si pukat buru-buru kabur dengan
meninggalkan jaringnya. Benda inilah yang kemudian diserahkan
para nelayan ke kantor polisi Bagan sebagai barang bukti.
Nelayan-nelayan itu masih belum puas. Hari berikutnya
beramai-ramai mereka mendatangi kantor HSNI di Bagan meminta
diperkenankan turun ke laut lagi untuk menangkap pukat- pukat
harimau. Tanggal 22 Mei HSNI Bagan menyampaikan permintaan itu
kepada Muspida Asahan. Jawaban sudah diduga para nelayan: tak
diizinkan. "Berikan laporan positif disertai bukti-bukti lengkap
kepada Kamla" ucap Pangdaeral I Laksamana Pertama Mardianus Aruf
beberapa hari kemudian. Hal ini dipertegas oleh Dansional
Tanjung Balai. "Patroli ke laut hanya oleh Kamla" kata Kapten
(L) Wirman. Dansional Tanjung Balai ini tak keberatan para
nelayan melaporkan adanya pukat harimau. "Tapi harus jelas
posisinya, apa kesalahannya, jangan hanya duga-duga" tambahnya.
Tentu saja ucapan-ucapan itu tak difahami seluruhnya oleh para
nelayan. Mereka tak mungkin menentukan posisi tepat si harimau,
sebab tak ada alat untuk itu. Untuk mencatat nomor kapalnya juga
sulit, sebab pukat-pukat di kawasan ini umumnya menghapus atau
menutupi nomor selar masing-masing. "Nelayan bisa saja
melaporkan adanya pukat harimau di tepi pantai, tapi begitu
petugas Kamla datang, mereka sudah kabur. Dan salah-salah kita
dituduh membuat laporan palsu" kata Ruslan Keneng.
Emigran Gelap
Menurut Ketua HSNI Bagan ini, sebenarnya pihak Kamla mudah saja
kalau mau mendapatkan bukti apakah si pukat harimau sudah
menangkap ikan di perairan terlarang (6 mil dari pantai pasang
surut) atau di tengah laut. Yaitu dengan meneliti jenis-jenis
ikan ketika kapal-kapal atau perahu-perahu pulang dari laut.
"Jenis ikan atau binatang-binatang lainnya yang hidup di laut
dalam berbeda jelas dengan yang hidup di kawasan pantai "kata
Ruslan Keneng. Ia menunjuk bukti pelanggaran operasi pukat
harimau -- Pemda Sumatera Utara dalam Peraturan Daerah no. 8
tahun 1973 melarang pukat harimau menangkap ikan di perairan 6
mil dari pantai pasang surut. Yaitu ke ratusan jumlah kapal
motor yang berdaya muat 5 ton dengan mesin 7 PK. Kapal motor
serupa ini menurut Ruslan hanya mampu beroperasi di tepi-tepi
pantai saja.
Pihak Kamla sendiri bukannya tak pernah menangkap pukat-pukat
ganas itu. Tapi menurut Abdul Murad Majid, dari 40 buah pukat
yang pernah ditangkap hanya 14 saja yang sampai di pengadilan.
Itupun hanya dijatuhi hukuman denda. Padahal menurut Kepala
Dinas Perikanan Asahan, pelanggaran terhadap Perda no.8 itu
dapat berakibat dicabutnya izin dan penyitaan kapal.
Melihat keganasan buldozer laut yang makin menciutkan rezeki
para nelayan di satu pihak, sementara dari sisi lain mereka
menganggap tindakan pihak berwajib tak begitu tegas, agaknya
cukup menguras batas kesabaran para penangkap ikan tradisionil
itu. Lebih-lebih lagi ketika awal bulan lalu Laksamana Pertama
Mardianus Aruf mengungkapkan dugaan akan adanya penyelundupan
emigran gelap melalui operasi pukat-pukat harimau. Peristiwa
Minggu terakhir bulan Juni itulah rupanya puncak kekesalan para
nelayan di sana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini