Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA – Rekaman video pengakuan Ismail Bolong tentang dugaan setoran dari hasil tambang ilegal di Kalimantan Timur kepada perwira polisi, yang beredar di media sosial, menjadi perhatian serius Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas). Kompolnas bergegas menggelar pertemuan, lalu memutuskan akan menelusuri kebenaran informasi Ismail tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Komisioner Kompolnas, Albertus Wahyurudhanto, mengatakan lembaganya mulai menelusuri kebenaran pengakuan Ismail. Dalam waktu dekat, Kompolnas akan menemui Kepala Polri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, Inspektur Pengawasan Umum Polri Komisaris Jenderal Agung Budi Maryoto, serta Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri Inspektur Jenderal Syahar Diantono. “Rencananya pekan ini, tapi belum ada kepastian waktu,” kata Albertus, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Albertus mengatakan Kompolnas akan mengklarifikasi ke Listyo mengenai dugaan setoran dari hasil tambang ilegal kepada sejumlah perwira polisi tersebut. Agenda klarifikasi ini merupakan perintah langsung dari Ketua Kompolnas sekaligus Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud Md. “Kami diminta untuk mendalami secepatnya,” ujar Albertus.
Sebelum memutuskan menemui Listyo, kata dia, Kompolnas lebih dulu menggelar rapat mendadak setelah pengakuan Ismail viral. Rapat dadakan ini digelar di kantor lembaganya pada 7 November lalu atau dua hari setelah pengakuan Ismal beredar di media sosial.
Ia menjelaskan, lembaganya menduga video rekaman Ismail ini beredar akibat adanya perang bintang atau persaingan di antara perwira tinggi di lingkup internal Polri. Kompolnas khawatir dugaan perang jenderal tersebut akan mengganggu kerja-kerja kepolisian. “Pak Mahfud meminta dicari akar persoalannya, jangan sampai Polri yang dikorbankan,” katanya.
Lokasi tambang ilegal di kawasan Bukit Menangis, Desa Santan Ulu, Kecamatan Marang Kayu, Kutai Kartanegara. Dok Tempo
Awal November ini, beredar video rekaman Ismail Bolong di media sosial mengenai dugaan polisi berada di balik tambang ilegal di Kalimantan Timur. Mantan anggota intelijen Kepolisian Resor Kota Samarinda yang berhenti sebagai polisi pada Juni lalu itu mengaku sebagai pengepul batu bara dari konsesi tanpa izin di daerah Santan Ulu, Kecamatan Marangkayu, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur pada Juli 2020 hingga November 2021.
Ismail mengklaim keuntungan dari tambang tanpa izin ini mencapai Rp 10 miliar per bulan. Uang dari hasil tambang ilegal lantas disetor kepada pejabat kepolisian, di tingkat kepolisian resor, Kepolisian Daerah Kalimantan Timur, hingga ke Badan Reserse Kriminal Polri.
Belakangan, Ismail kembali muncul dalam sebuah video. Kali ini ia mengaku dipaksa membuat video pengakuan pada Februari lalu oleh Kepala Biro Pengamanan Internal Divisi Propam Polri Brigadir Jenderal Hendra Kurniawan. Kini Hendra dipecat dari jabatannya dan berstatus terdakwa kasus merintangi penyidikan atas pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat, ajudan Inspektur Jenderal Ferdy Sambo saat menjabat Kepala Divisi Propam Polri.
Mantan Karo Paminal Divisi Propam Polri, Hendra Kurniawan, di Pengadilan Negara Jakarta, 19 Oktober 2022. Tempo/Febri Angga Palguna
Pengacara Hendra, Henry Yosodiningrat, mengatakan video Ismail dibuat setelah dia memberikan keterangan dalam berita acara interogasi kepada Biro Paminal Divisi Propam Polri. Henry mengatakan Ismail menandatangani dokumen tersebut tanpa paksaan.
Lalu, video tersebut dibuat untuk menguatkan dugaan keterlibatan perwira tinggi Polri dan personel polisi lainnya. “Video testimoni tidak hanya dilakukan terhadap Ismail Bolong, tapi diperlakukan sama juga terhadap beberapa perwira atau anggota lainnya di Polda Kaltim yang terlibat setelah memberikan keterangan dalam berita acara interogasi yang telah ditandatangani,” kata Henry pada 10 November lalu.
Dokumen hasil pemeriksaan terhadap Ismail tersebut beredar di media sosial dengan judul "Laporan Hasil Penyelidikan Divisi Propam Biro Pengamanan Internal" dengan Nomor R/LHP/-63/III/2022/Ropaminal tertanggal 7 April 2022. Dokumen ini diteken Kepala Divisi Propam Ferdy Sambo. Kini Ferdy dipecat dari jabatannya. Ia sekarang menjadi terdakwa kasus pembunuhan berencana Brigadir Yosua.
Dalam dokumen tersebut disebutkan bahwa terdapat beberapa penambangan ilegal di wilayah hukum Polda Kalimantan Timur dan polisi tidak menindaknya. Polisi membiarkannya karena adanya dugaan setoran uang koordinasi kepada pejabat kepolisian di Polda Kalimantan Timur hingga Bareskrim Polri. Di antara nama yang disebut dalam dokumen itu adalah Kepala Bareskrim Komisaris Jenderal Agus Andrianto. Uang itu disebut untuk kepentingan dinas yang tidak didukung oleh anggaran.
Saat dimintai konfirmasi, Ferdy tak bersedia mengomentari dokumen ini. “Tanya ke pejabat yang berwenang saja,” kata Ferdy seusai persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Selasa, 8 November 2022.
Pengacara Ferdy, Arman Hanis, membantah tersebarnya laporan hasil pemeriksaan kasus tambang ini merupakan upaya serangan balik kliennya. “Klien saya membantah hal tersebut. Beliau konsentrasi terhadap perkara yang dihadapi,” katanya.
Hingga kini, Agus Andrianto belum membalas konfirmasi Tempo soal ini. Ia tak menjawab pertanyaan Tempo lewat pesan teks dan tidak mengangkat telepon saat dihubungi. Tempo berulang kali menyambangi gedung Bareskrim, tapi tak bertemu dengan Agus.
Kepala Divisi Propam Polri, Inspektur Jenderal Syahar Diantono, juga tak menjawab konfirmasi Tempo. Kepada majalah Tempo, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengatakan akan menindaklanjuti dugaan setoran tambang tersebut. Listyo juga sudah memerintahkan anak buahnya menangkap Ismail Bolong. “Supaya lebih jelas, lebih baik tangkap saja,” kata Listyo di ruang kerjanya, Jumat pekan lalu.
Listyo mengaku tak mendapat laporan pemeriksaan secara rinci mengenai dugaan setoran dari hasil tambang tanpa izin tersebut. “Yang dilaporkan kepada saya hanya ringkasan pemeriksaan dan rekomendasi, bukan laporan pemeriksaan yang rinci,” katanya.
Albertus Wahyurudhanto berpendapat kepolisian semestinya terbuka setelah beredarnya pengakuan Ismail Bolong. Kompolnas akan mendorong kepolisian untuk mendalami informasi tentang dugaan setoran dari tambang ilegal tersebut. “Benar atau tidaknya informasi itu perlu diklarifikasi, sehingga tidak menimbulkan spekulasi,” katanya.
Setelah melakukan klarifikasi, kata Albertus, Kompolnas akan memberikan rekomendasi kepada Kapolri untuk menindaklanjuti dugaan setoran dari hasil tambang ilegal tersebut. Kepolisian semestinya menindaklanjuti informasi itu jika ditemukan bukti dugaan tindak pidana di dalamnya. “Kalau ada tindak pidananya, kami juga meminta agar dilakukan tindakan,” kata dia.
Albertus mengakui ada kendala lembaganya dalam menelusuri informasi Ismail itu. Kompolnas tak berwenang memanggil Ismail karena dia sudah tidak berstatus polisi. Karena itu, Kompolnas akan menggandeng Komisi Pemberantasan Korupsi untuk menelusurinya.
Kepala Biro Pemberitaan KPK, Ali Fikri, mengatakan lembaganya menyambut rencana Kompolnas menggandeng tersebut. Ali mengatakan sektor pertambangan memang rawan dikorupsi. “KPK telah melakukan kajian pengelolaan sumber daya alam agar secara sistemik bisa memperbaiki tata kelolanya dari hulu hingga hilir,” kata Ali.
PPATK Telusuri Aliran Uang Setoran Tambang
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) ikut merespons dugaan setoran dari hasil tambang ilegal kepada perwira polisi itu. Kepala PPATK, Ivan Yustiavandana, mengatakan lembaganya sudah memproses laporan tentang dugaan setoran itu sejak beberapa waktu lalu.
Ia mengatakan lembaganya menelusuri aliran duit dugaan setoran dari hasil tambang ilegal ini setelah menerima laporan perbankan. “Kami lakukan follow the money atas pihak-pihak terkait,” kata Ivan, pekan lalu.
ROSSENO AJI |ILONA ESTERINA PIRI | EKA YUDHA SAPUTRA | TIMOTHY NATHANIEL (MAGANG) | HELMALIA PUTRI (MAGANG) | FENTI GUSTINA (MAGANG) | ADYA NURUL ALYZA (MAGANG)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo