Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Surat somasi tertanggal 7 Mei 2012 itu dikirimkan oleh Liesbeth Zegveld, pengacara dari Bohler Advocaten, atas nama Andi Mondji, 75 tahun, Ceddung (84), Zainuddin (70), Sitti Asia (78), Sanabo (86), Andi St. Aisjah (80), Andi HaÂdirah (83), Baeda (104), Sitti Sulaeha (82), dan Syafiah Puturusi (80). Liesbeth adalah pengacara yang disewa Yayasan Komite Utang Kehormatan Belanda (Yayasan KUKB) untuk mewakili para korban ÂWesterling itu.
Dia juga pengacara yang mewakili korban pembantaian tentara Belanda pada 9 Desember 1947 di Rawagede, Karawang, Jawa Barat. Untuk kasus Rawagede, Belanda diharuskan memberi kompensasi ke para penggugat masing-masing 20 ribu euro (sekitar Rp 259 juta).
Kemenangan janda korban Rawagede itulah yang membuka harapan bagi korban Westerling di Sulawesi. Menurut Jeffrey M. Pondaag, Ketua Yayasan KUKB, surat somasi mereka sudah dijawab oleh pengacara Menteri Luar Negeri Belanda melalui surat tertanggal 14 November 2012.
Dalam surat balasan itu, Menteri Cornelis Gerardus Maria Timmermans, yang sejak 5 November menggantikan Uri Rosenthal, meminta waktu enam pekan untuk memutuskan upaya apa yang akan mereka tempuh. "Saya menafsirkan bahwa pihak Belanda ingin menempuh penyelesaian di luar pengadilan. Mereka tak ingin ke pengadilan karena malu," ujar Jeffrey kepada Tempo. "Kami juga terus meminta dukungan dari partai di Belanda, seperti Socialist Party (SP), Partij van de Arbeid (PvdA), ÂGroenLinks, dan Democrats 66 (D66)," Jeffrey menambahkan.
Yayasan KUKB juga berupaya mengajukan dua bekas anak buah Westerling yang bertugas di Sulawesi Selatan, yakni Herman van Goethem dan Haij van Groenendaal. Keduanya, saat diwawancarai stasiun TV Nederland 2 pada 11 Januari 2007, mengakui aksi brutal. Namun, kata Jeffrey, itu ditolak Jaksa Agung. "Kasus itu tidak bisa diadili karena sudah kedaluwarsa."
Berbeda dengan Yayasan KUKB yang dipimpin Jeffrey, lembaga swadaya masyarakat lainnya yang dipimpin Batara Hutagalung, Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB), menempuh cara lain. Mereka sedang menyiapkan gugatan korban pembantaian tentara Belanda di Sulawesi Barat ke Mahkamah Kriminal Internasional. Di mahkamah yang berada di Den Haag ini, kata Batara, empat jenis kejahatan tidak mengenal kedaluwarsa: kejahatan perang, genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan agresi.
"Apa yang dilakukan Westerling seperti eksekusi langsung di tempat telah memenuhi unsur kejahatan perang," kata Batara. Bahkan, menurut Naharuddin, anggota DPRD Sulawesi Barat, tindakan pasukan Belanda di Galung Lombok pada 1 Februari 1947 itu adalah genosida. "Itu aksi pembersihan etnis Mandar," ujarnya.
KUKB telah mendapat mandat dari ÂKongres Rakyat Mandar II. Batara mengakui jalan untuk mencari keadilan hukum ini susah karena tanpa dukungan negara. Kementerian Luar Negeri RI, melalui juru bicaranya, Michael Tene, mengatakan, "Meskipun pemerintah tidak terlibat secara langsung dalam pengajuan permohonan maaf dan kompensasi tersebut, Kementerian memahami sepenuhnya...."
Kini Batara melakukan sosialisasi kepada korban dan ahli waris tentang hak untuk menuntut keadilan. "Kami akan membawanya ke Dewan Keamanan PBB dan mendesak pembentukan komisi pencari fakta," ujarnya. Tujuan akhir adalah menggelar pengadilan ad hoc (international criminal tribunal), seperti yang terjadi pada penjahat perang Serbia—bekas Yugoslavia 1992-1995—Slobodan Milosevic dan para pelaku genosida di Rwanda.
Dody Hidayat, Iqbal Muhtarom (Majene), Natalia Santi, Lea Pamungkas (Belanda)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo