Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rumah itu berdiri di tengah kawasan kumuh di Cimahi, pinggiran Bandung. Pistol-pistol tergeletak begitu saja di lantai di belakang mesin jahit. Beberapa Bren tersandar di sudut dekat lemari. Itulah markas Angkatan Perang Ratu Adil (APRA), yang didirikan Raymond Westerling setelah pensiun dari dinas militer.
"Saya tak mau bikin masalah, tapi perdamaian, tatanan hukum, dan demokrasi yang benar harus ditegakkan," kata Westerling kepada wartawan Courier-Mail dari Australia di markas itu pada 23 Januari 1950, sehari sebelum pasukannya bergerak mengacau Bandung.
Westerling saat itu menolak hasil Konferensi Meja Bundar. Konferensi ini memutuskan agar Belanda pada 27 Desember 1949 menyerahkan wilayah Hindia Belanda ke tangan Republik Indonesia Serikat (RIS). Belanda lalu memobilisasi tentaranya (KNIL) di Nusantara. Para bekas tentara ini punya dua pilihan: kembali ke Belanda atau bergabung dengan Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS). Westerling tak mau memilih.
Westerling sangat membenci Sukarno dan menuduh Sukarno hendak membangun rezim teror dengan "kelompok Yogyakarta". Westerling menyatakan Sukarno berencana menguasai Dutch New Guinea (wilayah Papua sekarang) dengan mendaratkan pasukan yang sudah dilatih secara rahasia.
Westerling menginginkan wilayah-wilayah bekas Hindia Belanda berdaulat sendiri, terlepas dari RIS. "Saya ingin menciptakan keadaan seperti di Amerika Serikat (negara federal), tidak mendukung (Republik) Indonesia. Itulah niat saya," katanya.
Dengan kekuatan sekitar 800 serdadu, pada 23 Januari gerombolan APRA mulai mengacau Bandung. Pembunuhan pertama terjadi di perempatan Jalan Banceuy-Jalan Asia Afrika. Seorang anggota TNI ditembak dan tewas seketika. Kemudian menyusul di Jalan Braga, Jalan Merdeka. Pertempuran terjadi di kantor Staf Kwartier Divisi Siliwangi. Lima belas prajurit di bawah pimpinan Letkol Sutoko diserbu. Hampir semuanya tewas kecuali sang letkol. Gerombolan APRA makin merangsek. Secara keseluruhan 79 prajurit Indonesia tewas diterjang.
Namun pada akhirnya tentara Siliwangi dapat membuat APRA kocar-kacir. Aksi APRA itu hanya bertahan empat hari dan berakhir pada 26 Januari 1950 dinihari. Pemimpin pasukan pemberontak, Komisaris Van der Meulen, menyerahkan diri. Tahu akan ditangkap, Westerling melarikan diri. Dengan menggunakan pesawat terbang Catalina milik angkatan laut Belanda, ia kabur ke Singapura. Kudeta terbukti gagal.
Secara resmi Belanda menyatakan aksi kudeta Westerling di Jawa Barat adalah tindakannya sendiri. Tapi Fredrik Willems, sejarawan Universitas Nijmegen, kepada Tempo mengatakan sesungguhnya kudeta itu direstui oleh Belanda. Ia menyebutkan Jenderal H.J.Ch. Buurman van Vreeden, yang menggantikan Spoor sebagai panglima, pernah menulis bahwa APRA adalah organisasi pertahanan Westerling yang berada "di bawah naungan pribadi" Spoor.
"Saya membaca sendiri surat rahasia yang menunjukkan campur tangan pemerintah Belanda dalam perkara Westerling," kata Willems. "Surat itu begitu rahasia sehingga ditulis tangan, bukan diketik."
Hakim Amsterdam Knottenbelt, yang mengadili kasus Westerling pada 1953, juga mengatakan Spoor menyetujui sepenuhnya rencana itu. Tapi upaya untuk menghukum Westerling membentur tembok. Jaksa Reigersman menyurati Knottenbelt dan menyatakan tidak mungkin mendakwa Westerling karena, "Sejak sidang awal, para petinggi militer memberikan persetujuan diam-diam atas tindakan Westerling."
Rencana kudeta APRA antara lain didukung petinggi militer Belanda di Jawa Barat, seperti Komandan Pasukan Khusus Letnan Kolonel Borghouts, Mayor Jenderal Engles, Komandan Divisi 7 Desember, Kolonel Cassa, komandan wilayah Bandung dan Cimahi, dan Mayor Jenderal Van Langen, Kepala Staf Angkatan Bersenjata Belanda di Indonesia.
Yang menarik adalah spekulasi, selain oleh Belanda, apakah gerakan APRA didukung oleh Darul Islam (DI). Pada saat itu organisasi yang menonjol di tanah Sunda adalah Darul Islam dan Negara Pasundan. Keduanya juga melawan Sukarno. Darul Islam dipimpin Kartosoewirjo, yang kemudian memproklamasikan berdirinya Negara Islam Indonesia (NII). Pasukannya disebut Tentara Islam Indonesia (TII). Adapun Negara Pasundan diproklamasikan oleh Wiranatakoesoema V dan dibentuk Belanda untuk mempertahankan koloninya di Jawa Barat. Hubungan di antara ketiganya sampai sekarang masih diperdebatkan oleh para sejarawan.
Cornelis van Dijk, dalam Darul Islam: Sebuah Pemberontakan, menduga ada hubungan di antara mereka. Hubungan antara DI dan APRA terjadi dalam dua cara. Pertama, melalui dugaan pertemuan antara Kartosoewirjo dan Westerling tidak lama setelah serangan APRA ke Bandung. Kedua, melalui sejumlah serdadu APRA yang masuk ke Darul Islam sesudah kekalahan APRA.
Dugaan adanya koordinasi antara APRA dan Darul Islam itu muncul dari berkas pengadilan Kolonel Leon N.H. Jungschlager dan H.C.J.G. Schmidt pada Januari 1955 di Jakarta. Kedua orang itu didakwa menyelundupkan senjata ke Darul Islam. Jungschlager adalah Kepala Badan Intelijen Tentara Belanda (NEFIS) selama Perang Dunia II, dan kemudian menjadi Kepala Koninklijke Paketvaart Maatschappij, perusahaan pengiriman paket Belanda di Jakarta. Akan halnya Schmidt adalah bekas KNIL yang jadi pengusaha di Bandung.
Manoch, bekas anggota KNIL yang jadi saksi utama persidangan, mengatakan pesawat terbang milik Kedutaan Inggris dan pesawat Dakota milik Kedutaan Amerika Serikat di Jakarta memasok senjata dan amunisi ke beberapa kelompok pemberontak di pegunungan Jawa Barat pada 1951-1952. Pengiriman itu juga dilakukan oleh pesawat Royal Dutch Shell dan Standard Vacuum Oil Co.
Herman Bouman, pengacara Jungschlager, menuturkan tujuan pengiriman senjata itu untuk membangun negara Islam, yang dianggap lebih berguna bagi pihak Barat daripada pemerintahan Indonesia. Tapi Duta Besar Amerika Serikat di Jakarta saat itu, H.S. Cumming, membantah tuduhan tersebut. "Sejak dulu, dan saat ini, kebijakan pemerintah Amerika adalah mendukung dan memperkuat kemerdekaan pemerintah Indonesia," katanya.
Saksi lain, Haris bin Suhaemi, bekas kurir Kartosoewirjo, mengungkapkan rencana aksi militer yang terkoordinasi antara APRA dan Darul Islam ditentukan pada suatu pertemuan rahasia antara KartosoeÂwirjo dan Westerling di Hotel Preanger, Bandung. Rencananya, APRA akan menyerang beberapa kota besar di Jawa Barat dan sejumlah posisi tentara Republik di daerah lain.
Al Chaidar, mantan anggota NII dan sejarawan alumni Universitas Indonesia, menilai memang ada koneksi antara DI dan Westerling, tapi tanpa ada kerja sama. Menurut penulis Negara Islam Indonesia: Antara Fitnah dan Realita, Abdul Fatah Wirananggapati, kuasa usaha komandemen tertinggi Darul Islam pada masa itu, membantah keterangan saksi-saksi di persidangan tersebut. Dia membantah pengakuan Haris bin Suhaemi mengenai pertemuan Kartosoewirjo dan Westerling. "Mana mau Kartosoewirjo bertemu dengan Westerling yang hanya berpangkat kapten, sedangkan Kartosoewirjo berpangkat jenderal," ujar Chaidar.
Para tokoh Darul Islam, menurut Chaidar, juga membantah soal pasokan amunisi dari Jungschlager. "Bahkan, kata mereka, didrop ban sepeda saja enggak pernah dapat."
Tapi pernyataan Westerling berbeda. Dalam sebuah wawancara dengan wartawan United Press, yang dimuat di koran De Gooi, Belanda, 27 Januari 1950, ia mengatakan, "Tidak ada hubungan langsung antara anak buah saya dan Darul Islam. Tapi ada beberapa bagian dari organisasi itu yang memahami tujuan saya dan karena itu batalion Darul Islam beberapa saat berada di bawah komando saya."
Di Belanda, Westerling sempat diadili, tapi kemudian dibebaskan. Fredrik Willems menyeru pemerintah Belanda agar mengungkap kasus Westerling yang kontroversial ini. "Sudah saatnya pemerintah membuka penuh arsip intelijen untuk kasus ini," katanya.
Kurniawan, Iqbal Muhtarom
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo