Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Berharap Lebih di Jalur Hukum

Pemerintah lebih mengandalkan skema restrukturisasi lewat jalur hukum dalam penyelamatan bisnis PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. Namun cara ini dianggap bakal semakin memberatkan keuangan maskapai pelat merah itu, karena membutuhkan biaya besar.

11 November 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Maskapai penerbangan Garuda Indonesia di Bandara Internasional Sukarno Hatta, Cengkareng, Tangerang, Banten, 7 Juni 2021. Tempo/Tony Hartawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pemerintah dan manajemen Garuda Indonesia akan menempuh jalur hukum dalam upaya restrukturisasi utang.

  • Pilihan lain, lewat jalur di luar pengadilan, dianggap bakal menyita waktu lebih lama.

  • Skema penundaan kewajiban pembayaran utang dihantui risiko pailit.

JAKARTA – Pemerintah akan mengandalkan skema restrukturisasi utang lewat jalur hukum sebagai upaya penyelamatan bisnis PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. Wakil Menteri II Badan Usaha Milik Negara, Kartika Wirjoatmodjo, mengatakan skema pengadilan bakal lebih menguntungkan dalam beberapa aspek. “Harapannya memang lewat in court,” ucap Kartika saat ditemui di kawasan Kalimalang, Bekasi, kemarin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam rapat kerja bersama Komisi BUMN Dewan Perwakilan Rakyat, Selasa lalu, Kartika memastikan bahwa untung-rugi restrukturisasi di jalur hukum sudah diperhitungkan. Langkah itu dijelaskan lewat sejumlah skema restrukturisasi untuk memangkas utang Garuda Indonesia, yang per-September 2021 sudah menyundul angka US$ 9,8 miliar atau nyaris Rp 140 triliun.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam paparan Kementerian, penyelesaian di jalur hukum dianggap menguntungkan karena hasilnya dipastikan mengikat seluruh kreditor. Dengan langkah itu, peluang Garuda Indonesia untuk mengakhiri perjanjian sewa pesawat yang memberatkan pun semakin besar. Proposal damai yang diajukan juga tidak perlu disetujui seluruh kreditor. "Bisa saja yang setuju 75 persen dan tidak setuju 25 persen, tapi tetap diputus (pengadilan),” ucap Kartika.

Meski begitu, skema penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) ini masih dihantui risiko kepailitan jika mayoritas kreditor tak menyetujui proposal tersebut. Kepala Center of Food, Energy, and Sustainable Development Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Abra Talattov, menganggap jalur pengadilan juga menuntut biaya besar yang sulit dipenuhi manajemen Garuda.

Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo (kanan) dan Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra sebelum mengikuti rapat kerja ihwal restrukturisasi PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, 9 November 2021. TEMPO/M Taufan Rengganis

Kementerian BUMN juga menjabarkan opsi restrukturisasi di luar hukum yang menghalalkan penawaran berbeda kepada para kreditor. Tanpa batas waktu dan biaya pengadilan, manajemen bisa mengupayakan jalur damai kepada satu kreditor yang bentuknya tak diketahui kreditor lainnya.

Namun, menurut Kartika, langkah non-pengadilan membutuhkan waktu sangat lama. Mengingat utang emiten berkode saham GIAA itu berasal dari sedikitnya 60 kreditor. Padahal perusahaan harus bergerak cepat agar aset pesawatnya tak dikandangkan. Perlakuan yang berbeda terhadap para kreditor pun berpotensi mendatangkan berbagai gugatan di masa depan.  

Dia memastikan terus mendorong para kreditor untuk masuk ke proses PKPU. Tak hanya melobi para vendor dan kreditur BUMN di dalam negeri, tim Garuda Indonesia pun harus membujuk kreditor asing yang didominasi lessor. Saat ini Garuda terikat dengan 32 lessor. “Kita akan tunggu respons para kreditor ini dalam dua-tiga bulan ke depan,” katanya.

Direktur Utama Garuda Indonesia, Irfan Setiaputra, juga menyebut skema non-pengadilan terlalu memakan waktu bagi Garuda Indonesia yang mayoritas armadanya merupakan sewaan. “Cara in court lebih memberikan jaminan kepada kami,” katanya. “Ini rencana bisnis dengan jumlah pesawat lebih kecil, tapi memberikan jaminan kepada lessor.”

Pengamat penerbangan, Alvin Lie, mempertanyakan jalur pengadilan yang diandalkan pemerintah dan manajemen Garuda Indonesia. Selain karena proses yang melelahkan, kata dia, penyelesaian di jalur hukum cenderung dihindari karena kebutuhan biaya yang besar. Terlebih, posisi Garuda Indonesia pun lemah secara hukum.

"Utang menunggak dan banyak kewajiban yang belum dipenuhi, jadi kemungkinan menangnya kecil," tutur Alvin. Langkah in court justru sering dipakai debitor untuk mengulur waktu.

Pengamat BUMN dari Universitas Indonesia, Toto Pranoto, mengatakan langkah restrukturisasi Garuda Indonesia tetap harus disokong dana segar pemerintah. Menurut dia, maskapai tak boleh melewatkan peluang pendapatan dari masa padat atau peak season penerbangan pada akhir tahun ini. “Dukungan pemerintah bisa jadi angin segar untuk meyakinkan kreditor dan lessor agar renegosiasi berjalan mulus.”

FRANSISCA CHRISTY ROSANA | CAESAR AKBAR | YOHANES PASKALIS

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus