Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Sejumlah komunitas bergerak untuk menyelamatkan aneka menu masakan tradisional dari kepunahan.
Mereka mendatangi dapur rumah dan warung tradisional untuk melihat dan mendokumentasikan proses memasak serta cerita di balik kuliner tersebut.
Banyak menu kuliner Nusantara yang terancam punah karena tak terdokumentasikan dan sulitnya mendapatkan bahan.
Asap mengepul dari potongan ayam yang dimasak di tungku kayu bakar. Cara memasak tradisional ini masih dilakukan masyarakat suku Kajang di Kawasan Adat Kajang Ammatoa, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pertengahan November lalu, Meilati Batubara berkesempatan mengunjungi dapur satu rumah suku Kajang. Ia memperhatikan proses memasak ayam pallu cukka yang merupakan makanan khas suku Kajang. “Cukanya dari aren dimasak pakai bambu. Ini sudah agak langka,” kata Meilati kepada Tempo, Rabu, 29 November 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Meilati juga mencatat serta mendokumentasikannya. Ayam pallu cukka ini melengkapi kumpulan resep yang dia catat satu per satu sejak Oktober 2021. Perempuan 49 tahun itu sedang menjalankan sebuah misi penting, yaitu menyelamatkan resep-resep masakan tradisional yang terancam punah. Kegiatan ini dia gagas dalam proyek bernama Pusaka Rasa Nusantara (PRN).
Proyek ini mendokumentasikan budaya Nusantara melalui masakan khas dengan pendekatan yang kolaboratif dan partisipatif. Tim PRN melakukan riset kepustakaan dan pemetaan makanan Nusantara. Kemudian dilanjutkan dengan ekspedisi, yaitu menemui langsung para pemegang resep dan orang-orang yang bisa menceritakan budaya di balik masakan tersebut.
Masakan dari resep khas Kesultanan Buton yang diriset oleh Tim Pusaka Rasa Nusantara pada 2023. Dok. Pusaka Rasa Nusantara
Dalam upaya menyelamatkan warisan nenek moyang ini, Meilati mendapat bantuan pendanaan dari pemerintah Amerika Serikat melalui program hibah Ambassadors Fund for Cultural Preservation (AFCP). Ia lalu melakukan riset dengan menyasar informan lokal yang merupakan pemegang resep sebagai narasumber serta mendokumentasikan proses memasaknya.
Kegiatan riset ini sudah dilakukan Meilati sejak membuka restoran Nusa Gastronomi pada 2016. Restoran Indonesia ini menyajikan menu-menu makanan yang berasal dari penelusuran Meilati ke sejumlah daerah sehingga menunya tidak pernah tetap. Selama mengelilingi Indonesia, Meilati juga mendapat temuan lain, yaitu ancaman kehilangan resep. “Karena ibu-ibu kita tidak mencatat resep, anak-anaknya enggak belajar,” kata perempuan yang sudah belasan tahun menggeluti dunia kuliner ini.
Akhirnya Meilati tergugah mendokumentasikan resep-resep kuliner tradisional. Keinginan ini terealisasi setelah pandemi melanda. Restoran Meilati terkena dampak dan terpaksa tutup. Dengan demikian, kegiatan risetnya juga ikut terhenti. “Sementara itu, selama ini banyak chef bertanya soal informasi tentang kuliner Indonesia,” katanya.
Untuk melanjutkan riset ini, Meilati lantas mendirikan Yayasan Nusa Gastronomy agar tidak bergantung pada restoran. Gagasan untuk mendokumentasikan resep tersebut ia bawa untuk mengajukan pendanaan kepada pemerintah Amerika Serikat. “Eh, ndilalah, dari Indonesia yang kepilih kami.”
Warga memasak kue ade ie leubeu di Pidie, Aceh, 2022. Dok. Pusaka Rasa Nusantara
Setelah menerima hibah, Meilati bersama timnya meluncur ke lokasi sasaran, yaitu Yogyakarta, Solo, dan Semarang. “Bukan di pusat kotanya, melainkan di luaran, termasuk Wonosari, Gunungkidul,” kata lulusan arsitektur Universitas Katolik Parahyangan itu. Di sana, Meilati menemui warga yang menyantap belalang.
Ekspedisi kemudian berlanjut dari Aceh hingga Papua. Meilati biasanya membutuhkan waktu 10-14 hari untuk mengunjungi 2-3 provinsi. Dalam sehari pun, catatan yang terkumpul bisa lebih dari lima resep. Rekor produktivitas dia capai di Gorontalo, dengan 17 resep sehari.
Sejauh ini, total masakan yang terdokumentasi mencapai 300 resep. Hasil riset, Meilati melanjutkan, akan didokumentasikan menjadi beberapa buku. Buku pertama seputar sejarah dan budaya kuliner di sejumlah daerah. Buku kedua bercerita soal bahan, lalu buku ketiga tentang teknik memasak. Buku terakhir khusus resep makanan.
Meilati mengungkapkan, keempat buku ini akan diluncurkan pada Februari tahun depan. Selain buku, ada video dokumentasi dan pameran yang akan diadakan pada 2-11 Februari 2024 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat.
Ketua Umum Indonesia Gastronomy Community, Ria Musiawan (kiri kedua), dalam deklarasi pentingnya nutrisi dan hidrasi dari makanan tradisional guna eradikasi stunting di Jakarta, 20 Oktober 2022. Dok IGC
Menghidupkan Jamuan Para Raja Abad VIII
Pelestarian kuliner Nusantara juga dilakukan Komunitas Gastronomi Indonesia atau Indonesia Gastronomy Community (IGC). Sejak berdiri pada 2020, komunitas yang diampu Ria Musiawan ini melahirkan sejumlah program pelestarian makanan dan minuman Indonesia. Pada 2021, misalnya, IGC membuat museum gastronomi virtual di Museumgastronomi.id.
Majalah Tempo edisi 10 Juli 2021 menuliskan museum ini berambisi menjadi pusat segala informasi tentang sejarah, asal-usul, dan proses akulturasi budaya dalam ragam makanan yang sehari-hari dikonsumsi orang Indonesia. Konten museum dikumpulkan dan dikurasi oleh dewan pakar yang terdiri atas akademikus dan ahli kuliner, gizi, hingga sejarah. Di antaranya guru besar ilmu dan teknologi pangan Universitas Gadjah Mada, Murdijati Gardjito; dokter ahli gizi Universitas Indonesia, Saptawati Bardosono; dan sejarawan UI, Bondan Kanumoyoso.
Program IGC berikutnya adalah Gastronesia, yaitu menggali makanan-makanan tempo dulu. Komunitas ini mengungkap penemuan kuliner pada abad VIII dengan merekonstruksi menu-menu makanan yang tercantum pada relief hingga prasasti Candi Borobudur dan Prambanan.
Ria mengatakan ada lebih banyak menu yang ditemukan, tapi tidak layak dikonsumsi pada masa sekarang. Misalnya, penggunaan daging anjing. Dengan demikian, komunitas ini hanya mengadopsi 10 menu makanan. “Kami fokuskan makanan jamuan khusus raja,” katanya.
Rumbah Hadangan Prana, sajian berbahan daging kerbau dari resep rekonstruksi relief Candi Borobudur dalam Gastronosia dari Borobudur Untuk Indonesia. Dok. Bale Raos Makanan hasil Dok Indonesia Gastronomy Community
Untuk menghidupkan kembali menu-menu abad VIII ini, Ria bekerja sama dengan chef Toyo, pemilik restoran Bale Raos yang kerap menyajikan hidangan khusus kegemaran raja-raja zaman dulu. Beberapa hidangan yang direkonstruksi itu antara lain harang-harang kidang atau rusa bakar, knas kyasan atau kicik daging rusa, rumbah hadangan prana atau glinding daging kerbau, dan harang-harang kyasan dari belut.
Ria mengatakan hidangan milenium silam itu tidak menggunakan daging sapi lantaran merupakan hewan sakral. Dengan demikian, bahan utamanya menggunakan kerbau. Adapun belut sejak zaman dulu juga menjadi sajian untuk jamuan makan para raja karena Borobudur dikelilingi danau purba.
Untuk mensosialisasi makanan kuno ini, IGC mengadakan gala dinner guna mempresentasikan masakan abad VIII. Mereka juga menggelar pop up museum di Museum Nasional pada tahun lalu. “Orang-orang dapat mengenal sejarahnya melalui pop up museum,” ujar Ria. Gastronesia jilid I akan diakhiri pada bulan ini dengan kembali mengadakan gala dinner. Selanjutnya, mulai tahun depan, IGC akan menjalankan Gastronesia jilid II dengan menggali gastronomi Bali Kuno.
Kegiatan pelestarian kuliner Nusantara oleh IGC juga menyasar generasi muda. Ria menjelaskan, komunitasnya memiliki agenda tahunan mengadakan Indonesia Cooking Festival. Acara ini diselenggarakan sejak 2020 sampai 2022 dan menjadi wadah bagi para remaja dalam berkreasi mengolah masakan Indonesia. Seiring dengan waktu, program ini digemari pula oleh kaum ibu sehingga Ria berencana membuat program serupa yang menyasar kelompok tersebut.
Culinary storyteller, Ade Putri Paramadita. Dok. Pribadi
Pendongeng Kuliner
Cara berbeda ditempuh Ade Putri Paramadita dalam melestarikan kuliner Nusantara. Ia mencetuskan sebuah profesi unik dalam dunia kuliner, yakni culinary storyteller atau pendongeng kuliner. Di akun Instagram-nya, @misshotrodqueen, yang memiliki lebih dari 62 ribu pengikut, Ade kerap menceritakan sisi lain makanan.
Mantan road manager band rock ini mengungkapkan hari-harinya sekarang sering dilalui dengan berkeliling ke sejumlah daerah. Sebagai pendongeng kuliner, tugasnya adalah melihat, mendata, dan mengamati perkembangan masakan dari masa ke masa. Baik yang ada di rumah-rumah, pasar tradisional, rumah makan, maupun profesi bidang kuliner itu sendiri. Dia lalu menceritakannya lewat berbagai medium, termasuk media sosial.
Satu pengamatan yang dia lakukan adalah seputar chef atau tukang masak. Zaman dulu, kata Ade, pekerjaan ini bukan sesuatu yang “wah”. Tapi, dalam 10-15 tahun terakhir, profesi ini menjadi sesuatu yang seksi. “Kerjaanku menceritakan semua itu,” kata perempuan 44 tahun asal Surabaya itu.
Ade mengaku mulai menulis tentang makanan sejak 2001. Kecintaannya pada dunia kuliner ini tak terlepas dari keluarganya yang menggemari makan dan suka mencoba beragam penganan. Apalagi ibunya juga suka memasak dan memiliki usaha katering. “Sehingga kami ke mana-mana bukan cuma makan untuk kenyang, tapi merhatiin,” katanya.
Bersama keluarganya, Ade kerap mendiskusikan soal kuliner. Misalnya, rawon. Meski terkenal dari Jawa Timur, ada juga rawon versi Bali. Bedanya, rawon di Bali tidak menggunakan keluak sehingga warna kuahnya bukan hitam, melainkan kuning. Ini karena masyarakat Bali menggunakan basa genap (bumbu dasar khas Bali). Dagingnya pun tak mesti sapi, tapi bisa ayam dan lainnya.
Hal unik dari profesi penutur makanan, kata Ade, adalah rasa penasaran yang tinggi untuk mengeksplorasi dunia kuliner yang makin besar. Pasalnya, meski puluhan tahun tinggal di Indonesia, rupanya pengetahuannya tentang masakan Nusantara masih sedikit. Dari sekian wilayah Tanah Air, Ade belum menjamah Kalimantan dan Papua. Meski sudah bertemu dengan warga asli daerah tersebut dan mencoba masakan mereka, Ade mengaku belum afdal rasanya bila belum langsung ke sana. “Kita enggak bisa menceritakan kuliner daerah dari cobain 1-2 makanan saja.”
Bila sedang mengunjungi daerah tertentu, pasar tradisional menjadi destinasi wajib. Sebab, melalui interaksi dengan pedagang dan pembeli di pasar, ia bisa tahu bahan makanan hingga alat masak apa saja yang bisa digunakan warga setempat. “Jadi kita punya narasumber dari mana-mana, dengan berbagai background. Ya sudah, kumpulin sebanyak-banyaknya dan kita rekap,” katanya.
Menurut Ade, ada banyak hal yang terlihat sama di pasar, tapi sebetulnya pengolahan dan sebutannya menarik untuk dicatat. Misalnya, sayur kangkung di suatu daerah bisa lebih besar ukurannya. Atau cara warga Padang mengolah tauge bisa berbeda dengan di kota lainnya.
Hal menarik lain yang ditemukan Ade adalah pola dagang setiap pasar di daerah yang berbeda-beda. Misalnya, ketika berkunjung ke pasar di Ambon, banyak pedagang yang meneriakkan jualan ikan sekali mati. “Artinya ikan fresh banget.”
Kemudian, ketika ke Sumatera Barat, masyarakat setempat tidak menyantap ayam dengan kulitnya. Jadi, di pasar tradisional setempat, Ade menemukan bahwa mereka memotong dan memajang ayamnya tanpa kulit. Lain lagi ketika berkunjung ke Dolok Sanggul, Sumatera Utara. Ade menemukan pedagang di sana menjual ayam hidup yang ditaruh di dalam karung. “Aku tanya bersihinnya gimana? Katanya, ada tukangnya, bayar Rp 5.000 dipotongin dan dicabutin bulunya. Jadi pola dagang tiap daerah beda-beda dan menarik diamati.”
FRISKI RIANA | ANTARA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo