Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Riri Riza memberikan pelatihan kepada sineas dari wilayah timur Indonesia.
Cinespace milik Nia Dinata akan menjadi wadah pendampingan bagi sineas yang jadi korban kekerasan.
Sutradara Edwin merintis Kinosaurus untuk mempertemukan sineas dan pencinta film.
Hampir satu dekade Rumata Artspace hadir menghidupkan seni dan budaya di Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Sebelum masa pandemi, rumah budaya di Jalan Bontonompo itu aktif mengadakan berbagai acara, khususnya tentang pengembangan film.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kini tak terlihat ada aktivitas di sana ketika Tempo berkunjung pada Kamis, 17 Februari 2022. “Setiap tahun ada programnya, terakhir 2021. Tapi seluruh program diskusi atau lokakarya dilakukan via Zoom karena Covid-19,” kata Direktur Program dan Kerja sama Rumata Artspace, Rachmat Mustamin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rachmat mengatakan program yang sebelumnya rutin dilakukan Rumata adalah Makassar International Writers Festival dan Southeast Asian Screen Academy (SEAscreen). Dua program ini bertujuan memajukan industri perfilman di Sulawesi Selatan.
Rumata Artspace berdiri pada 18 Februari 2011. Pencetusnya adalah sutradara kawakan, Riri Riza, dan penulis Lily Yulianti Farid. Keduanya berkolaborasi membuat satu ruang di tengah kota untuk menghidupkan seni dan budaya di Makassar.
Ide awalnya sudah ada di benak Riri Riza ketika berkenalan dengan dunia film pada 1995. Pada zaman Orde Baru itu, Riri merasakan beratnya membangun kemandirian sebuah film jika bergerak sendirian. Keinginannya itu lantas diwujudkan lewat Kuldesak, film yang menjadi debut Riri sebagai sutradara. Ia menyutradarai film itu bersama Nan Achnas, Mira Lesmana, dan Rizal Mantovani.
Rumata Artspace di Tamalate, Makassar, 17 Februari 2022. TEMPO/Didit Hariyadi
Di zaman itu, kata Riri, dunia film cenderung birokratis dan dikendalikan pemerintah. Sedangkan suara-suara film di Indonesia semestinya demokratis, multikultural, inklusif, dan terbuka. Pada dekade pertama era reformasi, Riri menilai dunia film menjadi lebih sentralistik. “Seolah-olah sinema itu harus datang dari suara Jakarta dan menghasilkan film yang bentuknya mirip-mirip,” ujar pria berusia 51 tahun itu.
Ketika berkeliling daerah untuk pembuatan film, Riri menangkap keinginan besar masyarakat lokal yang ingin menyuarakan cerita. Namun tak ada wadah untuk menampung aspirasi tersebut. Akhirnya, Riri mencetuskan inisiatif mendirikan Rumata di kota kelahirannya.
Salah satu programnya adalah SEAscreen yang memberikan pelatihan dan membagikan pengetahuan secara cuma-cuma mengenai sinema bagi pembuat film indie. Riri mengatakan pesertanya terdiri atas anggota komunitas sineas dari Ambon, Flores, Manado, Kendari, hingga Papua. Jumlah peserta mencapai 50 orang dalam setahun. Pematerinya bukan hanya kalangan filmmaker terkenal dari Jakarta. “Tapi juga pembuat film hebat di Asia Tenggara yang menggerakkan perfilman global,” katanya.
Pada 2016 hingga 2018, Riri membuat proyek agar para sineas indie dapat mengajukan ide cerita film panjang. Sejumlah ide film itu pun melewati proses diseleksi. Produser atau sutradara yang terpilih berhak mengikuti pelatihan selama satu tahun secara bertahap dengan pemateri sineas dari Jakarta dan Asia Tenggara. Proyek tersebut bertujuan untuk berbagi pemikiran mengembangkan film di luar konsep sentralistik.
Salah satu sineas yang dilibatkan dalam program SEAscreen adalah Aditya Ahmad. Sutradara asal Makassar ini merupakan peraih penghargaan kategori best short film dalam Venice International Film Festival pada 2018 untuk film pendek berjudul Kado dan Special Mention kategori Generation Kplus di Berlin International Film Festival pada 2014 untuk film pendek berjudul Sepatu Baru.
Setelah terhenti pada 2018, Riri berencana mengadakan kembali proyek tersebut untuk mencari generasi baru sineas, khususnya yang berminat menjadi produser. Pasalnya, para produser film saat ini masih didominasi kelompok senior. “Kami coba terus menginspirasi mereka tentang berbagai pengetahuan. Hal itu tidak pernah berhenti kami lakukan,” ujar sutradara Petualangan Sherina ini.
Sutradara dan Produser film, Nia Dinata. TEMPO/Nita Dian
Menghadirkan perfilman yang lebih beragam juga menjadi sasaran Nia Dinata. Sutradara dari film Netflix, A World Without, ini mendirikan bioskop alternatif Cinespace untuk menonton film berkualitas buatan para sineas berbagai daerah. Saat didirikan pada 2016, Cinespace berkantor di Scientia Square Park, Gading Serpong, Tangerang, dengan kapasitas 30 penonton.
Sebelum masa pandemi, Nia mengatakan pengunjung dari kawasan Tangerang Selatan begitu antusias datang ke Cinespace. Apalagi pemutaran film juga disesuaikan dengan tema peringatan. Misalnya, ketika ada kampanye 16 hari anti-kekerasan terhadap perempuan, Cinespace membuat acara, memutar film-film bertemakan gender, dan diskusi.
Setelah masa pandemi, Nia terpaksa menutup kantor Cinespace dan memindahkannya ke kawasan Kemang. Kegiatan Cinespace juga kini lebih banyak dilakukan di ruang virtual. Misalnya melakukan pemutaran film melalui live YouTube, khusus bagi penerima undangan. “Jadi bisa continue safe space secara online,” kata dia.
Ke depannya, Nia berencana mendukung komunitas sineas film indie dengan membagikan ilmu mengenai cara membuat kontrak kerja yang berperspektif gender. Dengan begitu, para pekerja industri film bisa terlindungi dari ancaman kekerasan seksual dan perundungan.
Lebih jauh, sutradara kelahiran Jakarta, 4 Maret 1970, ini bakal merancang Cinespace sebagai wadah pendampingan korban kekerasan di dunia perfilman yang akan melibatkan para ahli hingga aktivis gender. Cinespace akan bersama korban sejak pelaporan hingga pendampingan ketika terjadi trauma. “Jadi, kami mau bikin holistik.”
Upaya Nia mendukung para sineas independen juga dilakukan melalui program workshop film dokumenter, Project Change. Program ini diadakan Kalyana Shira Foundation dan bisa diikuti secara gratis oleh pembuat film se-Indonesia. Namun pesertanya dibatasi 25-27 orang tiap dua tahun. Selama masa pandemi, Nia belum mengadakan lagi program ini. Ia masih mencari formula yang tepat dan aman.
Sutradara, Edwin. Locarno Film Festival/Ti-Press/Samuel Golay
Sutradara Edwin juga merintis ruang pemutaran film alternatif di kawasan Kemang bernama Kinosaurus pada 2015. Bersama Manajer Aksara Kemang, Adinan Simanjuntak, dan produser film Meiske Taurisia, Edwin mendirikan microcinema itu untuk mempertemukan sineas dengan pencinta film.
Film Programmer Kinosaurus, Alexander Matius, mengatakan microcinema menjadi wadah bagi sineas independen yang tidak mendapat tempat di jaringan bioskop komersial. “Karena kita tahu film itu banyak dari seluruh dunia, di Indonesia juga rata-rata banyak. Ada yang tidak dapat kesempatan, entah karena bentuk pendek atau dokumenter,” kata Matius.
Jadwal pemutaran film pendek di Kinosaurus diadakan tiap Jumat, Sabtu, dan Ahad dengan masing-masing dua kali penayangan. Pada masa pandemi ini, kegiatan pemutaran tetap berlangsung, tapi lewat online screening di platform Kinosaurus. Penonton dapat mengikuti kegiatan itu dengan berdonasi Rp 50 ribu untuk satu kompilasi berisi tujuh film pendek.
FRISKI RIANA | DIDIT HARIYADI (MAKASSAR)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo