Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Selangkah demi selangkah, Taliban mulai mengubah Afghanistan sesuai visinya, sebuah emirat Islam. Hal itu dimulai dengan mengumumkan pemerintahan baru Afghanistan pada pekan lalu, kurang lebih dua pekan sejak mereka mengambil alih Kabul dari administrasi mantan Presiden Ashraf Ghani.
Pemerintahan baru tersebut berisi pejabat-pejabat senior Taliban. Semuanya pria, tak ada satupun perempuan. Salah satu di antaranya bhkan buron FBI, Sirajudin Haqqani, yang menempati pos Kementerian Dalam Negeri. Bagi Taliban sendiri, Haqqani salah satu figur berpengaruh karena ia memegang posisi Wakil Pemimpin Taliban sejak 2016.
Di luar pembentukan pemerintahan baru, aktivitas ekonomi juga mulai berjalan. Salah satu contohnya di Bandara Hamid Karzai, Kabul. Di sana, operator bandara mulai melayani penerbangan ke luar maupun ke dalam Afghanistan. Untuk hal tersebut, Taliban mendapat bantuan teknis dari Turki dan Qatar.
"Kami berhasil menerbangkan pesawat pertama, dengan penumpang. Kami mengucapkan terima kasih kepada Taliban atas kooperasinya. Ini yang kami ekspektasikan dari Taliban, mewujudkan janji menjadi aksi. Ini pesan positif," ujar Menteri Luar Negeri Qatar, Sheikh Mohammed bin Abdulrahman Al-Thani di Islamabad, dikutip dari kantor berita Reuters, Kamis, 8 September 2021.
Meski pemerintahan sudah terbentuk dan aktivitas ekonomi mulai berjalan lagi, visi Emirat Islam Taliban masih jauh dari genggaman. Ada banyak masalah yang harus dijawab Taliban. Beberapa di antaranya adalah krisis ekonomi (dan kemanusiaan), kepercayaan oleh warga, serta pengakuan dari komunitas internasional.
Seorang pedagang penukaran uang Afghanistan menunggu pelanggan di pasar pertukaran uang, menyusul pembukaan kembali bank dan pasar setelah Taliban mengambil alih di Kabul, Afghanistan, 4 September 2021. REUTERS/Stringer
Krisis ekonomi adalah tantangan yang paling sulit. Afghanistan kehilangan ekonom-ekonomnya ketika Taliban secara resmi mengambil alih pemerintahan pada 15 Agustus lalu. Ekonom-ekonomi itu kabur ke negara lain, mengikuti gelombang evakuasi yang berakhir pada 31 Agustus lalu.
Hal itu diperburuk dengan dibekukannya aset-aset Afghanistan di luar negeri. Negara-negara tetangga khawatir Taliban akan memanfaatkan aset Afghanistan untuk aktivitas terorisme. Nilai aset yang dibekukan pun fantastis, miliaran Dollar Amerika.
US Federal Reserve, menurut situs United States Institute of Peace, membekukan cadangan mata uang asing Afghanistan senilai US$7 miliar. Hal itu membuat bank-bank di Taliban tidak bisa melakukan aktivitas penukaran uang. Dampaknya bisa nilai tukar yang kian menurun plus hyperinflasi.
Dana Moneter Internasional (MIF) melakukan hal senada. Mereka membekukan akses Afghanistan ke dana bantuan IMF, Special Drawing Rights. Salah satu dana bantuan bernilai US$450 juta yang dipersiapkan sebagai respon pandemi COVID-19 dan sejatinya bisa diakses secara mudah. Singkat kata, Afghanistan bisa kian miskin,
"Bagi Taliban, waktu penting (untuk mendapat dukungan warga Afghanistan). Mendorong pemasukan dan memberi nafas segar ke perekonomian Afghanistan adalah target dan tantangan utama mereka sekarang," ujar salah satu pejabat regional yang enggan disebutkan namanya, dikutip dari Reuters.
Di Kabul, krisis ekonomi sudah terasa di kalangan warga Afghanistan. Mereka berbondong-bondong menjual barang-barang pribadi untuk mendapatkan pemasukan ekstra, agar keluarga bisa makan cukup. Namun, daya beli yang juga menurun membuat barang-barang yang mereka jual pun nilainya jatuh.
Selain itu, tidak sedikit warga yang kehilangan pekerjaan sejak Taliban mengambil alih pemerintahan. Pegawai negeri atau pelayan publik termasuk yang ketiban sial. Mereka sekarang menganggur dan Taliban tak kunjung memberikan kepastian apakah mereka akan mendapatkan pekerjaan lagi.
Salah satunya dialami oleh Abdullah, mantan tentara Afghanistan. Ia sempat mendapat pemasukan bersih US$200 per bulan, cukup untuk menafkahi keluarganya. Sekarang ia bekerja menjadi buruh kasar dengan pendapatan seadanya.
"Saya sudah melakukan apa yang perlu saya lakukan. Saya mengabdi kepada negari ini dan sekarang saya harus mengais-ngais, bekerja kasar untuk bisa menafkahi kedelapan anak saya," ujar Abdullah, dikutip dari Al Jazeera.
Antrean panjang di depan bank di Kabul, Afghanistan, 1 September 2021. Sebelumnya pada Sabtu (28/8), Taliban telah memerintahkan bank untuk dibuka kembali dan memberlakukan batasan penarikan tunai hingga 20.000 Afghani atau sekitar Rp3,6 juta. REUTERS/Stringer
Mantan Gubernur Bank Sentral Afghanistan yang kabur dari Kabul, Ajmah Ahmady, mengatakan PDB Afghanistan akan terus merosot jika Afghanistan tidak dibantu dan aset di luar negeri tidak dibuka. Estimasinya, PDB akan menurun 10-20 persen.
Utusan khusus PBB untuk Afghanistan, Deborah Lyons, mengatakan hal senada. Menurutnya, perlu segara dicari cara agar uang bisa masuk ke Afghanistan dengan mudah. Jika tidak, ekonomi Afghanistan akan mengalami kerusakan parah yang ditandai dengan menurunnya nilai tukar, naiknya harga bahan pokok, serta kurangnya uang tunai di bank.
"Perlu ada ruang nafas untuk perekonomian Afghanistan, setidaknya untuk beberapa bulan. Beri kesempatan pada Taliban untuk berbenah, terutama dalam hal HAM, gender, dan kontra terorisme," ujar Lyons.
Sekjen PBB Antonio Guterres menambahkan, Afghanistan membutuhkan bantuan ekonomi setidaknya US$660 juta untuk bisa bertahan hidup sementara waktu.
Pengakuan oleh komunitas internasional akan mempermudah Taliban untuk mendapat bantuan sebanyak-banyaknya dari komunitas internasional. Saat ini, mayoritas bantuan lebih banyak datang dari Cina dan Pakistan. Bahkan, juru bicara Taliban Zabihullah Mujahid mengakui bahwa keberlanjutan Afghanistan bergantung banyak pada Cina untuk saat ini.
Menurut laporan Al Jazeera, Cina menawarkan bantuan senilai US$31 juta. Hal itu sudah termasuk vaksin untuk warga Afghanistan mengingat berbagai fasilitas kesehatan tutup karena masalah ekonomi. Sementara itu, Pakistan memberikan bantuan berupa bahan pokok dan obat-obatan. Walau begitu, hal itu belum ideal.
"Sebenarnya negara-negara Barat bertanggung jawab memberikan bantuan ekonomi, kesejahteraan, dan kemanusiaan ke warga Afghanistan, termasuk menjaga stabilitas di sana," ujar Menteri Luar Negeri Cina Wang Yi. Wang Yi memandang krisis di Afghanistan sedikit banyak disebabkan penarikan pasukan oleh Amerika dan NATO
Tentara Taliban menjajal permainan menembak di sebuah taman hiburan di Kabul, Afghanistan, 8 September 2021. Rezim baru Taliban menyatakan tidak akan melarang kegiatan sosial budaya selama tidak bertentangan dengan syariah dan budaya Islam Afghanistan. WANA via REUTERS
Problemnya saat ini, tidak semua negara mau mengakui pemerintahan Taliban. Sebab, mereka menganggap Taliban sudah berbohong soal mewujudkan pemerintahan yang inklusif dan terbuka serta mengharga hak-hak warga Afghanistan, terutama perempuan.
Salah satu pernyataan keras disampaikan oleh Prancis. Pemerintah Prancis menegaskan bahwa mereka tidak akan mengakui serta membangun hubungan diplomatik dengan pemerintahan baru di Afghanistan. Mereka memandang Taliban, selaku penguasa baru di Afghanistan, tidak menepati janji-janjinya yang merupakan syarat dari Prancis untuk bisa diakui sebagai pemerintahan yang sah.
"Prancis menolak untuk mengakui atau membangun hubungan apapun dengan pemerintahan baru ini. Kami menginginkan aksi dari Taliban dan mereka yang membutuhkan bantuan ekonomi serta hubungan internasional," ujar Menteri Luar Negeri Prancis, Jean-Yves Le Drian, Sabtu pekan lalu.
Per berita ini ditulis, Taliban belum menunjukkan niatan untuk berubah sesuai ekspektasi komunitas internasional. Soal hak-hak perempuan saja, Taliban memenuhinya dengan setengah hati. Mereka memperbolehkan perempuan Afghanistan bekerja dan belajar, namun pada sektor-sektor yang dibatasi Taliban. Medis dan pendidikan adalah dua sektor yang diperbolehkan Taliban untuk perempuan
Jika Taliban tidak mencoba memodernkan diri, mereka berpotensi mempersulit dirinya sendiri dalam memerintah Afghanistan. Taliban memang masih menerima donor dan bantuan dari berbagai negara, namun itu masih jauh dari cukup.
Baca juga: Dibohongi Taliban, Prancis Ogah Akui Pemerintahan Baru Afghanistan
ISTMAN MP | AL JAZEERA | REUTERS | USIP
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini