Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Bengkak Utang Menjelang Akhir Jabatan

Sepuluh tahun pemerintahan Joko Widodo meninggalkan gunungan utang. Pengelolaan APBN minim partisipasi publik dan pengawasan. 

 

28 Juli 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pemerintah dikejar utang jatuh tempo yang cukup tinggi pada 2025.

  • Skor Open Budget Survey Indonesia terus menurun.

  • Dampak proyek infrastruktur Jokowi pada ekonomi minim.

JIKA ingin melihat dampak kebijakan ekonomi Presiden Joko Widodo dalam sepuluh tahun terakhir, baca saja berkas Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal Tahun (KEM-PPKF) 2025 yang dirilis Kementerian Keuangan. Pada halaman 25 dokumen setebal 356 halaman itu, tertulis "Rasio utang terhadap PDB dalam sepuluh tahun terakhir mengalami kenaikan cukup signifikan".

Melanjutkan kalimat tersebut, Kementerian Keuangan menyatakan pada periode 2014-2019, rasio utang secara umum meningkat dengan laju kenaikan cukup moderat. Pada 2020, rasio utang terhadap produk domestik bruto meningkat 9,14 poin persen akibat tingginya kebutuhan pembiayaan untuk program penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Berkebalikan dengan kenaikan utang, Kementerian Keuangan menulis, "Kinerja perpajakan selama sepuluh tahun terakhir cenderung fluktuatif." Dokumen KEM-PPKF menyatakan pada 2014-2020, rasio perpajakan menunjukkan tren penurunan, dari 10,85 persen terjun ke titik terendah 8,32 persen akibat pandemi Covid-19. Meski begitu, Kementerian Keuangan mengklaim pada 2021-2023 rasio perpajakan berada dalam tren naik, dipengaruhi harga komoditas.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jamaah haji memasuki terminal kedatangan setibanya di Bandara Kertajati, Majalengka, Jawa Barat, 23 Juni 2024. Antara/Dedhez Anggara

Soal utang pun menjadi materi pembahasan dalam rapat kerja Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat yang membidangi keuangan negara bersama Menteri Keuangan Sri Mulyani pada 6 Juni 2024. Ketika memaparkan poin-poin dalam KEM-PPKF 2025, Sri Mulyani mengatakan nilai utang jatuh tempo pemerintah pada 2025 akan mencapai Rp 800,33 triliun. Utang jatuh tempo ini terdiri atas surat berharga negara (SBN) Rp 705,5 triliun dan pinjaman Rp 94,83 triliun.

Meski nilainya besar, Sri berkilah utang masih dalam koridor aman dengan beberapa catatan. Misalnya, asalkan pengelolaan anggaran negara tetap kredibel, persepsi terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara cukup baik, serta ada stabilitas fiskal dan politik. "Karena market beranggapan negara ini akan tetap sama," katanya. 

Lompatan nilai utang negara tergambar dalam dokumen KEM-PPKF. Pada 2015-2019, nilai utang naik dari Rp 3.113 triliun menjadi Rp 4.800 triliun. Pada 2020, nilainya melompat menjadi Rp 6.102 triliun atau tumbuh 27,13 persen. Kenaikan berlanjut pada 2022 saat pemerintah menambah utang menjadi Rp 7.822 triliun. Rasio utang terhadap produk domestik bruto atau PDB pun menggelembung dari 27,42 persen pada 2014 menjadi 38,64 persen pada April 2024. 

Yang bakal menjadi beban berat APBN adalah tagihan bunga utang, yang bertumbuh rata-rata 11,3 persen pada 2019-2023. Bahkan persentase nilai pembayaran bunga utang sudah di atas 2 persen terhadap PDB sejak 2020. Tahun ini, atau tahun terakhir Jokowi menjabat presiden, pembayaran bunga utang mencapai 2,2 persen terhadap PDB atau menjadi komponen belanja pemerintah pusat yang paling besar. Selain bunga, tahun depan ada utang jatuh tempo Rp 800 triliun yang terdiri atas tagihan atas obligasi Rp 705,5 triliun dan Rp 94,83 triliun dari pinjaman. 

Karena itu, berkas KEM-PPKF menyebutkan pada tahun pertama menjabat presiden, Prabowo Subianto akan menghadapi risiko. Sebab, penarikan utang baru tidak hanya digunakan untuk membayar tagihan jatuh tempo, tapi juga menutup defisit APBN dan pembiayaan nonutang. SBN, yang digadang-gadang sebagai sumber pendanaan andalan, mungkin tak bisa diharapkan. “Perlu mitigasi, seberapa kuat (SBN) akan dibeli oleh investor domestik dan asing,” tutur Kepala Ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro dalam diskusi di Gedung Tempo, Jakarta, Rabu, 17 Juli 2024.

Namun yang menjadi persoalan bukan semata-mata nilai atau rasio utang terhadap PDB, melainkan rasio pembayaran utang terhadap penerimaan. Risiko yang mengintai adalah rasio pembayaran utang luar negeri terhadap pendapatan ekspor atau debt service ratio (DSR) tier 1 yang tahun lalu sudah mencapai 17 persen. “Itu sudah cukup tinggi. Kalau tembus 20 persen, peringkat kredit kita bisa direvisi," ucap Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi Septian Hario Seto pada Rabu, 17 Juli 2024. “Itulah limit belanja kita sekarang,” dia menambahkan.

Dalam sebuah diskusi pada April 2024, Wijayanto Samirin, Kepala Penasihat Paramadina Public Policy Institute, sudah memperingatkan kenaikan DSR. Sejak 2016, dia menjelaskan, rasio pembayaran bunga dan pokok utang terhadap penerimaan negara sudah di atas 30 persen. Angka ini sempat turun ketika harga komoditas dunia meledak, tapi naik lagi tatkala harga batu bara dan minyak sawit jeblok. “Sepanjang 2010-2016, belanja pembangunan selalu lebih tinggi dari pembayaran bunga utang. Sejak 2017, pembayaran bunga yang lebih banyak,” ucapnya, memberikan gambaran.

Proyek lanjutan pengerjaan jalur MRT Fase 2A CP203 rute Harmoni-Kota di Glodok, Jakarta, Mei 2024. Tempo/Tony Hartawan

Dalam APBN 2024, beban pembayaran bunga utang pemerintah mencapai Rp 497,3 triliun, setara dengan 14,9 persen dari total pendapatan negara. Artinya, rasio utang terhadap total pendapatan atau debt-to-income ratio mencapai 17,74 persen. Jika hanya dibandingkan dengan penerimaan pajak sebesar Rp 2.309,9 triliun, rasionya 21,54 persen. “Rasio ini yang semestinya dipakai pemerintah, karena hanya penerimaan pajak yang bisa digunakan untuk membayar utang,” kata peneliti Institute for Development of Economics and Finance, Abdul Manap Pulungan, dalam diskusi di Gedung Tempo pada 2 Juli 2024. 

Lantas ke mana utang yang sedemikian besar dan membebani APBN di akhir masa jabatan Jokowi itu mengalir?

Dalam dokumen KEM-PPKF tercatat kenaikan utang pemerintah disumbang oleh Kementerian Pertahanan, khususnya untuk belanja persenjataan. Pada 2022 dan 2023, belanja alat utama sistem persenjataan atau alutsista mencapai Rp 150,4 triliun dan Rp 144,3 triliun, naik jika dibandingkan dengan 2019 yang senilai Rp 115,4 triliun. “Hal tersebut dilakukan untuk merespons kondisi alutsista Indonesia serta mengantisipasi potensi ancaman geopolitik,” demikian petikan dokumen itu.

•••

MISBAH Hasan, Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran, menandai sepuluh tahun pengelolaan anggaran oleh pemerintahan Joko Widodo sebagai proses politik yang minim partisipasi publik dan rendah pengawasan. Misbah mengacu pada skor Open Budget Survey, penilaian independen dari International Budget Partnership yang mengukur keterbukaan, partisipasi publik, dan pengawasan anggaran pemerintah dari 125 negara. 

Pada 2015, skor Open Budget Survey Indonesia mencapai 35 dan pada 2023 turun menjadi 26 gara-gara pembahasan, penetapan, implementasi, dan pengawasan anggaran yang kurang melibatkan publik.

Ponten pengawasan anggaran malah terperosok lebih dalam, dari 78 pada 2015 menjadi 59 pada 2023. Pemicunya adalah mengendurnya pengawasan Badan Pemeriksa Keuangan dan Dewan Perwakilan Rakyat. Bahkan sejak 2018 Jokowi meniadakan mekanisme Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan, meski ada anggaran yang bergeser atau berubah. “DPR cuma jadi tukang stempel seperti era Orde Baru,” tutur Misbah dalam diskusi di Gedung Tempo, 2 Juli 2024. “Hampir semua program prioritas Jokowi diketok disetujui. Tidak ada pembahasan serius,” dia menambahkan.

Menteri Keuangan Sri Mulyani (atas, kanan) menyampaikan tanggapan pemerintah atas pandangan Fraksi PDI Perjuangan terhadap kerangka RAPBN 2025 dalam rapat paripurna DPR ke-19 masa persidangan V tahun sidang 2023-2024 di kompleks Parlemen, Jakarta, 4 Juni 2024. Antara/Aditya Pradana Putra

Program prioritas yang dimaksud Misbah antara lain pembangunan infrastruktur. Menurut dia, Jokowi mengawali pemerintahannya pada 2014 dengan meyakinkan. Ada beberapa janji yang bisa menyehatkan anggaran, di antaranya pemangkasan subsidi bahan bakar minyak dan peningkatan porsi belanja infrastruktur 17-20 persen dari APBN. 

Hasilnya pun terlihat. Sebelum Jokowi menjabat presiden, Indonesia memiliki jalan tol sepanjang 802 kilometer. Tahun lalu, panjang jalan tol yang beroperasi mencapai 2.687 kilometer. Artinya, pembangunan jalan tol oleh pemerintahan Jokowi dua kali lipat lebih besar dibanding oleh empat presiden sebelumnya. Indonesia juga punya moda angkutan canggih seperti moda raya terpadu atau MRT dan kereta ringan atau LRT, bahkan kereta cepat seperti milik Jepang dan Cina. 

Meski begitu, Misbah melanjutkan, tidak semua infrastruktur tersebut mendorong pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya, biaya proyek-proyek besar itu malah membebani anggaran negara. Sebagai contoh, Bandar Udara Kertajati di Majalengka, Jawa Barat, masih sepi penumpang dan pemerintah berupaya mengalihkan penerbangan umrah serta haji di Jawa Barat dan sebagian Jawa Tengah untuk menyelamatkan bandara tersebut. Kereta cepat Jakarta-Bandung atau Whoosh juga membutuhkan tambal-sulam anggaran. Sedangkan dalam proyek LRT Jakarta-Bogor-Depok-Bekasi, negara mengambil alih beban dari PT Adhi Karya (Persero) Tbk. “Semua tidak memakai studi kelayakan yang matang,” ujar Misbah. 

Hal itu yang menjadi argumen Misbah ketika menilai dampak pembangunan infrastruktur era Jokowi tak signifikan mendorong pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi datar di level 5 persen dalam 10 tahun terakhir, jauh dari target 7 persen seperti yang dicita-citakan. Meski gencar membangun infrastruktur konektivitas, skor indeks performa logistik Indonesia pada 2023 malah turun menjadi 3,00 dan bertengger di peringkat ke-61 dunia. Padahal pada 2014 skornya mencapai 3,08 atau di posisi ke-53. 

Foto udara rangkaian kereta LRT Jabodebek melintas di jembatan rel lengkung atau longspan di kawasan Kuningan, Jakarta, Januari 2024. LRT Jabodebek targetkan penumpang harian meDok.Tempo/Hilman Fathurrahman W

Kepala Ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro menyoroti incremental capital output ratio atau ICOR, parameter yang menggambarkan rasio investasi atau modal terhadap hasil yang diperoleh atau output. ICOR Indonesia naik dari 3,69 pada 2011 menjadi 6,33 pada 2023 yang menggambarkan inefisiensi dalam investasi makin tinggi. “Dalam teori ekonomi, ada istilah necessary but not sufficient. Pembangunan infrastruktur itu sangat perlu untuk mengatasi ketertinggalan agar kita setingkat dengan negara lain, tapi perlu diikuti reformasi institusi dan kebijakan investasi yang kompetitif,” ucap Andry. 

Sedangkan Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi Septian Hario Seto mengakui ada sejumlah proyek yang studi kelayakan dan mitigasi risikonya kurang matang, seperti Whoosh dan LRT Jabodebek. Tapi pemerintahan Jokowi, kata Seto, berusaha menyelesaikannya dengan segala macam upaya agar tidak terlalu membebani APBN. 

Ihwal utang, Seto mengatakan tagihan yang menggunung adalah dampak pembiayaan penanganan pandemi Covid-19. Sejak Sri Mulyani menjadi Menteri Keuangan, dia mengungkapkan, pengelolaan utang pemerintah dilakukan dengan sangat hati-hati. “Bahkan terlalu pruden."

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Bengkak Utang di Akhir Jabatan"

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus