Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Tempat Terbaik di Masa Terburuk

Frederick Bailey terbebas dari perbudakan dengan membaca dan menulis. Orasinya mengubah cara pandang rasial orang Amerika.

28 Juli 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi: Edi RM

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DARI kabin 3 x 2 meter di belakang rumahnya, Frederick Bailey menulis orasi yang menyerukan persamaan hak orang kulit hitam dan putih di Amerika Serikat. Pidato dan surat-suratnya kelak mengubah cara pandang rasial orang Amerika dan dunia. Pondok kecil berdinding batu, tanpa jendela, memiliki cerobong perapian dan bangku kursi berusia 1,5 abad. Bangunan itu masih berdiri di belakang rumah Bailey di Cedar Hill—30 menit naik kereta dari stasiun dekat Capitol Hill, Washington, DC. Kabin tua itu telah direnovasi tanpa mengubah bentuk aslinya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di akhir surat-suratnya, Bailey acap memberi tahu bahwa layang itu “Saya tulis dari ruang menggeram”. Para sejarawan menduga Bailey terinspirasi Charles Dickens yang menyebut kabin kecil sebagai "growlery" dalam novel Bleak House"Saat saya kehabisan humor, saya menggeram (growl) di sini," tulis Dickens. Kata ini kemudian dipakai untuk makna yang merujuk pada "tempat untuk mengubah saat terburuk menjadi masa terbaik."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Novel 20 seri itu terbit pada 1852-1853, ketika Bailey berusia sekitar 35-36 tahun. Sebagai budak hitam, ia tak punya catatan kelahiran, hanya ingatan pada peristiwa yang ia tebak-tebak di sekitar 1818.

Bagi Bailey, membaca dan menulis adalah sebuah keajaiban. Dalam otobiografinya, Narrative of the Life of Frederick Douglass, an American Slave, yang berkali-kali dicetak ulang dan dipajang di rak depan toko-toko buku di Washington, kita akan tahu bagaimana ia bisa terbebas dari perbudakan dengan membaca dan menulis.

Saya berkenalan dengan Bailey melalui Carl Sagan, astronom yang produktif menulis, ketika ia dan istrinya, Ann, menulis satu bab khusus tentang Bailey dalam The Demon-Haunted World pada 1995. Sagan memberi judul artikel pendeknya “Road to Freedom”. Bagi Sagan, Bailey adalah contoh bagaimana ilmu pengetahuan menentukan dan mengubah nasib seseorang.

Bailey menjadi budak sebuah keluarga kulit putih di Maryland. Ia direnggutkan dari ayah dan ibunya pada usia belum dua tahun. Ia bekerja di perkebunan dengan setiap hari mendengar jeritan pilu bibi-bibinya yang dicambuk sepanjang hari oleh tuan mereka karena dianggap bersalah tanpa alasan jelas. Bailey menyebut hukuman itu sekadar pelampiasan kekesalan si tuan pada hal lain yang samar-samar.

Bailey dijual ketika berusia 10 kepada keluarga Thomas Auld, yang mengirimnya untuk bekerja di rumah famili mereka di Baltimore. Keluarga Hugh Auld adalah keluarga yang gemar membaca. Para tamu kerap datang ke rumah mereka sambil menenteng buku. Diam-diam Bailey mengintip obrolan-obrolan tamu itu dan mengikuti gerak bibir mereka ketika mengucapkan sebuah kata.

Bailey lalu memeriksa ucapan itu dengan kata yang tercetak di buku yang ia curi-baca dari perpustakaan milik Sophia, istri Hugh. Tahu budaknya mencoba belajar membaca, Sophia mengajarinya alfabet. Ia tak tahu ada larangan orang kulit putih mengajar membaca budak hitam mereka. Hugh memarahi istrinya dengan mengatakan bahwa, seperti dikutip Sagan, mengajari negro membaca akan membuat mereka pintar sehingga akan menuntut kebebasan.

Ucapan Hugh memicu Bailey kian giat belajar membaca. Ia mengintip dan mendengarkan Sophia sewaktu mengajari anak teman-temannya membaca. 

Setelah mengenal alfabet, Bailey membaca koran, bahkan melahap The Columbian Orator pada usia 12. The Columbian adalah kumpulan pidato para pendiri Amerika yang terbit pada 1797, yang kemudian jadi buku ajar wajib sekolah dasar Amerika untuk memahirkan siswa membaca, menulis, dan bicara dengan sisipan prinsip hak asasi. “Tiap kali ada kesempatan, saya membaca buku itu,” kata Bailey.

Setelah beberapa kali berpindah majikan, dan berkali-kali gagal kabur dari rumah tuannya dengan modus berkelahi dengan anak-anak mereka, Bailey pindah ke New England yang melarang perbudakan. Di sana ia menjadi manusia merdeka, lalu menjadi aktivis politik ketika tinggal di New York. Di sana ia mengubah namanya menjadi Frederick Douglass.

Selain mempromosikan persamaan hak manusia tanpa memandang ras, ia berpidato tentang persamaan hak tanpa bias gender. Ketika diajukan menjadi calon wakil presiden dari Partai Persamaan Hak pada 1872, ia mendampingi calon presiden Victoria Woodhull, perempuan kulit putih yang memimpin Gerakan Perempuan Memilih. Dalam sejarah politik Amerika, Bailey menjadi calon wakil presiden pertama berkulit hitam. Setelah pemilihan umum paling rusuh di Amerika itu, Bailey menjadi utusan pemerintah, semacam duta besar, di Haiti.

Cerita Bailey dipakai Carl Sagan untuk berkomentar tentang mengapa buta huruf masih ada di bagian-bagian lain dunia ketika seorang budak hitam secara otodidaktik belajar membaca dan menulis pada awal 1800? Tentu saja, jawabannya tidak sesederhana pertanyaannya. Bailey punya cukup alasan bekerja keras agar bisa membaca dan menulis karena punya satu tujuan: menggapai kebebasan—kekayaan manusia paling asasi.

Tapi, tanpa tujuan sengit itu pun, menggapai ilmu pengetahuan adalah cara kita mencapai kebebasan. Kita mungkin akan terlambat mengetahui semesta yang luas ini, yang dihuni ratusan triliun bintang dan planet, seandainya Albert Einstein tak membaca Popular Book of Natural Science, yang ditulis Aaron Bernstein, sewaktu SD. Buku itu membuat Einstein mengajukan pertanyaan-pertanyaan musykil tentang gelombang cahaya dan alam semesta kepada gurunya. Pertanyaan-pertanyaan itu membuatnya diusir dari sekolah, lalu mendorongnya berkelana di hutan-hutan Italia utara.

Dari pondok geraman di belakang rumah Frederick Bailey—kini jadi museum dan dikelola pemerintah setempat—kita akan paham bahwa “ide memang punya kaki”. Ide merambat dan menyebar ketika ditulis, ia berkecambah ketika sampai kepada orang lain—dengan tafsir yang menjadi milik para pembacanya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Bagja Hidayat

Bagja Hidayat

Bergabung dengan Tempo sejak 2001. Alumni IPB University dan Binus Business School. Mendapat penghargaan Mochtar Loebis Award untuk beberapa liputan investigasi. Bukunya yang terbit pada 2014: #kelaSelasa: Jurnalisme, Media, dan Teknik Menulis Berita.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus