Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

Bias Gender pada Kata Genit

Kata genit, yang seharusnya netral, menyempit hanya merujuk pada perempuan. Ada bias gender dalam pemakaiannya.

28 Juli 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEORANG dosen sebuah perguruan tinggi swasta di Bandung belum lama ini diduga melakukan kekerasan seksual. Dia mengakui kesalahannya, tapi membela diri dengan berdalih tindakannya sebatas “kegenitan”. Dari pembelaannya yang viral di media sosial X, tampak usahanya untuk mengkonstruksi bahasa demi kepentingan kejantanannya (virilitas) melalui kata genit.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memaknai kata genit sebagai “bergaya-gaya (tingkah lakunya); banyak tingkahnya”. Dalam Tesaurus Bahasa Indonesia, kata ini disepadankan dengan centil, ganjen, kemayu, kenes, dan cantik. Semestinya kata ini netral karena baik laki-laki maupun perempuan bisa saja bergaya-gaya dan banyak tingkah. Namun KBBI mempertegas bias yang ada dengan melekatkan kata genit pada contoh kalimat “Siapa gadis yang genit itu”. Penegasan serupa terbaca lewat sinonim kata genit pada Tesaurus. Kata centil dan ganjen dimaknai sebagai “suka bergaya (tentang gadis), juga lincah dan genit (terutama tentang perempuan)”.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jelaslah bahwa kata genit merujuk pada perempuan. Dalam kasus di atas, si pelaku memakai kata itu untuk merujuk pada perbuatannya yang menyampaikan “pesan genit dan flirting” kepada korban melalui aplikasi WhatsApp. Sekilas, pemakaian kata genit pada subyek laki-laki ini seolah-olah bertujuan memupus bias yang ada. Nyatanya, ini justru menunjukkan maksud si pelaku yang sebenarnya, yaitu dominasi maskulin.

Bahasa tidak hanya bersifat sosial, tapi juga personal. Tidak hanya bermakna denotatif, tapi juga afektif. Tidak hanya bisa menjadi alat, tapi juga perangkap.

Ada bias gender yang umum terjadi di masyarakat. Seorang perempuan yang dianggap banyak tingkah atau suka bergaya mudah dicap genit. Secara sosial, cap ini tidak hanya mengandung stigma, tapi juga sering dibelokkan ke arah seksualitas, sebagaimana dialami Gabriela dalam novel Gabriela, Cengkih, dan Kayu Manis karya Jorge Amado.

Gabriela gemar menyematkan sekuntum mawar di balik telinganya. Penduduk Ilheus mengecapnya genit. Sebagai seorang gadis pengembara, Gabriela mudah dilekati stigma, terutama oleh masyarakat setempat yang yakin bahwa “rumah adalah benteng perempuan mulia”. Gabriela hidup di alam bebas layaknya kaum gipsi. Tidak berumah, ditambah berparas cantik dan berusia muda, membuat posisi Gabriela rentan. Kegenitannya pun dipandang sebagai godaan yang mengkhawatirkan. Khusus untuk Gabriela, kata genit bernilai negatif hanya karena penilaian sensual laki-laki.

Tonico Bastos, tokoh lain dalam novel itu, juga sering bertingkah genit. Bedanya, kegenitan Tonico tidak dianggap sebagai godaan yang patut diwaspadai. Bagi warga Ilheus, sikap manis dan rayuan Tonico kepada banyak perempuan hanyalah strategi penaklukan yang bisa dimaklumi. Orang-orang bahkan menjulukinya “Bajingan yang Menawan”. Khusus untuk Tonico, kata genit telah “dibongkar” menjadi sekadar keramahtamahan maskulin.

Lewat bahasa, konsep-konsep dalam masyarakat direproduksi, termasuk konsep maskulinitas. Dalam masyarakat patriarki, posisi laki-laki dan perempuan adalah subyek dan obyek. Ketidaksetaraan sosial ini tecermin dalam ketidaksetaraan linguistik yang dialami kaum perempuan. Yang menilai seorang perempuan yang suka bergaya, centil, dan lincah adalah genit tentu bukan perempuan itu sendiri. Penilaian tersebut berasal dari luar dirinya. Karena dalam dunia maskulin keberadaan perempuan adalah untuk dilihat oleh laki-laki dan untuk kepentingan laki-laki, perempuan diharapkan bertingkah feminin, tidak banyak bicara, lemah lembut, dan pandai mengendalikan diri.

Hal sebaliknya terjadi pada laki-laki. Ia bebas bertingkah genit atau berkirim pesan genit dalam banyak kesempatan tanpa takut dicap buruk. Meskipun genit beroperasi dengan cara menggoda, godaan laki-laki lebih mudah dijustifikasi daripada godaan perempuan. Sebagai kaum terstigma, konotasi negatif telanjur melekat pada diri perempuan.

Inilah strategi dominasi yang bekerja pada kata genit—strategi yang digunakan oleh si pelaku terduga pelecehan seksual di atas. Bersikap kritis terhadap hal semacam ini perlu dilakukan tidak hanya untuk memunculkan kesadaran berbahasa, tapi juga kesadaran gender.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus