MUSIM hujan belakangan ini kembali menggali lubang-lubang di
sepanjang jalan kota Bandung. Sebetulnya ini biasa. Bahkan
keluhan dari warga kota akan hal inipun hampir tak perlu
didengar lagi. Tapi sekali ini Walikota Utju Djunaidi-lah yang
mengeluh. "Kami belum mampu menjadikan semua jalan di kota
Bandung menjadi jalan yang baik, tanpa ada lubang", ucapnya
kepada beberapa orang wartawan pekan silam.
Alasannya mudah ditebak. "Bagaimana saya bisa membuat
jalan-jalan yang bagus sekaligus, bila biaya terbatas", kata
Utju. Maka mula-mula walikota ini membeberkan perkara uang Rp
600 juta ia terima tahun ini sebagai biaya pembuatan dan
pemeliharaan jalan-jalan yang ada di wilayahnya. "Ini tidak
dapat memperbaiki seluruh jalan yang rusak, apalagi membuat yang
baru", tambahnya.
Jalan Lengkong
Kemudian Utju menghitung. Membuat jalan yang baik di kota
Bandung, katanya, seperti Jalan Jenderal A. Yani yang 2« Km,
memerlukan biaya tak kurang dari Rp 150 juta. Jadi tiap Km Rp 60
juta. Nah, jika menurut Utju seluruh panjang jalan dalam kota
Bandung ada 360 Km, maka dengan biaya tadi hanya cukup untuk 10
Km saja. Ini kalau mutunya semua sama dengan Jalan Jenderal
Yani. Tapi "daripada membuat jalan yang hebat hanya sedikit
saja, saya mengambil kebijaksanaan lebih baik membuat jalan yang
sederhana tapi lebih banyak", kata Utju lagi.
Namun Walikota Bandung itu tak hanya berbincang perkara biaya.
Ia juga menyindir para pemborong. "Saya mengetahui memang ada
pemborong yang nakal", ucap Utju Djunaidi pula. "oleh karena
itulah kini sedang diadakan inventarisasi pemborong mana yang
baik mana yang nakal". Utju memang tak menyebut contoh jalan
mana hasil kenakalan pemborong itu. Tapi melihat perbaikan Jalan
Lengkong misalnya, mungkin inilah salah satu yang dimaksudkan
sang Walikota. Dengan panjang 1 Km perbaikan jalan ini telah
menelan biaya Rp 14 juta - sebuah jumlah yang amat tinggi
mengingat kondisi jalan itu sendiri. Buktinya dalam sebulan saja
beberapa bagian jalan itu sudah berlubang-lubang dan rusak.
Polis Untuk Nelayan
Siapa tahu suatu saat Walikota Cirebon adalah anak nelayan. Ini
kata-kata Aboeng Koesman, Walikota Cirebon, ketika menyerahkan
sebuah gedung SD Inpres dan Balai Kesehatan di kampung nelayan
Pesisir, Cirebon, belum lama ini. Tapi upaya Aboeng untuk
menjadikan kotanya sebagai pusat penangkapan ikan dengan
memperbaiki nasib para nelayan, belum terhenti sampai di situ
saja.
Hari Kamis pekan lalu secara resmi Walikota Cirebon telah
mengasuransikan sebanyak 611 orang nelayan. Melalui Asuransi
Jiwa Bersama Bumi Putera, sebenarnya niat ini sudah lama
direncanakan Aboeng. Yaitu semenjak ia tahu benar potensi para
penangkap ikan di kota ini cukup besar, walaupun di pihak lain
ia juga sadar nasib mereka ban1pir tak berubah dari tahun ke
tahun. Bahkan lebih dari itu turun ke laut yang sulit diduga itu
-- tak beda dengan mempertaruhkan nyawa. "Saudara-saudara
bekerja di laut yang kadang-kadang ganas", ucap Aboeng di
hadapan para nelayan itu, "kalau ada kecelakaan tentunya
keluarga saudara repot".
Tapi dengan pengasuransian itu, nasib baik maupun buruk yang
bakal terjadi di laut taklah menjadi soal. Tiap nelayan
diasuransikan dengan nilai Rp 75.000 selama waktu 15 tahun.
Untuk pengangsuran polis para nelayan tak perlu pusing.
Pungutannya dilakukan melalui dana pembangunan dan sosial, yang
ditetapkan Peraturan Daerah nomor 2 tahun 1975 tentang retribusi
pelelangan ikan.
Menurut Marsudi Wardoyo, pimpinan cabang AJB Bumi Putera
Cirebon, dalam waktu dekat ini diharapkan polis para nelayan di
kota ini akan naik menjadi 1000 buah. Di seluruh kota ini
sendiri sudah tercatat sebanyak 4.569 pemegang polis Bumi
Putera, belum lagi polis dari porusahaan-perusahaan asuransi
lainnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini