Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Fachmi Idris, Direktur Utama BPJS Kesehatan: Iuran Belum Sesuai dengan Nilai Keekonomian

Pemerintah sempat maju-mundur mencairkan dana cadangan untuk menutup sebagian defisit BPJS Kesehatan. Selisih penerimaan dan pengeluaran masih lebar.

22 September 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pemerintah sempat maju-mundur mencairkan dana cadangan untuk menutup sebagian defisit BPJS Kesehatan. Selisih penerimaan dan pengeluaran masih lebar. - kendra paramita

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUDAH dua tahun lebih Dewan Jaminan Sosial Nasional belum mengevaluasi iuran premi kesehatan. Padahal jumlah pasien penerima manfaat makin bertambah. Jumlah iuran yang tak sebanding dengan biaya pemanfaatan membuat defisit Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan berulang. "Makin banyak peserta, defisit akan makin lebar karena iurannya tidak sesuai," kata Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris kepada Retno Sulistyowati dan Putri Adityowati dari Tempo di Terminal 3 Bandar Udara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, Selasa pekan lalu. Satu jam sebelum terbang ke Vietnam untuk menghadiri perhelatan Asosiasi Jaminan Sosial ASEAN, Fachmi menjelaskan duduk persoalan yang membelit BPJS Kesehatan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Benarkah perbedaan premi dan ongkos pembiayaan kesehatan menjadi penyebab utama defisit?

Besaran iuran di bawah kewenangan Dewan Jaminan Sosial Nasional. Premi itu terakhir kali dinaikkan pada 2015, dan iuran saat itu sebetulnya belum sesuai dengan nilai keekonomian. Jadi kami berharap Dewan Jaminan tidak terjebak angka-angka yang tidak adaptif seperti sekarang. Sebab, makin banyak peserta, defisit akan makin lebar karena iurannya tidak sesuai. Walhasil, selisih bea pemanfaatan dan premi makin lebar.

Mengapa iuran belum bisa dinaikkan?

Pendapatan dan pengeluaran harus sesuai dan berimbang, sementara sumber pertama pendapatan adalah iuran. Pak Jokowi menyampaikan, iuran jangan dulu dinaikkan. Daya beli masyarakat dihitung, oh, ternyata belum bisa. Kemudian dicek lagi pengeluarannya, apakah bisa dikurangi. Itu perintah beliau. Lalu masuklah dana tambahan.

Sejumlah rumah sakit mengalami kesulitan karena BPJS belum membayar biaya layanan. Bagaimana penyelesaiannya?

Sebetulnya ini soal manajemen mikro. BPJS kalau tidak bisa bayar dihukum denda 1 persen per bulan. Dibanding bunga bank 0,8 persen sebulan, angka itu lebih besar. Kami sudah bekerja sama dengan sepuluh bank, semua sudah menyiapkan kredit yang dapat segera dicairkan. Buat bank, ini menarik karena mereka sedang susah menyalurkan kredit. Artinya, kalau denda 1 persen, arus kas dapat selesai dengan anjak piutang. Ada beberapa rumah sakit yang melakukan ini. Kami minta tenor enam bulan.

Bagaimana mekanisme penggunaan dana bagi hasil cukai tembakau untuk menambal defisit?

Cukai tembakau ini sebetulnya sin tax, sama seperti dana reboisasi. Yang harmful untuk kesehatan seharusnya kembali lagi ke kesehatan. Di tembakau ini ada dana bagi hasil atas cukai tembakau. Ini kemudian dipakai untuk infrastruktur. Pajak cukai dibagi dua, yakni 50 persen untuk kesehatan dan 50 persen untuk penggunaan lain. Dari 50 persen itu, ada penggunaan untuk biaya jaminan kesehatan sebesar 75 persen. Nah, dari 75 persen ini ada yang sudah dipakai untuk Jamkesda (Jaminan Kesehatan Daerah). Kami hanya diminta mengambil yang belum digunakan.

Pemerintah daerah setuju menyerahkan dana itu untuk menopang BPJS Kesehatan?

Prinsip kami, cek dulu apakah porsi tadi sudah dipakai untuk kesehatan. Kalau pemakaian belum optimal, ya, bisa diambil. Jadi kami harus petakan, dari semua kabupaten-kota, mana yang punya Jamkesda.

Apa upaya untuk meningkatkan kolektibilitas iuran?

Tahun lalu, kolektibilitas 98 persen dari uang yang masuk. Sebetulnya sistem yang kita bangun mensyaratkan pekerja formal yang terlindungi minimal 70 persen dan nonformal 30 persen. Itu sistem gotong-royong. Kalau teori tadi berjalan semestinya, kolektibilitas akan bagus karena sistemnya potong gaji. Tapi yang terjadi sebaliknya. Untuk pekerja informal kelas III yang betul-betul tak bisa membayar, kami geser ke bawah BPJS daerah memakai Jamkesda. Untuk 30 persen yang bisa dan keinginan membayarnya tinggi, kami buka semua akses pembayaran, melalui mobile banking hingga Go-Pay. Yang bisa membayar tapi tak ada keinginan akan kami tagih ke rumah-rumah. Undang-undang memperkenankan kami memberikan sanksi, bekerja sama dengan pihak ketiga, misalnya mereka tidak bisa memperpanjang surat izin mengemudi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Retno Sulistyowati

Retno Sulistyowati

Alumnus Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur. Bergabung dengan Tempo pada 2001 dengan meliput topik ekonomi, khususnya energi. Menjuarai pelbagai lomba penulisan artikel. Liputannya yang berdampak pada perubahan skema impor daging adalah investigasi "daging berjanggut" di Kementerian Pertanian.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus