Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Fatmawaty Faqih sampai mengaku tuli untuk menangkis pertanyaan jaksa soal aliran suap buat Wali Kota Kendari periode 2017-2022, Adriatma Dwi Putra. Padahal, dalam rekaman percakapannya di telepon yang diputar jaksa di persidangan, bekas Kepala Badan Keuangan dan Aset Daerah Kota Kendari itu tak terdengar kesulitan menimpali lawan bicaranya. ”Saya tuli. Jadi saya iya-iya saja di telepon,” ujar Fatmawaty saat bersaksi untuk terdakwa Adriatma di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Rabu pekan lalu.
Di persidangan, Fatmawaty juga tak kesulitan menjawab pertanyaan lain dari jaksa. Ia lancar mengatakan pernah diajak calon Gubernur Sulawesi Utara, Asrun, ke kantor salah satu partai untuk mencari dukungan. ”Saya di mobil, tidak ikut masuk. Jadi tidak tahu Pak Asrun ngapain saja,” katanya.
Asrun adalah ayah Adriatma Dwi Putra. Ia Wali Kota Kendari dua periode sebelum Adriatma. Ia maju sebagai calon gubernur dalam pemilihan kepala daerah Sulawesi Tenggara 2018 dengan menggandeng Hugua, bekas Bupati Wakatobi, sebagai calon wakilnya. Pasangan ini diusung Partai Amanat Nasional, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Keadilan Sejahtera, dan Partai Gerindra.
Dua pekan setelah ditetapkan sebagai peserta pemilihan kepala daerah oleh Komisi Pemilihan Umum pada Februari lalu, Asrun bersama Adriatma ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi. Adriatma diduga menerima suap dari Direktur Utama PT Sarana Bangun Nusa Hasmun Hamzah senilai Rp 2,8 miliar. Uang itu imbalan atas dimenangkannya perusahaan Hasmun sebagai penggarap proyek jalan di Kendari senilai Rp 60 miliar pada awal tahun ini. Waktu itu KPK menyebut suap bersandi ”koli kalender” ini untuk membiayai pemenangan pemilihan gubernur yang diikuti Asrun.
Persidangan Adriatma membuka tabir praktik mahar dalam pencalonan kepala daerah. Selain Rp 2,8 miliar yang tadi, suap dari Hasmun Hamzah diduga mengalir lebih banyak. Hasmun mengaku pernah diminta Fatmawaty Faqih menukarkan duit Rp 5 miliar ke dalam dolar Amerika Serikat pada sekitar Oktober atau November 2017.
Setelah ada permintaan, menurut Hasmun, ia menyetorkan duit Rp 5 miliar ke rekening sebuah perusahaan valuta asing di Jakarta Utara. Dari Kendari, Hasmun dan Fatmawaty, yang menjadi anggota tim pemenangan Asrun, kemudian terbang ke Jakarta. Keesokan harinya, mereka mengambil uang yang kini berbentuk dolar di kediaman seorang kolega Hasmun. ”Teman saya yang membantu mengurus penukaran uang,” ujar Hasmun.
Dari situ, Hasmun dan Fatmawaty menggunakan mobil minibus menuju kantor Dewan Pimpinan Pusat PDI Perjuangan di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat. Mereka diarahkan ke lahan parkir di bawah gedung. Di sana sudah ada yang menunggu. Sambil menenteng tas jinjing kertas berisi dolar, Hasmun bersama Fatmawaty diantar menggunakan lift ke lantai dua atau tiga—Hasmun tak begitu ingat—untuk dipertemukan dengan seorang perempuan.
Hasmun tidak tahu namanya, tapi ingat ciri-ciri perempuan tersebut. Menurut dia, perempuan itu tingginya sekitar 165 sentimeter, menggunakan kacamata, dan berkulit sawo matang dengan rambut sebahu. ”Dia bongsor,” ucapnya.
Perempuan itu menunggu di sebuah ruangan. Hasmun kemudian menyerahkan tas berisi pecahan dolar Amerika hampir senilai US$ 400 ribu atau sekitar Rp 5 miliar. ”Uang lalu dihitung oleh wanita itu,” kata Hasmun. Setelah dihitung, uang dibawa si perempuan ke ruangan lain yang terhubung dengan ruangan tempat mereka bertemu. ”Setelah itu, kami berpamitan,” ujarnya.
Hasmun tidak tahu pasti tujuan penyerahan uang tersebut. ”Seingat saya, Bu Fatmawaty menyampaikan kepada saya bahwa uang itu digunakan untuk operasional partai pendukung,” katanya.
Waktu itu PDIP belum resmi mendukung Asrun. Dukungan baru disampaikan pada pertengahan Desember. Di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sulawesi Tenggara, partai banteng punya lima kursi. Sebenarnya Asrun sudah mengantongi tiket untuk maju dari partainya, Partai Amanat Nasional, yang memiliki sembilan kursi di DPRD—jumlah kursi minimal untuk mengusung sendiri calon gubernur. Tapi ia berniat memborong partai lain agar menjadi calon tunggal.
Fatmawaty menyanggah pernah mengantar Hasmun ke kantor PDIP. ”Tidak ada,” ujarnya. Adapun soal permintaan uang, ia mengatakan pernah meminta Hasmun menukarkan Rp 1 miliar, bukan Rp 5 miliar.
Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto juga membantah jika partainya disebut pernah menerima duit dari Asrun lewat Hasmun dan Fatmawaty. ”Kami pastikan hal itu tidak benar,” ujar Hasto. Ia mengatakan PDIP bergotong-royong mendanai pemenangan pasangan calon kepala daerah yang mereka usung.
Pertengahan tahun lalu, Asrun sebenarnya hampir mendapatkan dukungan Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Kebangkitan Bangsa. Menurut seorang petinggi PAN, Asrun harus menebusnya senilai Rp 5 miliar per kursi yang dimiliki partai itu di DPRD. PPP punya dua kursi, sedangkan PKB satu kursi.
Perempuan itu menunggu di sebuah ruangan. Hasmun kemudian menyerahkan tas berisi pecahan dolar Amerika hampir senilai US$ 400 ribu atau sekitar Rp 5 miliar. ”Uang lalu dihitung oleh wanita itu,” kata Hasmun. Setelah dihitung, uang dibawa si perempuan ke ruangan lain yang terhubung dengan ruangan tempat mereka bertemu. ”Setelah itu, kami berpamitan,” ujarnya.
Masalahnya, saat Asrun dan Hugua mendaftar di KPU Sulawesi Tenggara, PPP tak datang. Sedangkan PKB tak melampirkan surat model B.1—pernyataan dukungan yang diteken ketua umum dan sekretaris jenderal partai. Akhirnya KPU mencabut dukungan dua partai itu kepada Asrun. Uangnya tak dikembalikan. ”Yang lalu biarlah berlalu,” kata Adriatma Dwi Putra kepada Tempo saat itu.
Waktu itu, kepada Tempo, Ketua PKB Sulawesi Tenggara Nurfa Thalib menampik jika disebut mendagangkan rekomendasi. Nurfa berdalih elite PKB di Jakarta tak setuju partai mereka mendukung Asrun. Sekretaris PPP Sulawesi Tenggara Ihsan Insani tak menjawab saat dimintai konfirmasi.
Meski Asrun menjajaki banyak partai, Hasmun Hamzah mengaku hanya diminta Asrun lewat Fatmawaty Faqih menyetorkan duit untuk PDIP. Di luar itu, Hasmun mengatakan diminta Adriatma, anak Asrun, membantu biaya kampanye ayahnya. ”Politik butuh biaya tinggi, dan saya mohon dukungan dari Pak Hasmun,” ujar Hasmun menirukan ucapan Adriatma. Hasmun mengatakan ia berani menggelontorkan miliaran rupiah untuk Asrun dan Adriatma karena kerap diberi proyek di Kendari selama enam tahun terakhir.
Kuasa hukum Adriatma, Robinson, mengatakan kliennya sama sekali tak mengetahui penyerahan uang untuk partai pendukung, termasuk PDIP. ”Dia hanya sekretaris tim pemenangan. Semuanya diurus Bu Fatmawaty,” ucap Robinson.
Asrun melalui kuasa hukumnya, Syafarullah, menyatakan tak mengetahui setoran tersebut. ”Itu pengakuan Hasmun. Fakta persidangan, Bu Fatmawaty tidak mengetahui,” kata Syafarullah. Adapun kuasa hukum Hasmun, Rini Ariani, mengatakan pernyataan kliennya sesuai dengan berita acara pemeriksaan di KPK yang kemudian disampaikan di persidangan.
LINDA TRIANITA, ROSSENO AJI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo