Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Vila Liar Para Jenderal?

Tak hanya Sutiyoso, sejumlah jenderal lain dicurigai punya vila di Puncak.

24 Februari 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GUBERNUR DKI Jakarta Sutiyoso menyerah juga akhirnya. Bangunan miliknya yang terletak di Citamiang di Desa Tugu Utara, Cisarua, Jawa Barat, dibongkar Sabtu pekan lalu. Pembongkaran dilakukan oleh 12 pria menggunakan palu dan linggis, disaksikan oleh Kepala Desa Jajat Sudrajat serta penduduk setempat. "Saya diberi tahu oleh utusan Pak Sutiyoso sendiri, yang datang kemarin memerintahkan pembongkaran bangunan," kata Jajat Sudrajat. Pembongkaran itu memuncaki heboh yang terungkap pekan lalu. Sutiyoso ketahuan memiliki rumah di atas tanah eks perkebunan. Padahal, dialah yang paling kencang berteriak bahwa penyebab banjir bandang yang menenggelamkan sebagian Jakarta awal Februari lalu adalah pembangunan vila-vila di Puncak. Menurut Jajat, rumah panggung Sutiyoso itu dibangun tanpa surat izin mendirikan bangunan (IMB) pada 1996, semasa menjabat sebagai Komandan Korem 061/Suryakencana, Bogor. Kompleks bangunan seluas hampir satu hektare milik Sutiyoso itu berada di atas lahan negara eks Perkebunan Ciliwung. Lokasinya di atas bukit setinggi 800 meter di atas permukaan laut, tujuh kilometer dari tepi jalan raya Jakarta-Puncak. Ada jalan beraspal menuju ke sana, dengan tanjakan cukup tajam. Bangunan dikelilingi taman dan kolam yang tertata rapi, juga pohon pinus dan palem. Kompleks itu terdiri dari satu bangunan utama, satu bangunan tambahan, kolam ikan, lapangan basket, kebun anggrek, dan kebun bunga. Bangunan utamanya adalah rumah panggung berbentuk persegi panjang berukuran 10 x 20 meter dengan pondasi beton dan pintu kayu. Dindingnya terbuat dari anyaman bambu, berwarna kombinasi cokelat muda dan tua. Atap rumahnya model pelana, terbuat dari seng. Di depan bangunan utama terdapat beranda berlantai kayu warna cokelat tua dengan satu set kursi tamu hitam. Beranda itu menghadap ke kolam ikan dengan gazebo di tengahnya. Kolam dipenuhi oleh daun-daun kering, tanda jarang dibersihkan. Air mancurnya pun tak berfungsi. Ada kebun anggrek dan aneka bunga jenis lain di seberang kolam, juga lapangan basket satu ring. Di sekeliling kompleks bangunan ini terdapat hutan yang sebagian dipagari kawat setinggi sekitar 2 meter, dengan tulisan "tanah ini milik Perhutani, dilarang mendirikan bangunan". Bagaimana Sutiyoso bisa punya tanah di situ? Kisah bermula dari habisnya surat izin hak guna usaha Perkebunan Ciliwung pada 1989. Dua tahun lalu, hak tersebut beralih ke PT Sumber Sari Bumi Pakuan dengan luas lahan yang menyusut dari 800 hektare menjadi 530 hektare. Sisanya, 270 hektare, dikembalikan ke PT Perhutani dan masyarakat setempat, yang memperoleh 6 hektare. Nah, bagian yang diserahkan ke masyarakat inilah yang kemudian diperjuabelikan oleh warga sendiri dan para calo kepada orang-orang seperti Sutiyoso. Lahan di sekitar bangunan Sutiyoso ditunggui dan digarap oleh para pemuda setempat. Mereka menanam sayur-mayur seperti cabai, ubi, sawi, kol, dan wortel. Dari hasil menggarap lahan itu, para penggarap mendapatkan bagian Rp 300 ribu sekali panen. Tak aneh bila mereka berharap sumber mata pencaharian tersebut tidak dipermasalahkan. Pertimbangannya, toh pemilik lahan telah menganggap mereka sebagai pengaman penjaga lahan. "Kalau dipermasalahkan dan nanti pemiliknya melarang untuk menggarap, akan dikemanakan 50 orang warga desa yang sudah mencari rezeki yang halal ini," kata Yanto, salah seorang penggarap, seperti dikutip Tempo News Room. Namun, sebetulnya Sutiyoso bukan pemilik tunggal bangunan di kawasan itu. Ada 12 vila lain di lokasi seluas enam hektare yang menurut Jajat dipunyai oleh para jenderal. Siapa? Jajat menyebut eks Menteri Pertahanan dan Panglima ABRI Jenderal TNI (Purnawirawan) Wiranto dan bekas Pangkostrad Jenderal TNI Djadja Suparman. Sisanya tak diketahui. Benarkah? Jenderal Wiranto menggeleng-gelengkan kepala ketika dikonfirmasi. "Saya tak punya vila di situ," katanya. "Kalau ada yang menyebut, pasti hanya mau pinjam nama saya untuk menakut-nakuti, dan itu sudah sering terjadi." Sementara itu, Agus, ajudan Djadja Suparman, mematikan handphone-nya ketika wartawan TEMPO hendak memastikan kabar itu. Upaya wartawan TEMPO melongok vila-vila itu pun terhalang. Jalan menuju ke sana diblokir tumpukan kayu dan drum, dijaga oleh Yanto dan lima kawannya. "Setahu kami, cuma ada vila milik Ibu Umi. Tapi Umi siapa, kami tidak tahu. Ada juga nama-nama lain, tapi tidak seperti yang ditulis di koran-koran," kata Yanto. Siapa pun pemiliknya, membangun rumah di atas bekas kebun teh jelas menyalahi aturan. Menurut Keputusan Presiden No. 114/1999 tentang Penataan Ruang Kawasan Bogor, Puncak, Cianjur, tanah pertanian tak boleh beralih fungsi, misalnya menjadi permukiman. Selain itu, kawasan yang mencakup 18 kecamatan di Bogor, Puncak, dan Cianjur tersebut memang dimaksudkan sebagai areal pelestarian lingkungan. Karenanya, orang tak boleh sembarangan membangun apa pun di situ. Bangunan liar milik Sutiyoso hanya satu dari ribuan lainnya. Menurut Kepala Dinas Cipta Karya Kabupaten Bogor, Adrian Aryakusumah, saat ini hanya 40 persen bangunan di kawasan Puncak?Kecamatan Ciawi, Megamendung, dan Cisarua?yang memiliki IMB. Kebanyakan pemiliknya orang Jakarta. Masalahnya, di lapangan selalu ada kesulitan menemukan bangunan yang mengantongi IMB ataupun yang tidak. "Siapa pemilik vila yang sebenarnya juga tidak bisa diketahui secara pasti," kata Iwan Suwanto, Kepala Seksi Ekonomi dan Pembangunan Kecamatan Cisarua. Dulu ada aturan yang mengharuskan setiap IMB yang dikeluarkan oleh Dinas Cipta Karya dibuat lampirannya untuk disampaikan ke kecamatan. Kenyataannya, bila IMB keluar, dinas tersebut hanya menyampaikan tembusan ke bupati sebagai laporan. Artinya, ketentuan ini tak berjalan sebagaimana mestinya. Para kepala desa jadi tak tahu persis perkembangan yang terjadi di wilayahnya. Iwan sendiri tidak tahu persis kapan aturan itu mulai berlaku. Yang jelas, para camat jadi sulit melakukan pengawasan terhadap kemungkinan adanya pelanggaran yang dilakukan oleh para pemilik vila. Ada kesulitan lain. Pihak kecamatan yang melakukan pendataan di lapangan sering kali cuma bertemu para penjaga vila, yang notabene tak tahu-menahu soal IMB. "Jangankan soal IMB, siapa pemilik vila yang sebenarnya pun tak semua penjaga tahu," kata Iwan. Maklum, vila itu mungkin hanya dikunjungi beberapa bulan sekali. Jika para penjaga itu diminta menanyakan IMB ke pemiliknya, tak ada yang berani. Mereka khawatir mendapat bentakan. "Daripada dibentak, ya tidak usah menanyakan," Iwan memaparkan. Walhasil, hanya sedikit pemilik vila di Puncak yang diketahui. Bekas Gubernur Jawa Timur Basofi Sudirman, misalnya, mengaku punya vila di Desa Cilember, Kecamatan Cisarua. Sejak menjadi Wakil Gubernur DKI sekitar 1988, Basofi, yang juga seorang jenderal purnawirawan, mengumpulkan pemilikan lahan di kawasan itu. Vila Basofi seluas 200 meter persegi di atas lahan satu hektare. Tetangga Basofi di Cilember adalah Hari Darmawan, konglomerat pemilik Grup Matahari. Ia memiliki vila yang diperkirakan lebih dari satu hektare itu sejak 1997. Tapi vila-vila tersebut, menurut Hikmatullah, ketua RW setempat, telah memiliki IMB. Sementara itu, menurut Kepala Desa Jogjogan, Muhammad Badrudin, ada sedikitnya 60 vila di desanya. Semuanya milik orang di luar desa. Salah satunya milik keluarga Wakil Presiden Hamzah Haz atas nama putranya, Iwan. Vila yang berada di RT 03/02 ini terkenal di kalangan penduduk setempat dengan sebutan Vila 9. Ada juga vila milik keluarga bekas Menteri Pekerjaan Umum (almarhum) Radinal Mochtar di Kampung Jogjogan RT 02/03, Desa Jogjogan. Vila mungil ini dibangun di atas tanah seluas sekitar tiga hektare. Muhammad Badrudin juga menyatakan ada vila milik keluarga eks Menteri Ekuin/Ketua Bappenas Ginandjar Kartasasmita yang dibangun di wilayah desanya. Warga setempat menyebutnya Vila AGK?singkatan dari Agus Gumiwang Kartasasmita, anak Ginandjar. Vila ini dibangun di atas tanah hak milik. "Bangunan itu sudah ada sejak dua kepala desa sebelum saya, dan tak ada pembangunan lagi," ujar Badrudin. Ketika wartawan TEMPO mendatangi vila yang dimaksud Badrudin, terlihat memang ada tiga huruf besar "AGK" di pintu gerbang bangunan putih seluas 500 meter persegi. "Vila ini milik Pak Agus (Gumiwang Kartasasmita)," ujar Pipih, wanita tengah baya penunggu vila. Adapun bangunan yang lebih kecil, kata Pipih, milik Arief, anak Agus. Si empunya vila terlihat datang terakhir pada Januari lalu. Di sisi kanannya, ada bangunan yang luasnya kira-kira separuh bangunan utama. Di depan bangunan utama, ada kolam dengan sekumpulan bunga teratai. Di sisi sebelah kiri ada kolam renang dan gazebo kecil. Di sekeliling bangunan, terhampar rumput hijau yang sangat terpelihara. Sedangkan di belakang bangunan utama, beragam pohon tanaman keras seperti nangka, kelengkeng, dan sebagainya tumbuh subur. Pagar hidup dari tanaman teh-tehan juga terpelihara rapi. Areal ini berbatasan langsung dengan Sungai Cilember, yang sedang banjir saat itu. Berapa luas areal tersebut? "Untuk memotong dan merapikan rumput halaman dengan mesin, saya butuh waktu sekitar seminggu," ujar Aan, tukang potong rumput yang sedang berteduh di bangunan kecil di pinggir Sungai Cilember. Dari Aan, diketahui bahwa Ginandjar sendiri punya vila di Desa Cilember, 2-3 kilometer dari lokasi AGK. Ketika wartawan TEMPO menuju lokasi yang dimaksud, Habib, seorang penjual toko kelontong di pinggiran jalan, membenarkan bahwa Ginandjar pernah memiliki vila di situ. Tapi tiga tahun lalu vila itu sudah dijual ke seseorang bernama Ibu Yuni. Habib mengaku tak tahu siapa ibu ini. Yang jelas, vila itu sudah lama berdiri di atas lahan hak milik. Muchyar Yara, pengacara Ginandjar, memastikan bahwa kliennya tak memiliki vila di Puncak. Toh, kesulitan menentukan kepemilikan dan menemukan pelanggaran IMB tak membuat para aparat seperti di Kecamatan Cisarua berpangku tangan. Kini, menurut Sekretaris Camat Bambang W. Tawekal, pihaknya telah membentuk "Tim Pengawasan Pendirian Bangunan". Tugasnya mendata vila-vila yang ada di daerah Cisarua. Akankah tim ini menemukan vila-vila seperti milik Sutiyoso dan berani membongkarnya? Wicaksono, Dwi Wiyana

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus