Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Wibawapraja Tak Lagi Berwibawa

Peraturan dan operasi membongkar vila Puncak tak punya gigi.

24 Februari 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SELAIN karena hujan dan asinan, Bogor pernah sangat terkenal dengan amuk buldosernya. Tapi itu cerita 17 tahun lalu. Kala itu, pada sebuah siang, 18 Mei 1985, di sebuah kompleks vila Bukit Garden di kawasan Puncak, Cisarua, Bogor, Mayor Fauzi Siin memberikan aba-aba pada "pasukannya"?tim gabungan beranggotakan 50 orang polisi, tentara, hansip, dan tibum. Dan sedetik kemudian sebuah buldoser berukuran sedang langsung menderu, menggasak tiga rumah bedeng. Sudah lumat, sebuah bungalow yang hampir rampung dibangun jadi sasaran berikut. Mesin baja ini tak ampun menyeruduk tembok bata merah, meremukkan pilar-pilar dan membengkokkan besi beton. Bagaikan kena bom, bangunan luks seharga Rp 200 jutaan itu (harga ketika itu) hancur berantakan. Vila-vila itu punya sederet dosa: tak punya izin mendirikan bangunan (IMB), tiada surat izin tempat usaha, dan terlebih lagi didirikan di tanah hutan lindung yang diharamkan. Cisarua memang jadi target utama penertiban kawasan Puncak. Bukan cuma pelanggaran paling banyak terjadi di sini, tapi karena di Cisarua inilah terdapat 300 mata air yang antara lain mengalirkan air Sungai Ciliwung. Sungai besar ini mengalir ke Jakarta. Pada 1985 itulah untuk pertama kali Operasi Wibawapraja unjuk gigi dan menjadi kondang karena ketegasannya. Operasi ini digelar sebagai pelaksanaan Keputusan Presiden No. 48/1983 tentang penataan ruang dan penertiban kawasan Puncak, yang belakangan diperkuat dengan Keppres No. 79/1985 tentang Rencana Umum Tata Ruang. Pelanggaran bangunan di Puncak memang sudah berumur tua. Menurut Bupati Bogor ketika itu, Sudardjat Nataatmadja, hanya 5 persen dari 700 bungalow di Kecamatan Ciawi dan Cisarua yang memiliki IMB. Dari 5.184 bangunan di jalan sepanjang 12 kilometer Cugenang-Ciloto, hanya 302 buah yang dilengkapi IMB. Dan angka itu kian membengkak. Kini, menurut Kepala Dinas Cipta Karya Kabupaten Bogor, Adrian Aryakusumah, dari sekitar 3.400 vila yang tersebar di tiga kecamatan?Ciawi, Megamendung, dan Cisarua?kira-kira 40 persen yang tak memiliki izin bangunan. Menertibkan kawasan Puncak bukan perkara gampang. Kisah tentang itu bahkan sudah begitu klasiknya. Tengoklah, misalnya, betapa Restoran Rindu Alam masih kukuh berdiri di sebuah kelokan jalan Puncak, di atas sebuah perbukitan bak kastil kuno. Padahal, pada 1981, bangunan yang dimiliki almarhum Ibrahim Adjie?pensiunan jenderal, bekas Pangdam Siliwangi dan Duta Besar Inggris serta Swiss?ini pernah diributkan. Poernomosidi, Menteri Pekerjaan Umum saat itu, bahkan tidak sungkan menyebut Rindu Alam "sangat merusak lingkungan, mengurangi keindahan, menimbulkan kemacetan lalu lintas, dan mengancam kelestarian alam." Contoh lain adalah kasus perintah bongkar atas 46 vila di atas areal hak guna usaha milik PT Sumber Sari Bumi Pakuan di Cisarua pada 1989 silam. Perintah tak kurang datang langsung dari Rudini, Menteri Dalam Negeri saat itu. "Bongkar sampai ke fondasinya harus segera dilaksanakan, agar lahan itu bisa ditanami sesuai dengan peruntukannya," katanya. Menurut rencana tata ruang Bogor, tanah ini diperuntukkan bagi perkebunan teh. Maka, Bupati Bogor Edi Yoso Martadipura langsung bergerak. Tak ampun, ia mencabut surat pemutihan IMB vila-vila itu. Tapi baru 23 bangunan dilindas, buldoser Wibawapraja sudah tak bisa menderu lagi. Baja kuning itu membentur "batu karang" bernama keputusan hakim. Para pemilik vila rupanya tak tinggal diam. Merasa telah memiliki tanah dan bangunan secara sah, mengantongi pemutihan IMB, serta rajin membayar pajak bangunan, retribusi bungalow, dan iuran ke kas kecamatan, puluhan pemilik vila mengajukan empat gugatan untuk membendung pembongkaran. Mantan Pangkostrad Letjen (Purn.) Leo Lopulissa adalah salah satunya. Mahkamah Agung langsung berpihak pada mereka. Lembaga peradilan tertinggi ini memerintahkan supaya Pemda menghentikan sementara aksi pembongkaran sampai perkara ini diputus pengadilan. Dan pada April 1991, Bupati Edi Yoso benar-benar gigit jari. Bukan bintang jasa yang ia peroleh, operasi penertiban yang digelarnya malah divonis melanggar hukum. "Bupati terbukti melakukan perbuatan melanggar hukum oleh penguasa, onrechtmatige overheidsdaad," kata ketua majelis hakim, Nyonya Reni Retnowati. Masih untung, Bupati tak mesti membayar ganti rugi senilai Rp 16,5 miliar sebagaimana dituntut. Ia cuma dihukum membayar Rp 100 ribu untuk tiap pemilik yang vilanya keburu diratakan dengan tanah. Di kawasan berhawa sejuk ini, peraturan memang selalu tinggal peraturan. Sudah lama bungalow di Puncak terus dipelototi pemerintah. Pada 1963, misalnya, Bung Karno pernah mengeluarkan Penetapan Presiden No. 13 yang melarang pendirian bangunan apa pun sampai batas 200 meter di kiri-kanan jalan Bogor-Cianjur. Tapi baru tiga tahun, pengawasan sudah kendur dan pendirian bangunan tak lagi bisa dikendalikan. Dianggap tak cukup kuasa mengendalikan Puncak, Keppres No. 48/1983 pun kini direvisi dengan Keppres No. 114/1999 tentang penataan kawasan Puncak. Toh hasilnya sama saja. Selalu saja ada celah yang dimainkan, bahkan oleh aparat sendiri. Menurut seorang pejabat Dinas Cipta Karya Kabupaten Bogor, sambil menunggu pemberlakuan beleid itu, diam-diam diterbitkanlah sepucuk surat edaran yang masih membolehkan berlangsungnya pembangunan di tujuh desa. Tak lain tak bukan tujuannya adalah untuk menyelamatkan nasib sejumlah vila milik jenderal dan konglomerat yang telanjur didirikan. Kalau sudah begini, pilihannya tinggal dua. Vila liar kembali diamuk buldoser, atau seperti telah diperingatkan Menteri Lingkungan Hidup ketika itu, Emil Salim: pada jalur Jakarta-Puncak akan berlaku hukum bejana berhubungan. Jika tanah di Puncak tak bisa dijaga daya serapnya, air bah akan selalu datang memburu Jakarta. Karaniya Dharmasaputra

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus