Vila milik Gubernur DKI Sutiyoso di kawasan Puncak dibangun tanpa mengindahkan aturan?bahkan tak punya izin mendirikan bangunan (IMB) sama sekali. Tapi itu sebenarnya cuma satu dari ribuan vila.
Menurut Adrian Arya Kusumah, Kepala Dinas Cipta Karya Kabupaten Bogor, sekitar 40 persen dari 3.000-an vila di Puncak tak punya IMB, sebagian lainnya izinnya palsu. Padahal, sejak 1994 Gubernur Jawa Barat sudah me-larang pembangunan vila dan kompleks perumahan di sana. Bagaimana itu bisa terjadi?
Kata pepatah, banyak jalan menuju Roma, banyak pula cara mengakali secarik surat bukti kepemilikan tanah dan juga surat izin bangunan. Modusnya bisa macam-macam. Tapi semuanya dimungkinkan oleh luasnya budaya korupsi di lingkungan birokrasi, tak hanya di pusat tapi hingga ke daerah-daerah.
Salah satu contoh adalah bagaimana sebuah areal perkebunan bisa berubah fungsi menjadi "kebun vila". Pada 1997, PT Perkebunan Nusantara VIII di Gunung Mas, Puncak, sedang menunggu perpanjangan hak guna usaha (HGU), ketika lahan mereka seluas 691 hektare dijarah penduduk sekitarnya. Saat ini sebagian lahan itu sudah dijual ke orang dari Bogor dan Jakarta, yang lantas membangun vila di atasnya. Sisanya menjadi lahan garapan petani setempat, sambil menunggu pembeli Jakarta datang menawar.
Warga setempat bisa menjual tanah itu karena mereka memegang bukti kepemilikan tanah dari lurah dan bahkan tanda bukti pembayaran pajak tahunan dari kantor pelayanan pajak. Artinya, ada bukti kepemilikan dobel di sini, suatu hal yang sebenarnya bisa segera diketahui oleh aparat setempat. Satu lahan dimiliki oleh dua pihak atau lebih adalah soal biasa karena korupnya pejabat pembuat akta.
Kasus serupa dialami PT Sumber Sari Bumi Pakuan, yang mengelola perkebunan teh bekas perkebunan Ciliwung. Ratusan hektare lahan yang termasuk wilayah perkebunan dijarah, dan kini berdiri puluhan bangunan rumah dan vila, di antaranya milik Sutiyoso itu.
Tapi jangan hanya menyalahkan rakyat yang menjarah. Kali ini para pejabat terbukti malah mengabaikan peraturan dan mem-bangun tanpa izin sama sekali.
Menurut A. Sulaeman, mandor dari perkebunan teh Cikopo Selatan I dan II, biasanya penguasaan tanah disertai dengan penanaman tanaman budidaya berumur pendek semacam asparagus, sambil menunggu tawaran datang. Dalam waktu relatif singkat, se-telah ada tawaran, lahan tersebut pun kemudian dioperkan. Me-nurut taksirannya, nilai pasaran penjualan lahan garapan dari pihak pertama ke pihak kedua sekitar Rp 100 juta tiap satu hektare.
Polisi pun tak bisa berbuat banyak terhadap para penjarah ini. Soalnya, kalau perpanjangan HGU belum dikeluarkan pemerintah, tanah itu kembali menjadi milik negara dan terkesan tak bertuan. Jadi, orang berlomba-lomba mengklaim sebagai tanah bebas milik rakyat. Kepala Urusan Umum PT Gunung Mas, Supriyadi, cemas benar dengan keadaan itu. "Lahan produktif yang masih hijau juga mereka jarah dan mereka babat," tuturnya. Ujung-ujungnya, tanah-tanah itu diperjualbelikan dengan tidak sah.
Ada pula pemilik vila dan bangunan di Puncak yang memakai IMB palsu. Caranya, mereka bekerja sama dengan para pegawai Kantor Dinas Cipta Karya, yang membuatkan surat izin palsu, sehingga semua biaya pengurusan izinnya masuk kantong sendiri. Tahun lalu, empat pegawai Dinas Tata Ruang dan Bangunan Bogor dipecat karena ketahuan memalsukan IMB. Meskipun tak menyebut angka persisnya, menurut Adrian, jumlah IMB palsu yang disita dari para pemilik vila itu mencapai ratusan.
Modus yang paling gampang adalah memalsukan umur bangunan. Kantor Dinas Cipta Karya Bogor memberikan kemudahan mendapatkan IMB untuk bangunan yang berdiri sebelum tahun 1996. Dengan bantuan surat keterangan dari lurah, banyak pemilik vila mengaku sudah membangun jauh sebelum tahun yang tertera dalam ketentuan itu, agar surat izinnya gampang keluar.
Kalau saja semua izin per-tanahan itu diurus dengan benar, Pemda Kabupaten Bogor pernah melansir angka hingga Rp 3-4 miliar dari uang pengurusan IMB saja. Bila digabungkan dengan pajak bumi dan bangunan yang dipungut tiap tahun, tentu hasilnya lebih besar.
I G.G. Maha Adi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini