UTANG uang dapat dibayar, kata orang, utang hina pengadilan urusannya. Ini yang tengah diuji Sutarji, 42 tahun. Kepala Dusun Perkutukan di Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah ini sedang asyik menunggui sebagian warganya latihan angklung. Menjelang larut malam, muncul tiga pemuda dari dusun jiran. "Saya datang untuk menagih utang Pak Tarji pada Bapak saya," kata Samijo, salah satu dari pemuda itu. Sutarji diajak keluar dari keramaian. Ia mengangguk. Sekitar satu setengah tahun lalu, ia meminjam sekuintal pupuk urea dari Muklas, ayah Samijo, dari Dusun Payung. Pupuk seharga Rp 25 ribu itu akan dikembalikan berupa uang dalam waktu empat atau lima bulan. Bahkan, ia akan membayar Rp 30 ribu jika melewati batas waktu yang dijanjikan. Lima bulan berlalu. Tanaman tembakaunya pun sudah dipanen, tapi bapak 7 anak ini belum melunasi utangnya. Ia kalah berkejaran dengan kebutuhan sehari-hari rumah tangganya. Ia tersentak dari lamunannya ketika Samijo buka suara, "Bapak saya ingin utang bisa dilunasi malam ini juga." Mendengar itu, Sutarji bagai melihat kunangkunang di tengah gelap malam. Dusun yang 17 Km di utara Kota Kebumen itu memang belum dijamah listrik. Sebagai kepala dusun ia dapat tanah bengkok. Tapi, hasilnya sekitar Rp 100 ribu per tahun itu jauh dari cukup. Apa lagi saat itu, tengah Desember lalu, kantungnya kosong. Sambil bicara, mereka berjalan. Tiba di gardu siskamling, Sutarji, yang sudah 9 tahun menjadi kepala dusun itu, minta Samijo dan dua kawannya menunggu di gardu. Dengan pikiran galau, Sutarji menggedor rumah dua kerabatnya untuk mendapatkan pinjaman, Rp 10 ribu dari Mantareja, dan Rp 20 ribu dari Tamlarja. Ia tiba kembali di gardu dua jam kemudian. Uang itu masih digenggamnya. Namun, Sutarji disambut cercaan oleh Samijo. Ia dihardik, "Ayo, jongkok!" Sutarji jongkok. Eh, masih ada buntutnya. "Ayo, jalan!" perintah Samijo. Maka, dalam udara dingin di tengah malam buta itu, Sutarji berjalan dengan mlaku ndhodhok -- cara berjalan hamba sahaya menghadap raja di zaman dulu kala. Terkadang Samijo menyuruhnya berdiri. Lalu, jalan lagi sambil jongkok. Mendekati kantor desa, ia disuruh berdiri hingga beberapa peronda, yang berjaga di situ, tak sadar yang dialami tetua mereka. Dari gardu siskamling sampai ke rumah Muklas yang berjarak sekitar satu kilometer, Sutarji merangkak di jalan tanah berbatu. Sampai menyerahkan uang itu ke tangan Muklas, ia belum merasakan perlakuan Samijo tak beres. "Saya bahkan minta maaf lantaran baru bisa bayar utang," kata Sutarji di rumahnya pada Sri Wahyuni dari TEMPO. Rumah di punggung bukit itu berdinding gedek dan lantai tanah. Ukurannya 6 x 8 meter. Di ruang tamu, ada meja kayu reyot serta dua bangku bambu. Tak ada perabot lain. Setelah terdiam sejenak, Sutarji menuturkan bahwa ia baru menyadari perlakuan Samijo terhadapnya sebagai penghinaan. Dua hari setelah kejadian itu, ia mengadu kepada Kepala Desa Peniron, Muspika, Koramil, dan Polsek Pejagoan. Untuk lebih afdol, Sutarji minta bantuan LBH Yogyakarta. "Ini kan negara hukum," ujar tamatan SD itu. Tapi, jika pihak Muklas mau minta maaf atas perlakuan Samijo, ia tidak memperpanjang urusan. "Siapa yang salah? Kami sudah berbaik hati menolong," ujar Nyonya Muklas. Menurut ibu 3 anak ini, pihaknya berkali-kali menagih tanpa hasil, dan ia sewot karena kelakuan anaknya itu masuk koran pula. "Dia yang mangkir, kami yang jadi repot," cetus ibunda Samijo. Ed Zoelverdi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini