KIAS pun telah usai. Selama dua tahun kesenian Indonesia, yang istana, yang rakyat, yang kuno, yang baru, yang atas, yang bawah, telah malang melintang digelar di berbagai kota di Amerika Serikat. Sekarang, setelah layar diturunkan, perhitungan apa yang mesti dilakukan terhadap pergelaran akbar di luar negeri itu? Adakah rakyat Amerika, yang kadang-kadang masih bingung membedakan Indonesia dengan Indocina, menanyakan Indonesia bagian dari Bali, dan apakah sudah ada listrik di kota-kota Indonesia, sekarang jadi lebih tahu tentang negeri kita? Tentang negara, bangsa, dan kebudayaan kita? Agak sulit juga menjawab pertanyaan itu. Mereka yang menonton tari bedoyo dan wayang-wayang gaya Yogyakarta di Brooklyn dan Boston, yang bagaikan khalayak yang kena sihir memberikan aplaus berkali-kali, sebagian besar adalah aficionado, para pecandu tari klasik Asia yang mungkin tidak terlalu mempedulikan tentang apa dan bagaimana negeri kita. Bagi mereka, pernyataan tari itulah yang terpenting. Dan mereka yang terkejut dan kemudian berdecak kagum melihat kehebatan patung-patung kita yang digelar secara mengagumkan di Washington D.C., New York, Houston, barangkali akan membayangkan negeri kita sebagai negeri yang memiliki masa lampau yang besar juga. Kemudian mereka yang bersuit-suit, sesudah terpukau oleh tari Shaman dari Aceh pada pembukaan KIAS di Kennedy Center, Washington D.C., dan kemudian sekali yang dikejutkan oleh penampilan para penari Asmat dan Dani di Chicago, bagaimana pula khalayak Amerika itu membayangkan untaian pulau-pulau yang bernama Indonesia itu? Suatu untaian pulau dengan aneka ragam peradaban yang berbeda tajam? Dan dengan sukses pementasan teater Putu Wijaya di Seattle, dan pameran lukisan-lukisan kontemporer Indonesia yang dengan susah payah akhirnya mendapatkan tempat juga di beberapa museum di California, apa pula yang terlintas dalam benak khalayak Amerika sesudah berkonfrontasi dengan imaji dan fantasi para seniman kita sekarang? Suatu kaleidoskop kebingungan dan kerancuan persepsi dari satu bangsa baru yang sedag mulai berbicara dengan budaya dunia? Barangkali semua persepsi tersebut hadir selama KIAS berlangsung di Amerika Serikat. Akan tetapi persepsi tersebut berserak pula seluas khalayak yang tersebar di benua itu. Mereka yang berkonfrontasi dengan wayang-wayang Yogyakarta belum tentu mendapat kesempatan pula menonton pergelaran orang-orang Asmat dan Dani, atau dengan teater Putu Wijaya. Mereka yang terpukau oleh patung-patung Jawa kuna belum tentu pula mendapat kesempatan melihat lukisan-lukisan Affandi, Hendra, atau Ivan Sagito. Maka mungkin sekali apa yang ditangkap khalayak Amerika tersebut adalah gambar yang sepotong-sepotong pula dari negeri kita. Pastilah media-media yang dahsyat dari negeri tersebut telah menceritakan juga tentang KIAS. Akan tetapi dapatkah mesin yang dahsyat itu menjangkau seluas mungkin perhatian khalayak yang kita inginkan dan bersedia merangkum segala macam persepsi tersebut? Mungkin tidak. Persepsi dan pembicaraan tentang pernyataan kesenian adalah suatu proses dialog yang bukan merupakan peristiwa sekali lagi. Untuk mendapat gambaran yang mantap tentang suatu karya seni dibutuhkan konfrontasi yang agak lama, mungkin juga terus-menerus. Apalagi bila diharapkan penghayatan dan konfrontasi itu akan menghasilkan suatu pengertian yang tidak berhenti pada apresiasi kesenian, melainkan juga pengetahuan yang lebih banyak tentang latar belakang serta kehidupan yang mengilhami kesenian tersebut. KIAS agaknya berpretensi untuk memulai proses panjang dialog antara masyarakat Amerika dengan berbagai kesenian kita. Istilah yang digunakan oleh pencetusnya, Mochtar Kusumaatmadja, "diplomasi kebudayaan". Diplomasi mengandaikan suatu proses persuasi yang lama tetapi efektif. Maka bila kita berharap ekspose berbagai pernyataan kesenian kita di Amerika akan berhasil ikut menanamkan pengertian yang mendalam (dan simpatik) tentang negeri dan masyarakat kita, KIAS jelaslah baru merupakan langkah permulaan. Langkah tersebut harus diikuti dengan langkah-langkah yang beruntun dan terencana. Misalnya dengan menambah pusat-pusat informasi serta komunikasi tentang berbagai pernyataan kesenian kita pada kedutaan besar di Washington D.C., konsulat jenderal di New York, serta konsulat-konsulat kita di Houston, Chicago, dan San Francisco. Pada pusat-pusat informasi dan komunikasi tersebut mestilah tersedia berbagai majalah, berkala tentang perkembangan kesenian kita, kasetkaset serta video tentang musik, teater serta seni rupa kita, serta juga sewaktu-waktu berbagai ceramah, seminar, dan pertunjukan. Apakah usahausaha itu belum dilaksanakan dalam kedutaan besar serta konsulat-konsulat kita? Sudah, akan tetapi belum cukup. Bahkan masih dapat dikatakan "dilaksanakan secara amatiran". Usaha-usaha yang dilaksanakan itu masih belum mencerminkan suatu strategi yang mantap dengan dukungan anggaran yang mantap pula. Saya khawatir bila gebrakan KIAS yang telah menelan biaya begitu banyak, tetapi juga berhasil memukau khalayak Amerika, tidak segera diikuti dengan langkah-langkah follow-up, KIAS hanya merupakan suatu one shot festival, suatu pesta-pora sekali tembak, yang hanya akan sebentar dikenang orang. KIAS telah memulai suatu usaha raksasa dengan strategi yang benar. Yaitu memperkenalkan kesenian (dan kehidupan) Indonesia sebagai suatu kaleidoskop yang indah dan dinamis karena demikianlah Indonesia kita. Semoga strategi ini selalu menjadi pegangan. * Kolom ini merupakan kolom penutup dari rangkaian kolom menyambut KIAS selama dua tahun, bersama Mobil Oil Corp.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini